Bab 32

1.2K 260 28
                                    

Kutengadahkan kepala ke arah shower, kupejamkan mata dan membiarkan hangat airnya mengaliri tubuh. Air yang hangat menghilangkan semua ketegangan yang terasa mulai dari aku masuk rumah sepulang sekolah – tidak termasuk saat memukul samsak. Aku menunduk, menghirup napas dalam-dalam, lalu mematikan shower dan menyeka wajah dengan handuk yang tergantung di atas pintu kamar mandi.

Kutuangkan shampo di tangan, kugosok kedua tangan sebelum mengusapnya ke rambut. Biasanya aku akan hitung waktu mencuci rambut, tapi aku tak bisa konsentrasi sekarang. Aku terus memikirkan Sakura.

Bagaimana bibirnya terasa di bibirku.

Bagaimana rasanya saat lidahku ada di mulutnya.

Bagaimana rasa tubuhnya di bawah tubuhku, terhimpit di sana selagi dia mencengkeram punggung dan bahuku.

Aku menelan ludah dan menengadahkan kepala ke shower, kupejamkan saat busa mengalir di wajah, leher, dan bahu. Kuusap lagi mukaku. Aku tidak suka membayangkan ada air, apalagi shampo, mengenai mata. Kutuangkan conditioner, karena Ibu selalu bersikeras agar kami memakainya, dan kemudian kutuangkan sabun mandi di tangan sembari menunggu conditioner bereaksi.

Ketika aku menyabuni lengan, aku teringat Sakura yang mencengkeramnya saat dia berjinjit dan mengecupku sebelum pulang. Ketika aku membasuh kaki, pahaku agak sakit karena menahan tubuhku agar tidak memberatkannya. Ketika aku cuci muka dan leher, aku bertanya-tanya apakah mencium leher Sakura akan berbeda rasanya dengan mencium bibirnya.

Tempo napasku mulai meningkat, dan mataku terpejam lagi. Detak jantungku terasa cepat, dan aku bertanya-tanya mungkinkah aku berkeringat di kamar mandi. Aku sadar suhu air sepertinya agak lebih hangat secara tiba-tiba.

Aku juga ereksi.

Sebagai seorang lelaki berusia delapan belas tahun, aku sering ereksi. Aku ingat Ayah bercerita tentang mimpi basah dan sejenisnya ketika aku masih kecil, dan beberapa kali aku terbangun mengalami hal-hal seperti itu, meskipun aku tak pernah ingat mimpi apa. Aku tidak lupa pertama kalinya aku masturbasi, meskipun tindakan itu tak sering kulakukan. Ketika itu, perempuan dalam imajinasiku selalu tanpa nama dan tanpa wajah.

Tidak kali ini.

Tanganku sepertinya otomatis menggenggam kejantananku, tanpa aku benar-benar sadar hal itu. Aku mendesis saat membelai area tubuhku di bawah sana, dari pangkal ke ujung dengan bayangan Sakura di mobil yang masih segar dalam kepala. Lidahku menjilati bibir dari kiri ke kanan, dan aku nyaris masih bisa merasakannya di sana.

Kumiringkan lagi kepala ke shower, dengan cepat membilas rambut sebelum aku mundur selangkah dan bersandar di dinding ubin yang dingin. Tubuhku menggigil saat mencengkeram ereksiku lagi dengan tangan kanan, sementara telapak tangan kiri menempel di dinding belakang.

Di kepalaku, kulihat aku dan Sakura keluar dari mobil setelah bercumbu dan masuk ke rumah. Dia raih tanganku dan membawaku ke atas, ke kamar tidurku. Dia berbalik dan berjalan mundur melewati pintu, memegang kedua tanganku saat dia bergerak menuju tempat tidur. Dia duduk di sana dan buka baju.

Napasku jadi pendek-pendek. Terus kubelai kejantananku dari pangkal ke ujung, ujung ke pangkal.

Kuraih punggung Sakura dan dengan cekatan melepas bra-nya, tapi kulitnya yang kelihatan sekarang tidak jelas. Tanganku masih menyentuh kulitnya yang lembut dan hangat, dan kuciumi bibirnya.

Lembab lidahku bergabung dengan lembabnya shower saat aku menjilati bibir, aku menelan ludah, dan membelai kejantananku lagi – pangkal ke ujung, ujung ke pangkal. Dengan menyangga punggung ke dinding, kegerakkan sebelah tanganku dari bahu ke pergelangan tangan, pergelangan tangan ke bahu.

Pakaian kami sudah hilang, dan Sakura ada di bawah tubuhku di tempat tidur. Dia belai pipiku, rahang dan leherku.

Jemariku menari-nari di atas kulit, membayangkan itu sentuhan lembut Sakura di wajah dan bahuku.

Tangan dan jariku meniru apa yang dia lakukan di imajinasi dan bagian bawah perutku jadi tegang.

Tangannya berada di dadaku dan turun ke perut. Dia usap otot perutku sebelum berpindah lebih rendah. Jemarinya menggenggam kejantananku saat dia lebarkan kakinya di hadapanku. Sakura membimbingku di antara pahanya.

Aku terkejut dengan intensitas sensasi yang tiba-tiba mengalir di sekujur tubuh.

Tanganku bergerak lebih cepat di kejantanan ini, mencengkeramnya agak erat saat aku terus membelainya dari ujung ke pangkal, pangkal ke ujung. Punggungku melengkung di dinding ubin yang sejuk, dan sebelah tanganku mencengkeram bagian atas paha. Ujung ke pangkal, pangkal ke ujung.

Aku masuk ke dalam dirinya, dan di sana hangat dan lembut, dan aku merasa …

Sebuah geraman keluar dari tenggorokan saat kaki ini gemetaran dan kejantananku makin keras. Getaran yang cepat dan intens ini bergema di seluruh kulit sampai semuanya terfokus di antara kedua kaki. Dengan satu usapan terakhir, aku pelepasan ke lantai kamar mandi dengan kekuatan yang jauh lebih hebat daripada yang pernah kurasakan sebelumnya.

Aku hampir jatuh.

“Oh, brengsek,” gerutuku. Tanganku terus bergetar sambil aku berusaha menarik napas dalam-dalam dan mempertahankan pijakan kaki. Aku merasa pusing – seolah-olah seluruh darah hilang dari otak. Mungkin memang begitu. Aku kembali melangkah di bawah shower dan membasuh tubuhku lagi, masih dalam keadaan linglung.

Aku segera keluar dari kamar mandi dan mengenakan celana santai usang yang sudah terlalu pendek bagiku sekarang – dan celakanya, celana ini ada gambar SpongeBob. Tapi aku tidak akan membuangnya, karena Ibu yang membelinya ketika aku berusia empat belas tahun, dan aku masih menyukainya. Kukeringkan rambut dengan handuk dan kemudian naik ke tempat tidur, masih agak takut kakiku tertekuk tiba-tiba.

Masturbasi tak pernah terasa seperti itu sebelumnya.

Jantungku mulai berdebar lagi hanya dengan memikirkannya. Beberapa menit kemudian, kejantananku sudah sekeras batu dan tanganku kembali masuk ke celana.

Tidak – sudah pasti aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Restless HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang