Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa, tapi menurutku akan sangat aneh jika berdiri saja di sini. Selain itu, kakiku mulai lelah dan sepatuku tertutup pasir. Perlahan aku berjalan ke salah satu meja yang tampaknya diseret seseorang dari perkemahan terdekat dan duduk di sana.
Masih ada kekacauan luar biasa di sekeliling pantai. Sakura dan Hinata belum kembali, beberapa orang berusaha menenangkan Naruto. Aku jadi bertanya-tanya seperti apa perasaannya – bukan hanya tentang mengumumkan pernikahan, tapi bagaimana prospek menjadi seorang ayah. Kalau itu aku, aku akan panik setengah mati.
“Hei,” sapa Shikamaru saat dia duduk di sebelahku. “Pembukaan pesta yang luar biasa, bukan?”
Shikamaru tertawa, dan aku tahu dia tidak berharap aku menjawab, jadi aku diam saja.
“Perjalanan SMA akhirnya benar-benar tuntas,” lanjut Shikamaru. “Aku tidak pernah menyangka akan melihatmu menghadiri pesta, tapi di sinilah kau berada!”
Shikamaru meneguk minuman di cangkir plastik warna merah, dan tertawa lagi.
“Ayo, Naruto, duduklah sebentar.”
Aku beringsut saat Lee dan Morio membawa Naruto dan mendudukkannya di sebelahku. Dia tampak pucat, dan bergumam sendiri.
“Seharusnya aku mengejar Hinata,” bisik Naruto. “Seharusnya aku tidak pernah menyarankan agar kami mengumumkan pertunangan ...”
“Semuanya baik-baik saja, Kawan,” kata Morio. “Lagi pula beritanya juga akan tersebar.”
“Setidaknya ayah Hinata tidak punya senapan, kan, Sasuke?” Tawa Shikamaru sepertinya benar-benar di luar kendali, dan aku meliriknya. Kemudian aku sadar Naruto dan Hinata pasti harus memberi tahu orang tua Hinata tentang beberapa hal, dan aku jadi mengerti apa yang dimaksud Shikamaru. Paman Kizashi mungkin akan menembakku jika sesuatu yang serupa terjadi.
Aku agak bergidik.
“Ini ambil,” kata Lee. Cangkir plastik merah seperti yang dipegang Shikamaru diserahkan pada Naruto, dan dia mulai minum, lalu menyeka mulutnya dengan lengan baju.
“Sakura mengejar Hinata?” kata Naruto sambil menoleh ke arahku.
Aku sama sekali tidak menyangka dia akan bicara padaku, jadi aku lengah. Mulutku terbuka, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar. Aku akhirnya mendongak saat Tenten menjawabnya.
“Sakura akan bawa Hinata kembali,” kata Tenten. “Jangan khawatir.”
“Sakura gadis yang sangat baik,” kata Naruto.
Dia menepuk bahuku, dan tubuhku langsung tegang. Dada ini terasa berat, dan aku tidak bisa bernapas atau menelan benjolan yang terbentuk di pangkal tenggorokan. Naruto terus menepuk-nepuk bahuku sambil bicara.
“Dia teman baik Hinata, dan Hinata memang akan memberitahunya juga malam ini,” kata Naruto pada semua orang di sekitar kami, tapi dia terus menatapku. “Sakura akan berhasil menenangkan Hinata dan membawanya kembali, jadi kami bisa bersenang-senang sejenak. Aku tidak bermaksud untuk mengacaukan suasana ... sial ... sungguh, aku tidak ingin merusak pesta …”
Suaranya menghilang, dan otakku mulai meredamnya. Lagi pula, ucapannya memang tidak masuk akal.
“Kukira Hinata mengadakan pesta di rumahnya?” Lee tiba-tiba menyela.
“Itulah yang dipikirkan semua orang tua yang tidak mengizinkan anak mereka datang ke sini malam ini,” Natuto mengangguk penuh semangat. “Kecuali orang tua Hinata. Mereka pikir pestanya ada di rumah Tenten.”
“Jangan seret aku ke dalam hal ini,” gerutu Tenten. Dia ambil cangkir merah kosong dari tumpukan dan mengisinya dengan minuman dingin di cerat besar. Minumannya warna merah dan wanginya manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restless Heart
Fanfiction-- SasuSaku Fanfiksi -- 🍃[SELESAI] • Naruto © Masashi Kishimoto • Butuh perjuangan baginya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dia tak tahan jika harus menghadapi hal-hal yang tak terduga. Namun di sisi lain, seseorang datang dan dengan gigih b...