Aku berhenti di loker setelah kelas pertama usai, dan Shikamaru tengah bersandar di loker sebelahku.
“Jadi, itu benar?” tanya Shikamaru.
“Apanya yang benar?” Kuputar kombinasi angka di kunci, tapi aku kesulitan menahan senyum.
“Apanya yang benar?” ejek Shikamaru. Dia memutar bola mata dan menyilangkan tangan di dada. “Uchiha Sasuke, apa kau sedang bermain halus atau malu-malu saja? Karena sungguh, kau gagal total.”
Kucoba menyembunyikan senyumku yang makin lebar ini di balik pintu loker.
“Ternyata benar,” kata Shikamaru sambil mengangguk. “Sial, aku tidak sadar kau begitu mengesankan saat bicara tentang lebah.”
Dia tertawa, dan aku mengangkat bahu, terus menyeringai seperti orang bodoh. Ada banyak suara gumaman dan pandangan yang tertuju ke arahku saat kami menuju kelas sastra. Aku berusaha keras mengabaikan mereka.
“Dia seksi,” kata Shikamaru tiba-tiba.
“Apa?” Aku meliriknya.
“Haruno Sakura – dia seksi,” kata Shikamaru lagi.
Pipiku terasa hangat selagi aku terus melihat ke bawah. Aku berusaha mendefinisikan perasaan campur aduk yang ditimbulkan oleh ucapan Shikamaru. Pada awalnya, yang bisa kupikirkan hanyalah murid-murid di sekolah melihatku jalan bersamanya – seseorang yang dianggap seksi. Aku bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan tentang aku dan tentang Sakura, ini agak aneh. Aku cenderung tidak mempertimbangkan apa yang dipikirkan orang lain, karena aku yakin mereka semua mengira aku ini gila atau semacamnya. Sekarang semua orang membicarakan aku bersama Haruno Sakura – seorang gadis yang seksi – dan aku juga ingat apa yang Sakura katakan tentang aku sebelum kami menuju gedung sekolah. Menurutnya aku tampan.
Aku suka itu.
Aku tidak seratus persen percaya ucapannya itu, tapi semua orang berhak punya pendapat. Ayahku suka makan pizza nanas dan jamur, sedangkan aku menganggap itu menjijikkan, tapi itu favorit Ayah. Setiap orang menyukai hal berbeda, jadi mungkin saja Sakura benar-benar berpikir seperti itu tentang aku. Yang pasti aku setuju dengan Shikamaru tentang Sakura, meskipun aku tidak berfokus hanya pada penampilannya saja. Sakura sangat cantik, tapi ada begitu banyak hal dalam dirinya yang melebihi kecantikan wajahnya itu.
Aku terus berpikir saat kami masuk ke kelas dan duduk.
Shikamaru hanya memikirkan penampilan fisik Sakura saja – mungkin karena dia tidak benar-benar mengenalnya. Shikamaru mengacu pada penampilan saat dia bilang Sakura seksi. Berkomentar bahwa seseorang itu seksi sama saja mengatakan bahwa orang itu terlihat menarik. Itu berarti Shikamaru pikir Sakura terlihat menarik. Itu berarti Shikamaru tertarik padanya.
Dan aku tidak suka itu.
Aku juga tidak tahu bagaimana cara menanggapi perutku yang bergejolak ini dan terasa cairan empedu naik ke mulut. Panas di pipiku sepertinya pindah ke tangan, dan bahkan saat kami duduk di kursi, aku punya keinginan yang paling aneh untuk meninju muka Shikamaru.
Aku menggelengkan kepala, dan rambut jatuh menutupi dahi. Hal ini cukup mengalihkan perhatian, jadi kuusap rambutku ke belakang. Shikamaru yang duduk di depanku berbalik dan bingung menatapku.
“Inuzuka akan marah, tahu,” Shikamaru mengingatkan.
Sejujurnya, aku belum memikirkan hal itu. Memang benar Inuzuka Kiba sering merayap ke dalam pikiranku akhir-akhir ini, karena aku penasaran kenapa Sakura berkencan dengannya selama ini, tapi aku tidak berpikir tentang percakapan kami saat makan siang beberapa minggu yang lalu, saat itu dia bilang dia akan dapatkan Sakura kembali dan mengajaknya ke pesta prom. Aku benar-benar lupa tentang hal itu.
“Dia masih ingin mengajak Sakura ke pesta prom,” kataku pelan. Semua amarah yang kurasakan pada komentar Shikamaru di lorong menghilang ketika aku memikirkan Inuzuka mengajak Sakura ke pesta prom, dan Sakura bilang ya padanya.
Bukan padaku, melainkan pada Inuzuka Kiba.
Yang pasti aku tidak suka itu.
“Aku harus mengajaknya ke pesta prom,” sahutku keras.
Shikamaru memiringkan kepala. “Memangnya belum?”
“Belum.”
“Ke mana kau membawanya kencan?”
“Um ... tidak kemana-mana,” aku mengaku. “Belum.”
“Sasuke ...” Shikamaru bersiul pelan. “Sebaiknya kau perbaiki hal itu sebelum dia bosan menunggumu.”
Shikamaru benar – aku masih berhutang kencan pada Sakura, dan sekarang karena dia sudah jadi kekasihku, aku perlu merencanakannya lebih matang. Aku bahkan tidak mempertimbangkan pesta prom sebelum ini, tapi pesta prom diadakan beberapa minggu lagi, mungkin aku juga harus bertanya padanya tentang hal itu. Kulihat bagian belakang kepala Shikamaru, aku bersyukur dia angkat topik itu, tapi tetap saja aku agak kesal karena dia pikir Sakura seksi.
Aku juga harus memasukkan semua itu ke dalam anggaran.
Kemudian, detak jantungku agak kencang saat mengeluarkan kotak makan siang dari loker dan menuju kantin. Aku belum melihat Sakura lagi sejak pagi tadi, dan aku tahu kami seharusnya makan siang bersama. Selama bertahun-tahun, teman makan siangku adalah Shikamaru, dan aku berusaha tetap tenang saat menyadari ada yang belum kami bahas – apa Sakura akan datang ke meja tempatku biasanya duduk, atau apa aku seharusnya pergi ke meja Sakura?
Kuputuskan untuk berdiri di dekat antrean orang-orang yang beli makan siang dan menunggu Sakura. Aku ingin bilang padanya aku lebih suka jika dia duduk bersamaku dan Shikamaru, tapi aku tidak yakin bagaimana pendapatnya tentang hal itu. Sakura selalu makan di meja yang penuh dengan gadis-gadis lain – kebanyakan anggota tim voli – dan beberapa orang murid lelaki.
Kugoyangkan kakiku saat orang-orang mulai memadati kantin. Aku belum lihat tanda-tanda kehadiran Sakura, tapi lokernya ada di lorong terjauh dari kantin, jadi ini tidak mengherankan. Shikamaru sudah duduk di meja tempat kami biasa, dan sepertinya aku juga harus bilang padanya aku akan makan dengan Sakura.
Ketika aku berjalan ke meja, pergelangan kakiku sakit dan lantai tiba-tiba sangat dekat dengan wajahku. Aku berhasil menahan badan dengan tangan sebelum benar-benar menyentuh lantai, tapi makan siangku hancur dan lututku mengenai lantai dengan keras. Aku bisa dengar tawa dari belakang, dan aku tahu itu Inuzuka Kiba, bahkan sebelum aku mendongak.
“Perhatikan langkahmu,” katanya saat aku duduk. “Jika kau salah langkah ke wilayah orang lain, kau akan terluka.”
Aku hendak berdiri, namun dia dorong lagi bahuku ke lantai.
“Wilayahkulah yang kau langkahi, dasar orang aneh.”
Ada semacam prinsip di SMA tentang langgarlah aturan jika guru tidak lihat. Pada saat itu, tak seorang pun guru di sini. Tapi aku juga tahu ada prinsip kedua yang sejalan dengan yang pertama – jika aku membalas, saat itulah seorang guru masuk ke ruangan.
Walaupun aku sungguh ingin memukul Inuzuka saat ini, aku tahu aku tidak bisa. Itu melanggar aturan sekolah, dan usiaku sudah delapan belas tahun, yang berarti tindakanku berpotensi jadi tuduhan penyerangan. Tentu saja dia yang memulainya, tapi aku takkan bisa buktikan bahwa dia telah menungkai kakiku dengan sengaja.
Aku tidak bisa memukulnya, jadi aku beranjak dan duduk dengan Shikamaru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...