Tuan Haruno tidak bercanda soal tagihan rumah sakit tak jadi masalah lagi. Ternyata jika ambulans dihubungi oleh polisi, aku tidak dikenakan biaya untuk kunjungan UGD. Aku masih agak linglung untuk memahami segalanya. Dokter masuk dan memeriksaku secara menyeluruh, lalu dia bilang aku bisa pulang, tapi dia membekaliku setengah lusin pil Valium.
Pasti aku tertidur di mobil Sakura dalam perjalanan pulang, karena aku sama sekali tidak ingat. Ketika Sakura menggoyangkan lengankulah aku baru buka mata dan melihat pintu garasi sudah di depan.
“Ayo, Sayang,” kata Sakura lembut.
“Sayang?” aku balik bergumam, selama ini yang memanggilku begitu hanyalah Bibi Rin, namun ketika Sakura yang bicara, sensasinya sungguh berbeda. Kuusap goresan berbentuk ikan di pintu sisi penumpang sebelum membukanya dan keluar dengan susah payah. Sakura tertawa saat dia menggandeng lenganku dan membantuku masuk.
“Kau tidak ingin aku memanggilmu begitu?” tanya Sakura.
“Entahlah,” jawabku jujur. Kupertimbangkan hal itu saat Sakura mengambil kunciku dan membuka pintu. Ada bagian dari diri ini yang senang Sakura memberiku nama panggilan khusus, atau apa pun sebutannya. Kekasih terkadang melakukannya, aku yakin itu.
Aku tiba-tiba teringat hal yang ingin kutanyakan.
“Sakura?”
“Ya?”
Kutahan kuap ketika kami berhenti di serambi dan Sakura mengalungkan tangannya di leherku. Kuposisikan tanganku di pinggulnya dan kepalaku di atas kepalanya. Rambutnya selalu wangi.
“Apa kau kekasihku?”
Sakura kembali tertawa.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Sakura saat menghirup napas di leherku. Bisa kurasakan bibirnya mengecup kulitku di sana.
“Kurasa begitu,” kataku, “tapi aku ingin pastikan kau juga berpikir begitu.”
“Aku juga berpikir begitu,” Sakura menegaskan. “Dan itu berarti kau juga kekasihku, kalau-kalau itu belum jelas.”
Sakura memiringkan kepalanya, dan aku hanya berpikiran untuk menciumnya, namun pintu terbuka, Bibi Rin dan Paman Kakashi masuk. Bibi Rin melirik dari balik bahunya saat dia menuju dapur.
“Kakashi!” bentak Bibi Rin. “Jangan ditunda-tunda lagi!”
“Hai, Sakura,” kata Paman Kakashi sambil berjalan melewati pintu. “Aku sungguh brengsek dan perlu mengurus urusanku sendiri.”
Sakura tertawa terbahak-bahak. “Tulus sekali,” dengusnya.
“Aku berlatih sedikit.”
Sakura kembali tertawa, dan Paman Kakashi menyipitkan mata. Aku bolak-balik memerhatikan mereka, tidak paham betul apa yang terjadi.
“Omong-omong,” Paman Kakashi menambahkan, “aku memang brengsek. Dia keponakanku, dan aku mengkhawatirkannya.”
“Dia kekasihku,” balas Sakura. “Aku juga mengkhawatirkannya.”
Paman Kakashi mendongak dan menatap mataku. Kulihat bahu Sakura dan menatap sehelai rambut di sana.
“Agar tidak ada yang bertanya-tanya,” kata Bibi Rin saat kembali dari dapur dan mengangkat kantong belanjaan kecil, “tidak ada kue di sini, dan kau tidak akan dapat kue dalam waktu dekat!”
“Kue?” Sakura menatapku bingung.
Aku hanya mengangkat bahu, tapi Paman Kakashi tertawa terbahak-bahak.
“Kue buatan Rin sungguh luar biasa. Rin menggunakan kue sebagai hadiah untuk Sasuke, karena dia akan lakukan apa saja untuk mendapatkan sepotong kue stroberi buatan Rin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...