Bab 43

1.1K 264 45
                                    

Setidaknya satu jam sebelum aku harus menjemput Sakura, aku sudah berada di mobil dan mengemudi ke area yang sama yang kulalui ketika ke rumahnya untuk mendapatkan sepotong kue. Malam ini akan jadi kencan pertama kami, dan akhirnya aku akan membawa Sakura ke restoran Kumo yang bagus di Takumi.

Itu pun jika aku bisa sampai di rumahnya.

Menurutku jika aku berangkat satu jam lebih awal, aku akan sampai di sana tepat waktu, dan bahkan mungkin sedikit lebih awal. Sepertinya Tuan Haruno akan memainkan peran sosok ayah galak saat aku datang menjemputnya, tapi Sakura bilang ayahnya sudah janji akan bersikap baik saat aku datang menjemput.

Kuperiksa meteran bensin, dan kuputuskan untuk mengisinya sampai penuh dan mungkin juga aku perlu periksa tekanan ban dan oli. Masih banyak waktu sebelum aku mesti berada di rumah Sakura, jadi aku pergi ke pom bensin terdekat. Saat aku memeriksa oli, kulihat Inuzuka Kiba dan tiga orang lainnya keluar dari swalayan kecil yang menyatu dengan pompa bensin. Kiba menatapku dan menyeringai. Dia membungkuk, lalu membisikkan sesuatu ke salah seorang lelaki yang bersamanya. Mereka berdua tertawa, tapi tidak mendekat. Aku bernapas lebih mudah setelah mereka pergi.

Setelah membersihkan kaca depan untuk yang kedua kalinya, aku lap kaca spion, lalu kuputuskan untuk pergi ke rumah Sakura sekarang. Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah ke sana dua kali minggu ini dan semuanya berjalan baik-baik saja, bahkan ketika aku harus parkir di sebelah mobil Tuan Haruno. Aku berkendara di sekitar blok rumah Sakura sebanyak empat kali, tapi berhasil masuk ke halaman rumahnya lima menit setelah itu.

Aku duduk di mobil sejenak. Kulirik jendela dapur, Sakura berdiri di dalam dengan tangan disilangkan dan tersenyum padaku. Dia menggelengkan kepalanya sedikit sebelum memberi isyarat dengan jari. Kuperiksa bayanganku di cermin, berusaha merapikan rambutku sedikit, dan berjalan ke pintu depan.

Tuan Haruno menjawab, dan aku harus menelan gumpalan besar di tenggorokan sebelum aku bisa bicara. Aku ingin mengatakan sesuatu seperti, “Selamat sore, Tuan Haruno. Aku ke sini untuk menjemput Sakura.” Namun, bukan itulah yang keluar.

“Eh ... hai.” Aku menoleh sedikit dan memejamkan mata erat-erat sambil berusaha menenangkan diri. Aku berdeham dan berpikir untuk mencoba lagi, tapi tak ada suara yang keluar sama sekali.

Tuan Haruno tertawa pelan, lalu melangkah ke samping dan membuka pintu lebar-lebar.

“Ayo masuk, Sasuke. Sakura sudah siap sejak pagi.”

“Ayah!” Sakura memelototi Tuan Haruno saat dia keluar dari pintu dapur. Dia pakai blus warna biru tua dan rok warna hitam yang panjangnya sampai di tengah paha. Dia tata rambutnya jadi agak bergelombang, dan dia memakai sedikit riasan mata, yang biasanya tidak dia pakai.

Dia menakjubkan, dan aku langung sadar aku hanya melongo menatapnya, jadi cepat-cepat kututup mulut. Ayahnya terus tertawa terbahak-bahak selagi aku memikirkan kata apa yang cocok untuk diucapkan tentang betapa cantiknya dia. Rupanya, aku sudah tidak bisa bicara.

“Ayo,” ajak Sakura. “Ayo pergi sebelum Ayah memutuskan untuk jadi pelawak lagi.”

Bibi Rin benar tentang satu hal, tidak membahas soal voli sampai kami berada di perjalanan menuju Takumi adalah ide yang cemerlang. Sakura bercerita tentang timnya, turnamen mana yang mereka menangi dan kalah tanding, lalu memberiku jawaban atas pertanyaan yang terkadang kuajukan. Perjalanan berlalu dengan cepat, dan percakapan berlanjut bahkan sampai makanan kami diantarkan. Aku sebenarnya lumayan bersemangat tentang musim voli yang akan segera dimulai, meskipun itu berarti perubahan yang cukup drastis pada rutinitas kami saat ini, karena Sakura perlu latihan dan ikut pertandingan.

“Kau bisa mengerjakan PR saat aku sedang latihan,” kata Sakura. “Ada banyak yang biasa datang menonton dan mengerjakan PR sambil duduk-duduk di tribun.”

“Kapan pertandingannya?” tanyaku. Kami telah selesai makan malam dan memutuskan jalan-jalan di sepanjang deretan toko sovenir. Ini malam yang indah, tak ada awan yang terlihat. Bulan dan bintang menyinari saat kami berpegangan tangan dan berjalan tanpa tujuan.

“Biasanya di akhir pekan,” kata Sakura, “tapi terkadang ada juga di Hari Rabu atau Kamis.”

Aku mengangguk dan dalam hati mempersiapkan diri untuk pertandingan yang dilaksanakan pada hari yang berbeda. Sepertinya aku bisa atasi hal itu, terutama karena Sakura bilang dia akan dapat jadwal lengkap pertandingan minggu depan.

Kami terus berjalan dan mengobrol, tidak terlalu memerhatikan ke mana kami melangkah. Kami sampai di ujung trotoar dan berbelok ke jalan lain, tapi dengan cepat menyadari kami sudah jauh dari jalan utama. Aku hendak berbalik, tapi Sakura khawatir hari mulai larut, dan kami berdua telah berjanji pada ayahnya akan kembali sebelum tengah malam. Jalan samping tampaknya rute yang lebih pendek untuk kembali ke mobil, jadi aku tidak protes.

Tidak banyak lampu jalan di area itu, Sakura melepaskan tanganku dan lebih mendekat sehingga dia bisa memeluk pinggangku dan aku menempatkan lengan di atas bahunya. Wajahku sebenarnya mulai sakit karena terlalu banyak tersenyum, aku jadi bertanya-tanya apa yang telah kulakukan hingga bisa seberuntung ini.

Kumiringkan kepala sedikit, kusandarkan pipiku di atas kepala Sakura, menghirup wangi aroma rambutnya, dan mengecup pelipisnya.

“Wah, sungguh manis, bukan?” sebuah suara datang dari belakang kami, diikuti oleh tawa dari pintu masuk gang yang gelap di depan dan juga dari belakang. “Sepasang sejoli keluar untuk jalan-jalan.”

Dua sosok melangkah keluar dari gang tepat di depan kami, dan ketika aku melirik bahuku, aku bisa lihat siluet dua orang lagi dari arah kami datang. Yang di depan menghalangi kami maju, dan Sakura jadi tegang di sampingku, pelukan lengannya jadi makin kencang.

Aku tidak bisa membawa Sakura maju atau mundur dengan aman, jadi kami berhenti di tengah jalan yang gelap.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang