Bab 65

1.3K 252 12
                                    

Tiga jam.

Tiga jam sebelum aku harus menjemput Sakura dan membawanya kembali ke rumahku agar kami bisa makan dan mengakhiri malam di kamarku.

Aku sungguh berantakan.

Meskipun aku berhasil keluar dari swalayan dengan semua barang belanjaan, aku masih dalam keadaan waspada. Kupastikan tidak ada tetangga yang bisa lihat apa yang kubeli, jadi kututup pintu garasi begitu masuk. Setelah kuperiksa jendela samping untuk memastikan tetangga yang sedang potong rumput tidak bisa melihat ke dalam sini, barulah kubuka bagasi dan mengeluarkan kantong makanan dan … dan … dan …

Kondom.

Seharusnya aku minta bantuan Paman Kakashi untuk membelinya, tapi jika begitu, aku akan dihujani pertanyaan selama berjam-jam. Seluruh hal yang kualami, bahkan tanpa interupsi aneh Shion sekali pun, sangat mengerikan. Sekarang aku punya kesempatan untuk berpikir tentang komentar teman seangkatan kami itu, dari mana Shion tahu tentang tanda lahir Sakura, obsesiku terhadap hal itu, atau kenapa dia bicara begitu. Buramnya ingatanku tentang pesta di pantai juga tidak membantu dalam hal ini.

Dengan hati-hati kubongkar semua makanan, menghindari kotak itu sampai detik terakhir. Setelah semuanya disingkirkan, kukeluarkan kotak besar berwarna emas dari kantung plastik dan memerhatikannya. Kelihatannya tidak begitu menakutkan seperti di swalayan tadi, tapi tetap saja mengintimidasi. Entah di mana aku harus meletakkan barang terkutuk ini, tapi sepertinya masuk akal jika disimpan di kamar.

Bagaimana jika Sakura tidak ingin melakukannya di kamar? Bagaimana jika dia lebih suka melakukannya di sofa? Atau kursi? Atau meja dapur? Orang-orang melakukan itu di sana juga, bukan?

Brengsek, mana kutahu.

Kubuka kotak itu dan mengeluarkan seutas panjang paket persegi kecil, semuanya saling tersambung. Kuhirup napas dalam-dalam, kurobek jadi empat agar seimbang, lalu menempatkan beberapa di setiap ruangan.

Bahkan kamar mandi. Mungkin Sakura ingin melakukannya di kamar mandi. Di kamar mandi yang sama tempat aku menyentuh tubuhku sendiri sambil memikirkannya, yang kemungkinan akan membuatku terkena serangan panik jika dia ada di sana.

Aku berlari ke ruang bawah tanah untuk meninju samsak.

Itu tidak membantu.

Begitu juga dengan nonton televisi, mengerjakan situs, atau membaca.

Yang bisa kupikirkan hanyalah berbagai caraku merusak malam ini.

Ketiduran setelah makan malam.

Tidak bisa membuatnya klimaks.

Tidak bisa ereksi.

Tidak bisa memasang kondom dengan benar.

Ejakulasi dini.

Terlalu lama ejakulasi.

Intinya payah dalam bercinta.

Sambil memejamkan mata, aku meringkuk di sofa. Kakiku menempel di dada, berusaha agar panik ini tidak membuatku gila. Napasku terengah-engah dan jantung ini seperti sudah hendak melompat keluar dari tulang rusuk. Aku bisa dengar jam berdetak – membawaku lebih dekat pada hal yang telah kami rencanakan.

Telepon berdering.

Aku ingin tetap dalam posisi ini dan mengabaikannya, tapi aku tidak pandai dalam mengabaikan telepon. Begitu telepon berdering, aku selalu terdorong untuk menjawabnya. Itu salah satu hal lucu tentangku menurut Sakura – meskipun aku tahu itu hanyalah telemarketer, aku tidak bisa mengabaikan telepon.

“Halo?”

“Aku mencintaimu,” suara lembut Sakura mengalir dari speaker telepon, lalu masuk ke dalam hatiku.

Kakiku lemas, dan aku terduduk di lantai dapur. Kutarik rambut, dan menghela napas panjang. Telepon terasa dingin di pipi, dan aku menekannya seolah-olah aku bisa jadi lebih dekat dengan Sakura.

“Aku takut,” bisikku.

“Aku tahu,” kata Sakura dengan mudah. “Aku juga agak takut. Tidak apa-apa. Kita baik-baik saja. Aku mencintaimu, dan aku akan tetap mencintaimu besok, apa pun yang terjadi.”

Ucapannya menyelimuti kulitku dan mengendurkan otot-otot. Kuusap mata saat bersandar ke dinding.

“Aku ingin kau menikmatinya,” kataku pelan. “Aku tidak ingin mengacaukannya.”

“Sasuke, aku juga tidak tahu apa yang akan kulakukan. Tapi itu juga hal paling alami yang bisa dilakukan dua orang bersama. Ingat pertama kali kita berciuman?”

“Ya.” Aku akan ingat itu selamanya.

“Kau ingat bagaimana kau melepaskan dirimu – membiarkan nalurimu mengambil alih situasi?”

“Ya.”

“Lakukan lagi hal itu.”

“Entahlah,” kataku. Aku menggelengkan kepala ke dinding. “Jika aku benar-benar melakukannya, mungkin aku akan menyakitimu.”

“Aku yakin kau takkan pernah menyakitiku,” jawab Sakura.

“Aku sangat mencintaimu,” kataku. “Aku ingin semuanya sempurna, tapi aku tidak tahu seperti apa sempurna itu terlihat.”

“Sempurna itu terlihat seperti kau dan aku bersama,” kata Sakura. “Hal lain yang terjadi cuma pemanis saja, seperti icing kue. Omong-omong tentang icing kue … aku membuatnya sendiri dari awal.”

“Kau bawa kue?”

“Ya.”

“Stroberi?”

“Ya.”

“Sekarang sudah jam enam?”

Sakura tertawa.

“Hampir,” jawabnya. “Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, dan Ayah baru akan pergi satu jam lagi. Jangan datang terlalu cepat, atau Ayah masih akan ada di sini.”

“Apa ayahmu tahu kau akan ke sini?”

“Ya,” kata Sakura sambil menghela napas. “Kurasa Ayah tahu akan menghabiskan malam di sana, tapi Ayah lebih suka pura-pura tidak tahu, kau mengerti, bukan?”

“Kurasa,” kataku. “Kau tidak memberitahu ayahmu?”

“Tidak!” pekik Sakura. “Untuk apa? Apa kau memberi tahu Paman Kakashi dan Bibi Rin?”

“Tidak,” kataku, menyadari maksudnya. “Itu aneh, bukan?”

“Ya, itu aneh,” Sakura setuju. “Oke, aku harus kembali. Tetap tenang. Aku mencintaimu.”

“Aku pun mencintaimu.” Sungguh aneh betapa mudahnya kalimat itu meluncur dari bibirku.

Telepon jadi sunyi, tapi aku tetap duduk di sana dan menahannya di telinga selama beberapa menit. Aku sadar aku tersenyum, dan bertanya-tanya bagaimana Sakura tahu kapan harus menelepon.

Aku yakin Sakura bukan ahli cenayang, jadi sepertinya itu adalah intuisi perempuan.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang