Kembali di ruang keluarga, aku dan Sakura duduk di sofa sambil memegang gelas soda.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” aku mengaku.
“Mulai dari apa pun yang ingin kau katakan,” saran Sakura.
Kutarik lagi napas dalam-dalam.
Aku bisa melakukan ini.
“Dokter pertama bilang aku ADD,” kataku pada Sakura. “Dia bilang aku tak bisa fokus pada apapun karena hal itu. Ayah bilang dia gila – aku fokus pada semua hal sekaligus. Dokter berikutnya bilang aku memiliki gangguan obsesif kompulsif.”
Kuusapkan tangan di celana jins dan menggerak-gerakkan jari kaki di karpet. Tubuhku masih panas setelah bertinju, dan aku juga belum pakai baju lagi.
“Jadi, kau OCD?” tanya Sakura. Aku sadar aku tidak melanjutkan cerita.
“Tidak ... persis begitu,” jawabku. Kulirik Sakura dan menghela napas sebelum melanjutkan. “Apa kau pernah dengar tentang autisme?”
“Tentu,” kata Sakura. “Itu anak-anak yang tidak bisa bicara dengan orang tua mereka, bukan? Dan mereka melakukan hal yang sama berulang kali?”
“Semacamnya,” jawabku. “Ada spektrum autisme – masing-masing pengidapnya berbeda satu sama lain dan dengan tingkat keparahan yang berbeda pula. Dokter berikutnya bilang mungkin aku menderita Sindrom Asperger, yang merupakan bentuk yang paling ringan. Aku mulai terapi saat itu, tapi itu tidak banyak membantu.”
“Jadi yang mana?” tanya Sakura setelah kembali hening.
“Sedikit dari segala gangguan itu, kurasa,” kataku padanya. “Aku sudah …”
Aku terdiam dan menghirup napas dalam-dalam.
“... anti sosial parah,” akhirnya aku bicara. “Mungkin kau sudah memerhatikan hal itu.”
“Kau tidak seperti murid-murid lain.” Dari sudut mata, aku bisa lihat Sakura mengangkat bahu. “Terkadang sepertinya sulit bagimu untuk berada di ruangan bersama murid lain. Kupikir itu karena ...”
Suara Sakura menghilang.
“Karena orang tuaku meninggal.”
“Ya.”
“Tidak, aku sudah seperti itu jauh sebelum orang tuaku meninggal,” aku mengaku, “hanya saja, setelah mereka tidak ada, itu semakin parah.”
“Maaf,” ucap Sakura. “Aku tidak bermaksud menyinggungnya.”
“Gejalaku tidak terlalu cocok dengan Asperger,” lanjutku. “Orang dengan Asperger biasanya punya satu atau dua hal yang jadi titik fiksasi. Aku punya ratusan.”
“Titik fiksasi?”
“Begitu aku mulai memikirkan sesuatu, aku tak bisa berhenti,” kataku. “Saat aku di sini sebelumnya, yang bisa kupikirkan hanyalah memukul samsak. Aku harus melakukannya, atau aku akan gila. Tapi tidak selalu tentang samsak. Kakakku – yang dia pikirkan hanyalah jam.”
“Kakakmu?”
“Itachi,” kataku. “Jika spektrum autisme itu memang ada, aku berada di ujung yang ringan, sementara dia ada di ujung seberangnya. Itachi tak pernah mengatakan apapun selain waktu.”
“Aku tidak mengerti,” kata Sakura.
“Dia tahu jam berapa sekarang,” jelasku. “Dia akan memberitahumu ini pukul sebelas lewat dua puluh enam menit. Dia akan memberitahumu ini saatnya untuk makan malam, dan dia akan memberitahumu saatnya untuk nonton acara di televisi. Dia juga bisa memberitahumu berapa banyak jam dinding dan arloji yang ada di ruangan, beserta jenisnya. Dia tidak pernah membicarakan hal lain sama sekali. Dia tidak pernah menyapaku atau memanggil namaku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...