PACU #1 Aku Dan Rannu

993 92 0
                                    

Kalau boleh memilih, dia lebih bahagia seandainya tidak dilahirkan ke dunia, daripada harus mengalami penderitaan. Itulah kesan yang aku tangkap kala suatu sore, di teras depan rumah, aku dan Rannu duduk dan saling berbagi cerita. Rautnya tampak sedih. Hatinya pun aku pastikan gelisah dengan masalah yang dihadapinya. Siapa pun akan mengalami hal yang sama saat berhadapan dengan masalah seperti Rannu.

"Kadang aku bertanya, sebenarnya aku ini anak siapa?" tanya Rannu yang seolah ditujukan pada dirinya. Jenis pertanyaan yang menyayat hati. Aku tentu saja terkejut mendengarnya. Tidak menyangka sama sekali pertanyaan itu dilontarkan oleh Rannu.

"Kok, ngomongnya begitu, sih, Ran?" Aku mencoba memahami apa yang tersirat dalam pertanyaannya.

"Coba aja kamu lihat kakak-kakakku, San. Mereka semua sarjana. Yang satu Arsitek, lainnya Akuntan dan Dokter. Sedang aku, tamat SMA aja harus berjuang. Memang, sih, aku sempat kuliah di Akademi Pariwisata, tetapi kamu tahu sendiri kan, nggak selesai. Aku nggak tahu, kenapa otakku nggak seperti mereka. Mungkin karena itu, aku sering kena tegur dari tante dan om, nggak dari pihak Papa juga dari pihak Mama. Sepertinya yang aku kerjakan selalu salah di mata mereka. Aku diberi cap hanya bisa bikin malu keluarga. Aku jadi nggak tahu harus bagaimana." Rannu menumpahkan keluh kesahnya. Tak lama kemudian, air mata mulai mengalir di pipinya.

Fakta yang diungkapkan Rannu benar adanya. Saudaranya memang lulusan Universitas terbaik. Sementara Rannu, jangankan lolos masuk perguruan tinggi favorit, dapat menyelesaikan SMA-nya saja sudah terbilang mewah baginya.

"Aku yakin, kamu punya kelebihan yang nggak dimiliki sama kakakmu. Kamu harus mampu menunjukkan ke mereka aja. Sesama saudara tuh pasti adanya bedanya Rannu. Aku juga begitu, kok," kataku mencoba menghiburnya.

Rannu menyeka air matanya. Matanya mengerjap menatapku, seolah ingin membenarkan apa yang aku ucapkan.

"Kalau saja aku punya kemampuan itu Sandri, akan aku tunjukkan ke mereka. Tapi rasa-rasanya aku nggak punya kemampuan apa-apa, selain banyaknya kekurangan yang selalu jadi bahan teguran."

Aku tertegun. Aku jadi teringat masa-masa waktu kami kecil dulu.

Aku dan Rannu masih berhubungan keluarga dekat. Tepatnya Tante Elis—mamanya Rannu— dan Mama bersaudara. Ketika kami masih kecil, kami sering banget bermain bersama dan sempat juga satu sekolah saat masih SD. Naik kelas 2 SD, aku pindah karena ikut Papa yang ditugaskan ke luar kota. Tidak berapa lama kami pindah, Om Fritz—papanya Rannu—meninggal karena sakit komplikasi ginjal dan diabetes. Om Fritz sudah pernah operasi transplantasi ginjal sebelumnya, tetapi tetap saja belum bisa menyelamatkan hidupnya lebih lama. Yang aku ingat dari Om Fritz, jika aku datang, beliau sangat senang. Pikirku, mungkin karena kami masih kecil saat itu jadi yang paling disayang. 

Selain dosen, Om Fritz punya perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Perusahaan itu langsung ditangani oleh Tante Elis setelah beliau meninggal. Karena kurang pengalaman, perusahaan itu merugi dan akhirnya kolaps. Jika hanya mengharapkan hasil pensiun dari Om Fritz, tentu tidak mencukupi untuk biaya hidup keluarga Tante Elis. Namun, tidak berarti Tante Elis kemudian meminta bantuan dari saudaranya yang memang pantas untuk memberikan bantuan, mengingat mereka banyak yang disekolahkan oleh Om Fritz.

Tante Elis punya kemampuan bahasa Inggris dan Belanda. Bermodalkan itu, Tante Elis bekerja pada travel sebagai pemandu wisata untuk wisatawan asing. Dengan pekerjaan ini, Tante Elis banyak bepergian mengantar tamunya ke tempat wisata di Indonesia. Maka urusan rumah dan mengasuh anak-anak jadi tanggung jawab Tante Anna, yang masih kerabat jauh Om Fritz dan sudah lama ikut dengan mereka.

Kegigihan Tante Elis ini yang selalu aku kagumi. Tetap tegar dan pantang menyerah demi keluarganya. Sampai saat ini, Tante Elis tidak menikah lagi setelah Om Fritz meninggal. Beliau fokus bekerja dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

Meskipun sudah pindah, jika liburan, aku dan Rannu masih sering bertemu. Masuk SMA, aku kembali ke Jakarta karena tidak cocok dengan udara dingin di tempat Papa bertugas. Di daerah itu, asmaku sering kambuh bahkan pernah hampir out jika saja tidak cepat dibawa ke rumah sakit. Namun, aku sudah tidak seintens dulu ke rumah Tante Elis untuk bertemu Rannu. Begitu juga dengan Rannu, sudah sangat jarang main ke rumah. Aku sudah sibuk dengan kuliah yang tugasnya seakan memenjara diriku.

Sekali waktu Rannu datang ke rumah. Dia mengajakku jalan ke mall, menemaninya cari flat shoes. Kebetulan saat itu hari libur dan aku hanya bersantai saja di rumah. Dari mall kami mampir makan di tempat favorit kami. Saat itu badannya mulai melar, tidak kurus lagi seperti dulu. Makanan yang tidak aku habiskan, malah diembatnya juga. Wah ..., ada perubahan yang drastis padanya.

Saat aku kuliah Papa sudah pensiun. Papa menetap kembali di Jakarta. Rumah agak sepi ketika kedua kakak perempuanku menikah dan pindah ke rumah sendiri. Tinggal aku dan Kak Dani—kakak laki-laki satu-satunya—yang masih ikut orang tua. Akan tetapi, sepertinya sebentar lagi Kak Dani juga akan pergi setelah menyelesaikan kuliah. Dia tertarik melanjutkan S2-nya di luar.

Mulai saat kuliah inilah, aku mulai mendengar cerita-cerita aneh mengenai Rannu, dari Mama, tante dan om, atau keluarga lain yang datang ke rumah. Mulai dari cara berbusana Rannu, dandanannya, sering ke luar rumah, suka bergaul sama orang-orang yang tidak jelas asal usulnya dan macam-macam lagi. Aku sendiri hanya mendengarkan, tidak menanggapi sama sekali. Bagiku, cerita itu baru benar jika aku sudah membuktikannya sendiri.

Semasa kuliah, aku sering asistensi ke rumah dosen. Kebetulan rumah Tante Elis ada dalam kompleks perumahan dosen, jadi biasanya setelah asistensi, aku mampir sebentar. Namun, aku sama sekali tidak pernah menjumpai Rannu. Kala itu aku pikir, mungkin saja Rannu masih kuliah atau lagi ke rumah temannya. Setelah beberapa kali aku mampir dengan hari dan jam yang berbeda, aku tetap belum pernah menjumpainya. Aku berkesimpulan, mungkin saja cerita itu benar. Belum lagi cerita dari Tante Anna. Kupikir cerita itu pasti benar karena beliaulah yang sehari-hari bersamanya.

Pernah juga Rannu ke rumah, kebetulan ada keluarga yang akan hajatan. Aku terbelalak melihat dandanannya dan busananya yang menurutku tidak pantas untuk acara keluarga. Dandanannya sangat berlebihan. Busananya punya belahan yang menampilkan bagian yang seharusnya tertutup.

Setelah tinggal bersama di rumah kakak pertama Rannu, barulah aku membenarkan cerita-cerita yang dulu diceritakan oleh keluarga. Tiga bulan lebih aku bersamanya, karena aku masih menunggu panggilan kerja sambil bekerja secara freelance untuk beberapa project, jadi Tante Elis meminta aku menemani Rannu. Beberapa kebiasaannya sering membuat aku shock. Keluar dari kamar mandi hanya dengan underwear, padahal jarak dari kamar mandi ke kamar harus melewati ruang makan yang hanya dibatasi sekat dengan ruang tamu. Bisa dibayangkan jika ada tamu yang datang dan melihatnya. Aduh! Yang parah lagi jika tidur. Rannu juga hanya pakai underwear. Hal ini pernah aku protes. Rannu menurut, karena dia paling takut tidur sendirian di kamar.

Usia kami memang sebaya, tetapi pikirannya masih belum dewasa. Aku jadi berpikir, mungkin karena selama ini tidak ada yang membimbingnya. Om, Tante Elis dan juga saudaranya hanya bisa menyalahkan tanpa mencoba memberikan pengertian. Tante Elis bekerja, sering bepergian pula, jadi tidak ada waktu memperhatikannya.

Selama bersamanya, aku banyak bertukar pikiran dengan Rannu. Kebiasaan buruknya tidak langsung aku cela, tetapi mencoba memberitahu untuk mengubahnya dengan cara halus. Misalnya, jika kami akan ke luar rumah, aku memberinya beberapa alternatif busana yang akan dipakainya. Aku juga suka memancing pendapatnya jika kami sedang menonton atau membaca. Ternyata pendapatnya boleh juga. Pastinya yang aku suka dari Rannu adalah masakannya. Semua yang dimasaknya selalu enak. Aku yakin yang pernah mencicipi masakannya pasti menyukainya. Mungkin satu hal dia tidak punya kemampuan yang sama dengan saudaranya, tetapi hal lain dia bisa. Bukankah setiap orang punya kekurangan dan kelebihan, bukan?

*****

Jakarta; Oktober 29, 2021

Selamat pagi.

Salam sehat ya.

Sedikit share saat mulai menulis cerita ini, emosi saya kadang naik turun. Benar-benar larut saat menulisnya. Cerita ini sebagian adalah kisah nyata.

Aku sangat berharap cerita ini bisa membawa sesuatu yang berbeda.

Jangan lupa tinggalkan sesuatu yang istimewa setelah membaca.

Thank you.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang