PACU #32 Masih Meraba Masa Depan

398 65 6
                                    


Setelah makan malam di tempat Arion, aku berkeras tetap ingin naik ojek online saja kembali ke rumah. Akan tetapi, dengan keras pula Arion menolak keiinginanku. Sebelumnya, sebagai ucapan terima kasih untuk makan malamnya, aku menawarkan diri membersihkan peralatan makan kami. Walau Arion awalnya menolak, tetapi dengan alasan dia yang sudah memasak maka giliran aku yang membersihkan, akhirnya usulanku diterima. Dari pengamatanku, dia adalah tuan rumah yang baik. Dia juga sama sekali tidak menunjukkan rasa malu saat menyiapkan makan malam kami. Padahal aku mengira, dengan tampangnya yang super menawan, sikap yang keras dan menuntut, pasti gengsinya setinggi langit. Terlebih menunjukkannya pada seorang wanita.

"Ini sudah malam Sandri, saya nggak bisa melepas kamu begitu saja. Saya antar dan jangan membantah," ucapnya dengan penuh penekanan. Kalau sudah begitu, aku tak bisa mencegahnya lagi. Sikap kerasnya kembali. Yang aku tak paham, setiap ucapan tegas Arion mendadak membuat bibirku tak bisa digerakkan untuk menyela. Aku yang juga keras dalam bersikap, apalagi jika itu menyangkut prinsip berubah bungkam. Berhadapan dengan pria itu kadang membuat diriku bingung untuk bersikap. Padahal, selalu kuwanti-wanti diriku untuk tidak terpengaruh. Namun, ketika berhadapan dengannya pertahananku seolah runtuh secara perlahan.

Arion meyambar kunci mobil yang diletakkannya di crendenza yang berada di ruang tengah lalu menghelaku ke lift untuk turun ke lantai basemen. Aku hanya diam mengikuti langkahnya ke mobil yang terparkir. Sekilas aku melihat area parkir mobil Arion terpisah dari mobil lainnya. Mungkin ini tempat parkir khusus untuknya, pikirku. Selain jip mewah yang sering dipakainya berkegiatan sehari-hari, ada mobil mewah lain yang terparkir di dekat jip tadi.

"Mas, makasih, ya, makan malamnya," ucapku saat kami berada di jalan yang sudah lumayan berkurang macetnya. Saking asiknya aku menikmati masakan Arion, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Harusnya aku malu, tetapi bukankah Arion yang memaksaku ikut ke apartemennya tadi? Ya sudah, yang pasti aku sudah mengucapkan terima kasih. Beres!

"Oke. Tapi gimana masakan saya tadi, enak nggak?" Arion menoleh sesaat padaku lalu kembali fokus ke jalan yang kami lalui. Sepertinya Arion baru tersadar karena sejak tadi aku hanya menikmati masakannya tanpa berkomentar apa pun.

"Enak Mas. Masakanku aja nggak seenak itu, kok." Maunya aku menambahkan kata 'enak banget', tapi aku tak mau terkesan ingin memujanya. Bisa-bisa dia merasa aku sudah jatuh dalam pesonanya. Sejujurnya, aku masih berusaha menghalau rasa yang mulai menyusup dalam dada.

"Syukurlah kalau kamu suka. Sudah lama banget saya nggak masakin orang lain jadi ragu aja rasanya." Arion pasti sering memasak untuk pacar-pacarnya. Setelah percakapan mengenai masakan, aku lebih banyak diam dan melihat suasana malam dari balik kaca jendela penumpang.

"Sandri," panggil Arion. Aku tersentak dari lamunan dan menoleh padanya.

"Ya, Mas?"

"Tadi kamu bertemu Ferdy dalam rangka apa? Bicarakan kerjaan atau ada hal lain?" Aduh, pertanyaannya seolah Arion tahu ada hal lain yang kami obrolkan tentang dirinya.

"Obrolin kerjaan aja, sih, Mas. Kebetulan detail desainnya sudah ada yang selesai, jadi sekalian saya bawa ke tempat Mas Ferdy."

"Oh, gitu. Kalau punya saya gimana? Ada yang sudah selesai juga?"

"Untuk gambar detailnya belum Mas, saya fokus punya Mas Ferdy dulu, ya?" Jawaban yang tak mengenakkan tentu saja, tapi apa boleh buat memang begitu kondisinya. Lagi pula sebelum menerima pekerjaan darinya, aku sudah menjelaskan jika belum bisa mengerjakannya dalam waktu dekat. Syukur-syukur aku sudah membuatkan konsep desainnya, seharusnya dia tidak mendesakku untuk menyelesaikan gambar detailnya juga.

"Oke, nggak masalah asal kamu jangan lupa aja."

Kami sudah tiba di depan pagar rumah. Kulihat mobil Kak Dani sudah berada di garasi. Semoga Kak Dani sudah masuk kamar sehingga tak menghujaniku dengan pertanyaan nantinya. Saat tanganku hendak membuka pintu Arion menahannya. Refleks kepalalu menoleh, menatapnya dengan bingung.

"Kalau ada yang mau kamu tanyakan, kamu bisa langsung tanyakan ke saya aja jangan ke orang lain, sekalipun itu Ferdy," ucapan Arion menohokku dengan telak, menjadikanku merasa bersalah padanya. Feeling-nya sangat tajam karena bisa dengan tepat tahu ada obrolan aku dan Ferdy mengenai dirinya. Aku mulai menduga-duga. Jangan-jangan cctv yang berada di ruangan Ferdy bisa dilihat juga oleh Arion? Mengapa aku baru menyadarinya? Arion menguasai IT, jadi memungkinkan dia terhubung dengan apa pun yang berhubungan dengan itu. Mataku hanya terbelalak melihatnya. Tanganku masih dipegangnya seakan tak ingin membiarkanku pergi. Herannya, aku juga tak berniat melepaskan pegangannya. Kami berdiam dalam posisi itu kurang lebih sepuluh menit.

"Sudah malam, masuklah. Saya nggak mampir, ya?" Arion berucap dengan mata yang tidak lagi menatap tajam, melainkan menatapku dengan teduh. Bibirnya membentuk senyuman tanpa paksaan yang makin menambah tingkat pesonanya. Tangannya terlepas lalu terulur mengusap lembut kepalaku. Hatiku menghangat mendapat perlakuan seperti itu. Ada getaran aneh menyusup di dada yang sekuat tenaga berusaha kuhalau. Ya Tuhan, jangan biarkan pertahananku goyah, pintaku dalam hati.

"Mas, maaf. Saya telah menanyakan masa lalu Mas ke Mas Ferdy. Saya nggak ada maksud apa-apa, kok, hanya pengen tahu aja karena terdorong rasa penasaran melihat gimana was-wasnya Mas Ferdy kalau tahu saya bersama Mas. Terlebih lagi kalau saya ke apartemen Mas." Aku memiringkan badan menghadap padanya saat membeberkan percakapanku dengan Ferdy. Dengan berat kuakui semua padanya. Sungguh, aku hanya ingin tahu masa lalunya agar bisa bersikap kala bertemu dengannya.

"Nggak apa, saya paham maksud kamu. Tapi lain kali, kamu bertanya langsung aja ke saya. Tanyakan apa yang ingin kamu ketahui, saya pasti akan menjawabnya."

"Mas nggak punya niat balas dendam ke saya, kan, ya?" Pertanyaanku membuat keningnya berkerut dalam. Arion menarik napas berat lalu mengembuskan dengan perlahan. Embusannya terasa menerpa wajahku yang jaraknya tidak begitu jauh dari wajahnya. Aku merasa wajahku memanas.

"Sandri, saya memang punya masa lalu yang kelam banget, itu fakta. Tapi, nggak pernah ada terlintas, tuh, untuk membalaskan dendam ke kamu. Kamu nggak ada salah apa-apa ke saya, jadi nggak mungkin saya berbuat hal buruk sama kamu. Kamu harus percaya ke saya," ucapan Arion penuh penekanan untuk meyakinkan diriku. "Saya tahu, kamu masih ada hubungan keluarga dengan Rannu, tapi saya nggak akan pernah membalaskan sakit hati akibat perbuatan mereka di masa lampau pada keluarga kami ke kamu," lanjutnya. Oke, aku sangat paham dengan penuturannya. Akan tetapi, mengapa dulu dia membalaskan sakit hati keluarganya ke Shinta yang tak punya salah padanya? Ini yang membuatku teramat sangat khawatir jika sewaktu-waktu dia juga mengambil tindakan yang sama padaku. Ini jugalah yang dikhawatirkan oleh Ferdy. Aku sangat ingin menuntaskan rasa ingin tahu ini, sayangnya kondisi kami tidak memungkinkan. Selain sudah larut, apa iya kami mengobrol hanya di dalam mobil saja? Tentu tak mungkin. Bisa-bisa ada patroli seputaran kompleks dan kami dituduh melakukan tindakan aneh.

"Pasti masih banyak yang pengen kamu tanyakan, kan? Tahan dulu, kalau waktu saya lowong saya akan jemput kamu dan kita bisa tuntaskan rasa penasaran kamu ini." Arion bisa menangkap dengan jelas rasa penasaran pada raut wajahku. Hal itu berarti, aku sudah tidak bisa lepas darinya. Sepertinya akan selalu ada pertemuan dengannya, lagi dan lagi. Aku meraba masa depanku seolah akan berputar di sekitar Arion.

Tangannya yang tadi mengusap kepalaku sudah diturunkannya. Namun, wajahnya masih tetap menatapku. Mata yang selalu menyorot tajam kini berubah sendu. Kemudian wajahnya mendekat yang membuatku refleks mundur hingga terbentur pintu. Jantungku berdegup dengan kencang.

"Aku sayang sama kamu. Jadi apa pun yang terjadi di masa laluku, jangan membuat kamu menghindar apalagi membenciku. Just, stay with me. Please!" Mataku membulat usai mendengar ucapannya. Jangan tanya degup jantungku, sudah berirama seperti musik rock yang berdentum dengan kerasnya. Aku sama sekali tak mampu menggerakkan bibir dan hanya diam terpaku menatapnya.

*****

Jakarta; January 08, 2022


Akhirnya, Arion menyatakan apa yang ada di hati juga, nih.

Apakah Sandri menerima?

Nantikan di part berikutnya.

Sabar, ya.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang