“Itachi empat tahun lebih tua daripada aku,” kataku. Sepertinya ini permulaan yang bagus. “Tapi aku tidak bisa membicarakannya tanpa menjelaskan tentang aku juga.”
“Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu,” Sakura membenarkan.
Aku mengangguk.
“Aku tidak mengerti bahwa ada sesuatu yang berbeda dari Itachi sampai tiba saatnya aku masuk sekolah. Saat itulah mereka tahu aku juga berbeda, hanya saja tidak dalam cara yang persis sama.”
Aku menelan ludah dan memutar-mutar jemari.
“Kukira aku akan masuk ke sekolah yang sama dengan Itachi. Dia sekolah tiga kali seminggu, dan ketika jadwalnya ke sekolah, Ayah bekerja dari rumah sementara Ibu mengantarnya ke sana. Aku lumayan ingat orang-orang bicara tentang aku akan masuk sekolah, dan aku langsung berasumsi sekolahku sama dengan Itachi. Aku sudah memikirkan hal itu. Aku kaget di hari pertama ketika Ibu menyuruh kami berdua masuk ke mobil, dan kemudian menurunkan aku terlebih dahulu di sekolah lain.”
Aku tertawa hambar.
“Oke, sepertinya kaget bukan kata yang tepat,” aku mengaku. “Aku jadi histeris. Aku tak pernah berbuat seperti itu sebelumnya, karena di rumah sudah ada rutinitas yang sangat ketat bagi Itachi, dan aku menyesuaikan diri. Itu pertama kalinya sesuatu yang … tak terduga terjadi padaku. Aku berteriak, menendang-nendang, mencoba menggigit guru, dan pada dasarnya membuat Ibu ketakutan. Ibu yang panik membuat Itachi panik dan … ya … sungguh kacau.”
“Aku bisa bayangkan,” jawab Sakura lembut.
“Ibu terpaksa menelepon Ayah, yang harus meninggalkan pekerjaannya dan datang menjemputku. Aku tidak jadi sekolah di hari pertama, Ayah membawaku pulang dan kami bicara. Ayah bilang aku harus sekolah di sana. Keesokan harinya, Ayah membawaku ke sekolah dan mengantarku ke ruang kelas. Aku berhasil bertahan sekitar sepuluh menit setelah Ayah pergi, saat itulah aku berakhir di sudut ruangan sambil berteriak. Itu pertama kali aku mengalami serangan panik.”
“Astaga,” Sakura menghela napas.
“Ya, itu tidak tampak bagus, kurasa.” Kuhirup napas dalam-dalam. “Aku menemui beberapa orang dokter setelahnya, dan Ibu benar-benar gundah. Ibu terus bilang aku sama sekali tidak seperti Itachi – Ibu tahu aku berbeda dengan kakakku. Masalahnya adalah Ibu tak punya anak normal untuk membandingkan kami. Aku memang lebih sering bicara, hanya saja tidak seperti anak-anak lain seusiaku.”
Aku berhenti sebentar dan berusaha memikirkan apa yang harus kuucapkan selanjutnya.
“Ibumu pikir kau baik-baik saja,” kata Sakura. “Pasti sangat sulit baginya untuk mendengar bahwa kau tidak begitu adanya.”
“Benar,” kataku sambil mengangguk. “Itachi sama sekali tidak bicara sampai dia berusia empat tahun, lalu kemudian dia hanya bicara tentang jam dan waktu. Mereka tahu lebih awal ada sesuatu yang tidak beres dengan Itachi. Ibu pikir aku baik-baik saja.”
“Karena kau berada di bagian yang berbeda dari ... apa namanya itu? Spektrum Autisme?”
“Ya.” Aku ingat aku seharusnya bicara tentang Itachi dan mencoba untuk lebih fokus. “Itachi marah ketika orang menyentuhnya. Maksudku, dia benar-benar kesal. Aku jadi tegang ketika tiba-tiba disentuh, karena itu membuatku agak tidak nyaman, tapi Itachi menjerit dan menangis jika kau memeluknya. Dia juga tidak suka ada orang baru. Butuh waktu lama bagi Itachi sebelum dia biarkan orang baru berada di ruangan yang sama dengannya.”
“Apa yang dia lakukan ketika itu terjadi?”
“Dia biasanya meringkuk di kursi dan tidak mau mengakui keberadaan siapa pun,” jawabku. “Terkadang ketika dia jadi lebih kesal – dia akan melakukan hal yang sama lagi dan lagi, seperti bergoyang-goyang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...