“Sudahkah kau coba yakitori Ichiraku?” tanyaku.
Tak ada yang lebih baik dalam memerangi obsesi daripada melawannya dengan obsesi lain. Satu-satunya hal yang membuatku tidak panik dengan keadaan garasi dan tiket lotere terlipat di tengah-tengahnya adalah kebencian Sakura terhadap semua hal yang dijual Restoran Ichiraku. Aku telah menanyainya hal itu sepanjang hari.
“Aku tidak tahu,” kata Sakura sambil berbelok ke jalan rumahku. “Semuanya tidak enak.”
“Bahkan telur gulung sekali pun?” Kuulurkan tangan dan menyodok goresan kecil di sisi bagian dalam pintu penumpang mobil Sakura. Goresannya agak mirip seperti ikan.
“Ew,” kata Sakura sambil mengernyitkan hidung. “Mereka melapisinya dengan tepung roti dan dicampur dengan kubis, bukan? Yang benar saja!”
“Bagaimana dengan donburi? Atau oden?”
“Sasuke, kau sudah menanyakan itu padaku.”
“Tapi itu hanya nasi, ayam, dan dicampur dengan berbagai sayuran.”
“Ditambah dengan saus mereka yang menjijikkan dan bau itu,” tambah Sakura.
“Tapi … ada saus mereka yang enak dan dimakan dengan tumis labu.”
“Tidak ada saus mereka yang enak. Omong-omong soal makanan, saat ini aku suka sekali dengan masakan dari wilayah Kumo,” kata Sakura.
“Semua makanan khas wilayah Kumo rasanya sama saja, penuh dengan keju,” kataku teringat Ayah membawakan kami makanan dari restoran Kumo di luar kota tiap kali Ibu ulang tahun dan Sakura memelototiku.
“Itu karena kau belum pernah mencicipi masakan Kumo buatanku,” kata Sakura. “Terus saja jelek-jelekan makanan Kumo, aku akan membuatnya dan memaksamu untuk memakannya.”
Entah itu ancaman atau janji.
“Bagaimana dengan sup pangsit Ichiraku?” Kutelurusi lagi goresan berbentuk ikan itu.
“Tidak!” pekik Sakura, yang membuatku terlonjak. “Sekarang hentikan! Aku tidak suka makanan Ichiraku!”
Aku sedikit tegang dan kembali meletakkan tangan di pangkuan. Aku hendak minta maaf, namun kulihat Sakura menahan tawa, berarti dia tidak marah.
Sakura parkir di pinggir jalan dan tersenyum padaku saat dia mencondongkan tubuh di atas kemudi.
“Tugas kelompok?” tanya Sakura.
“Aku menemukan artikel tentang pemanasan global dan dampaknya pada hibernasi lebah,” kataku. “Aku hendak mencetak salinannya, tapi hanya Paman Kakashi yang punya printer. Karena mobilku masih di bengkel … ya, aku tidak bisa pergi ke sana untuk mencetaknya, tapi kita bisa lihat di komputer.”
“Bagus!” kata Sakura. Dia buka pintunya dan keluar sambil bawa tas.
Kami habiskan beberapa jam berikutnya dengan mengerjakan tugas kelompok dan dilanjutkan dengan PR lain. Setelah kami berdua merasa sudah cukup belajar, kukeluarkan dua kaleng soda, dua gelas, dan delapan es batu. Kutuangkan minuman dan kemudian membawanya ke ruang keluarga. Kuletakkan milikku di tatakan gelas dan menyerahkan minuman pada Sakura.
“Aku akan ... um ... membersihkan garasi,” kataku sambil menatap gelas di atas meja.
“Biar kubantu,” kata Sakura.
“Tidak,” kataku sambil menggelengkan kepala. “Aku masih tidak enak hati, karena telah membangunkanmu pagi ini. Ini takkan makan waktu lama.”
Sakura setuju untuk bersantai di dalam sementara aku ambil kantong sampah baru, kantong plastik bening kecil, dan sepasang sarung tangan karet untuk membersihkan kekacauan. Aku sebenarnya cukup berterima kasih pada makanan Restoran Ichiraku, karena itulah yang jadi bahan percakapan antara aku dan Sakura selama perjalanan ke sekolah, antar kelas, dan saat makan siang tadi. Sakura bilang tak satu pun masakan Ichiraku yang dia suka – padahal jenis masakannya ada puluhan – dan aku masih tidak mengerti kenapa. Aku yakin jika Sakura mau mencoba hidangan yang tepat, dia akan menyukainya.
Hal itu sudah cukup mengalihkan perhatianku sehingga aku berhasil meraup semua sampah ke kantong dan memasukkannya kembali ke dalam tong sampah dengan cukup cepat, tanpa merasa mual atau panik. Aku juga harus mengepel, tapi sepertinya aku akan tunggu sampai Sakura pulang nanti.
Satu-satunya yang tersisa di lantai adalah tiket lotere yang terlipat.
Aku menelan ludah beberapa kali saat berjalan ke sana. Untuk sejenak, aku mengerti kenapa orang membelinya – ini bukan karena kau pikir kau akan menang; ini karena kemungkinan dan mimpi akan menang. Bagaimana perasaanmu jika kau tahu kaulah pemenangnya? Apa yang akan kau beli pertama kali dengan uang itu? Apa kau akan menyumbangkan sebagian besar untuk badan amal? Berikan pada teman?
Kuambil tiket lotere itu dan memegangnya dengan sarung tangan. Ada sedikit noda saus di sampingnya, tapi sepertinya tidak terlalu kotor. Namun tetap akan kubersihkan dengan tisu basah nanti. Kukibaskan beberapa kali, lalu kumasukkan ke dalam kantong plastik kecil dan menyegelnya.
Sakura baru saja menghabiskan minumannya ketika aku kembali ke ruang keluarga.
“Ayah kirim pesan, dia akan pulang terlambat,” Sakura memberitahuku. “Jadi aku punya waktu tambahan. Kau mau nonton TV?”
“Oke,” jawabku.
“Apa yang kau pegang itu?” tanya Sakura sambil mengangguk ke arah tanganku.
“Tidak ada.” Segera kusembunyikan kantong plastik itu di belakang, lalu berjalan mundur ke dapur dan menyimpannya ke dalam laci di sebelah gunting.
Sakura menyipitkan matanya dan menggelengkan kepala. Dia ambil remote TV sebelum duduk kembali. Aku perlahan berjalan dan duduk di sampingnya, tapi di sisi lain sofa.
Kami temukan episode ulangan Puzzle Attack.
“Aku suka yang ini,” kata Sakura. “Seluruh tempat tabrakan mobil itu seperti benar-benar terinspirasi dari film.”
Mau tidak mau aku tertawa.
Kami nonton dalam diam sampai iklan dimulai. Saat itulah telepon berdering. Ketika aku menjawab, yang menelepon ternyata dokter Itachi.
“Halo, Sasuke,” kata Dokter Tsunade. “Aku perlu bicara tentang kakakmu.”
“Apa Itachi baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja,” kata Dokter Tsunade. “Kami hanya perlu menyesuaikan dosis obatnya.”
Dokter Tsunade bicara sebentar tentang reaksi obat dan bagaimana pengobatan terbaru ini mungkin benar-benar mampu membuat Itachi lebih komunikatif. Aku telah mendengar hal yang sama sebelumnya. Ketika dokter selesai, dia langsung ke inti.
“Aku ingin kau menandatangani beberapa dokumen,” kata Dokter Tsunade. “Pada dasarnya dokumen yang sama yang telah kau tanda tangani sebelumnya, hanya saja dengan dosis berbeda. Haruskah aku mengirim faks ke kantor pamanmu?”
“Ya,” kataku. “Aku akan mempelajarinya dan mengembalikannya padamu, Dokter.”
“Terima kasih, Sasuke. Jaga dirimu.”
“Sampai jumpa, Dokter.”
Kututup telepon dan melihat Sakura sedang memerhatikanku.
“Kakakmu?” tanya Sakura.
Aku mengangguk.
“Itu dokternya,” kataku. “Ada beberapa dokumen yang harus kutandatangani.”
Aku kembali duduk dan menatap tangan di pangkuan. Terakhir kali kami mengganti obat Itachi, dia benar-benar histeris selama empat hari. Dia akhirnya mulai tenang, tapi dokter harus menyesuaikan obat sebanyak tiga kali sebelum dia kembali bertingkah normal. Ya, normal bagi Itachi.
“Sasuke?”
“Ya?”
“Maukah kau ceritakan lebih banyak lagi tentang kakakmu?”
Aku memikirkannya sebentar sebelum aku setuju.
Sepertinya aku tak bisa menyembunyikan apapun dari Sakura, jadi kuberitahu dia tentang Itachi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...