Bab 3

2.2K 360 54
                                    

Aku akhirnya berlari mengitari lapangan sepak bola.

Aku tak bisa duduk di mobil – tidak dengan bemper seperti itu – dan mana mungkin aku bersembunyi di toilet atau ruang ganti. Salah satu situs yang kukerjakan adalah situs layanan kesehatan masyarakat, dan aku baca statistiknya. Aku bahkan tidak dapat berjalan ke toilet umum tanpa pakaian hazmat.

Setelah aku berhasil menenangkan diri, aku pergi ke kantor tata usaha dan berusaha mengganti jam biologiku dengan yang lain.

“Maaf, Sasuke,” kata Ibu Kurenai, “semua kelas sudah penuh, jadi tidak bisa ditukar.”

Rasanya ingin kubenturkan kepala ini ke dinding, tapi jika aku gegar otak, itu takkan meringankan keadaan. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikan biologi, dan Guru Iruka jelas-jelas bilang bahwa tugas itu akan jadi penilaian utama semester kami, jadi mana boleh aku tidak mengerjakannya. Aku terjebak. Aku harus melakukannya demi menjaga nilaiku tetap baik.

Terdengar pintu terbuka dan aku menoleh ke belakang. Di sana sudah ada Haruno Sakura. Dia ambil kertas dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja Guru Kurenai sebelum berbalik ke arahku sambil tersenyum.

“Aku ingin menunggumu sampai kembali ke kelas,” kata Sakura pelan, “tapi Guru Iruka bilang kita harus pilih tema hari ini. Aku pilih lebah madu. Kuharap kau tidak keberatan.”

Aku hanya terpaku menatap Sakura sebentar, memerhatikan cara mulutnya bergerak sembari memikirkan apa yang harus kukatakan.

“Lebah madu?” akhirnya aku berhasil bicara.

“Berkurangnya populasi lebah madu dapat berdampak drastis pada ekosistem,” jawab Sakura.

“Oh … um … aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini,” kataku lagi. “Aku tidak bisa mengerjakannya.”

“Bagaimana kalau besok?” saran Sakura. “Kita bisa mengerjakannya di perpustakaan, atau mungkin di rumahku?”

“Jangan di perpustakaan,” kataku pelan. Di sanalah Pelatih Inuzuka, Ayah Kiba, bekerja – sebagai pustakawan. Dia sama parahnya dengan Kiba. Sebenarnya dia lebih buruk, karena dia punya otoritas dalam struktur sekolah. Tiap kali dia melihatku, dia mendesakku untuk bergabung dengan tim sepak bola. Mereka selalu kekurangan pemain, dan jika anggota tidak cukup, maka dana untuk ekstrakurikuler itu akan dipotong.

“Oke,” jawab Sakura. “Rumahku?”

“Rumahmu?” kuulangi ucapannya seperti orang bodoh. Aku tidak bisa berhenti menatap matanya. Aku belum pernah benar-benar melihat mata Sakura. Kebanyakan orang dengan mata hijau punya banyak variasi atau bintik-bintik dari warna yang lebih gelap, tapi warna mata Sakura sungguh hijau seperti danau yang jernih disinari matahari.

“Sepulang sekolah?”

“Oke.” Aku hampir tidak bisa mengeluarkan suara, karena aku benar-benar berhenti bernapas.

“Bagus! Apa kau butuh alamatku?”

“Tidak,” kataku. “Aku tahu kau tinggal dimana.”

“Kalau begitu sampai jumpa besok!”

Sakura keluar dari ruang tata usaha dan aku mencoba kembali bernapas.

•••

“Maaf, Nak,” kata pria di bengkel itu padaku. “Kau harus berumur 25 tahun untuk dapat menyewa mobil sendiri. Itu kebijakan.”

“Oh,” kataku. “Maaf. Aku tidak tahu ada aturannya.”

“Jangan khawatir,” katanya sambil tersenyum. “Kami akan perbaiki mobilmu secepat mungkin. Tapi aku harus mengaku bahwa kami cukup sibuk sekarang.”

Aku keluar dari bengkel dan menuju jalanan. Tentu saja hujan mulai turun saat itu juga. Awalnya yang gerimis berubah dengan cepat jadi hujan lebat dan aku basah kuyup sembari terus berjalan dengan susah payah di sisi jalan, menatap kakiku.

Kulangkahi setiap celah di trotoar, berusaha mengatur langkah dengan benar agar aku tidak harus berjalan dengan canggung. Ketika kulewati persimpangan jalan atau ada mobil melintas, kuangkat bahu sedikit. Ketika aku masih kecil dan berada di dalam mobil, aku selalu angkat kaki dari lantai mobil ketika kami melewati jalan yang basah.

Kuhitung langkah kakiku. Kuhitung mobil warna merah yang melewatiku. Kuhitung jumlah napas yang kubutuhkan ketika harus menyeberang jalan. Begitu fokusnya sampai-sampai aku tidak dengar namaku dipanggil awalnya.

“Sasuke? Sasuke, apa itu kau?”

Aku mendongak – sekali lagi – Haruno Sakura. Dia mengendarai mobil tua produksi tahun delapan puluhan dan menepi tepat di sampingku – menghadap ke jalan yang berlawanan.

“Apa yang kau lakukan hujan-hujan begini?” tanya Sakura.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

“Kau mau kuantar pulang?”

“Cuma satu kilometer lagi,” jawabku.

Sakura menghela napas, tampak agak jengkel, dan mengatupkan bibirnya.

“Sasuke, jangan konyol. Nanti kau kena flu.”

“Virus tidak disebabkan oleh cuaca,” kataku.

“Biar kuantar kau pulang,” kata Sakura lebih mendesak.

“Mobilmu berada di sisi jalan yang salah.”

“Jika aku memindahkan mobil, apa kau mau masuk?”

Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Itu akan membuatku merasa lebih baik, itu pasti. Saat ini mobilnya menghalangi lalu lintas, walaupun tak ada kendaraan lain yang datang. Hanya saja itu tidak terlihat benar – sama sekali tidak. Tanpa menunggu respon dariku, Sakura mundur sedikit dan memosisikan mobilnya di jalur yang tepat.

“Ayolah!” panggil Sakura lewat jendela. “Aku juga ikut basah!”

“Kau tidak perlu melakukan ini!” jawabku. Tiba-tiba guntur mulai terdengar, kilat melintas di langit, dan hujan pun turun lebih deras.

“Masuk ke mobil terkutuk ini, Sasuke.”

Ketika Sakura bicara seperti itu, aku merasa tidak punya pilihan, jadi aku melihat ke kiri dan ke kanan, mengangkat bahu, lalu menyeberang jalan.

Aku tidak tahan lagi dengan hujan, jadi aku masuk ke mobilnya.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang