PACU #33 Inikah Rasanya?

388 60 2
                                    


Setelah ungkapan rasa sayang Arion, tanganku jadi grogi membuka pintu. Arion sampai mengulurkan tangannya membantu membuka pintu penumpang untukku. Tanpa menoleh, aku melangkahkan kaki dengan cepat masuk ke dalam rumah. Hampir saja kakiku tersandung undakan di teras saking masih gugupnya karena aku tahu, Arion masih belum melepaskan pandangannya sampai tubuhku menghilang di balik pintu. Ya Tuhan, tolong jaga diriku agar tak mudah jatuh dalam pesonanya, doaku dalam hati. Walau aku sangsi bisa menghindari pria yang punya prinsip tak mudah menyerah jika tujuannya belum tercapai.

"Lho, baru pulang Sandri?" Mama bertanya dengan raut wajah heran melihatku baru tiba. Tak biasanya aku pulang larut begini. Karena tertahan di apartemen Arion tadi, jadinya aku baru tiba di rumah setelah jarum jam hampir menyentuh angka 10. Itu sudah termasuk larut bagiku yang bekerja secara freelance.

"Iya, Ma. Setelah jenguk Rannu, Sandri ke tempat Mas Ferdy kemudian lanjut ke tempat Mas Arion."

"Bicarain desain kamu sama mereka, ya? Terus, kamu pulang pakai ojol lagi atau diantar siapa? Mama, tuh, suka khawatir kalau kamu pakai ojol malam-malam begini."

"Sama Mas Arion, Ma. Tapi nggak sempat mampir. Tadi titip salam aja sama Mama." Mama tersenyum mendengar Arion menitipkan salam.

"Oh, gitu. Padahal Mama kangen ngobrol sama dia. Anaknya hormat banget gitu sama orang tua." Itu karena Mama belum tahu aja masa lalunya, aku menyela dalam hati. Arion benar-benar sudah mendapat tempat di hati orang tuaku. Melihat secara fisik dan adab, Arion memang juara. Sikapnya sangat santun kala berhadapan dengan orang yang usianya jauh lebih senior dari usianya. Ini bisa kusimpulkan dari pertama kali dia ke rumah. Sikapnya penuh hormat, tetapi tidak terkesan berlebihan saat berhadapan dengan orang tua. Itu yang membuatnya bisa dengan leluasa berbincang dengan papa dan mama dan akhirnya sampai saat ini kehadiran Arion di rumahku sangat dinantikan.

Hal yang berbeda dengan Kak Dani. Dari nasihatnya saat pertama kali melihat kendaraan Arion, dia tidak begitu tertarik. Mungkin ini naluri seorang kakak laki-laki terhadap adik perempuannya. Dari sikap, aku dan Kak Dani sama-sama pendiam, sedikit berinteraksi jika tidak punya kepentingan. Kami berdua selalu tenggelam kala berhubungan dengan pekerjaan. Namun, Kak Dani tipe pekerja keras sementara aku woles saja. Akan tetapi, nggak berarti aku santai karena bagaimanapun juga aku harus bisa memenuhi kebutuhanku sendiri. Adalah hal yang memalukan jika sudah di usia dewasa ini aku masih menggantungkan hidupku pada orang tua. Aku tahu, Mama sangat ingin melihatku punya pekerjaan tetap. Sayangnya, aku belum tertarik. Melihatku enjoy dan juga membantu urusan rumah, Mama sudah jarang mengungkit hal itu lagi.

Aku menghempaskan tubuh di samping Mama yang masih menikmati acara favoritnya di televisi. Di rumah ini selain aku, Mama juga sering telat tidur, tetapi tetap bangun pagi melakukan rutinitasnya. Mumpung ingat, baiknya aku memperlihatkan bukti kekerasan yang pernah Rannu alami. Aku membuka gallery di ponsel dan mengangsurkan ke Mama.

"Apa ini?" Mama tentu saja bingung melihat foto yang kuperlihatkan padanya. Matanya penuh selidik menatap foto tersebut. Namun, dari raut wajahnya aku memastikan Mama sudah bisa menebak apa arti di balik foto itu.

"Ini bekas jahitan dan sepertinya lukanya dulu cukup dalam," tanggapan Mama selanjutnya. Mendengar itu aku jadi sedih kembali mengingat kekerasan yang terjadi pada Rannu.

"Ini luka di kepala Rannu, Ma."

"Oh ...!" Walaupun sudah bisa menebak, tetap saja Mama terkejut mendengar ucapanku. Kemudian melanjutkan, "sampai mukul di kepala begini?! Ini sangat berisiko sekali. Lia itu, kok, tega sekali sama Rannu, sih. Sebegitu parahnyakah perbuatan Rannu sampai dia tega menyiksanya seperti ini? Orang macam apa dia itu! Besok Mama mau ke tempat Tante Elis membicarakan ini. Fotonya share ke Mama, San." Jelas saja Mama sangat marah. Aku pun juga begitu ketika melihat luka di kepala Rannu tadi. Luka yang sudah lama, tetapi masih tampak jelas kalau luka itu cukup membuat yang mengalaminya merasakan kesakitan.

"Kasihan banget Rannu, ya, Ma. Sayangnya, Kak Arie nggak pernah tahu apa yang terjadi di rumah kalau sudah berangkat kerja. Sikap Kak Lia saat Kak Arie berada di rumah, tuh, sangat jauh berbeda. Sandri mengalami sendiri, sih."

"Berbeda gimana?" tanya Mama. Tentu saja sikap Kak Lia selama aku tinggal di Bandung tak pernah aku ceritakan pada Mama. Hal seperti itu bagiku adalah risiko tinggal bersama orang lain walaupun masih ada hubungan keluarga. Mama mendidikku agar bisa beradaptasi di mana pun aku berada. Jadi, menerima perlakuan Kak Lia di Bandung dulu bukan masalah bagiku.

"Ngomongnya, tuh, suka nyelekit gitu Ma, apalagi kalau kami ngobrol sambil kerja di dapur Kak Lia paling nggak suka. Yang paling sering kena omelan Rannu. Ada saja yang dikerjakan Rannu nggak sesuai keinginannya."

"Kok, kamu baru ngomong. Seharusnya yang seperti itu sudah indikasi lho, San. Dari omelan lama-lama main fisik kalau yang dia mau nggak bisa dikerjakan Rannu. Terbukti, kan? Entah apa tanggapan Tante Elis kalau tahu ini." Yah, seharusnya memang kelakukan Kak Lia bisa dideteksi lebih awal. Tapi waktu itu, aku menganggapnya wajar-wajar saja, sama sekali tak menyangka dia akan bisa berbuat sampai sejauh itu.

Aku sudah memberikan foto luka Rannu pada Mama dan berpindah ke kamar. Rasanya hari ini begitu melelahkan. Mendapatkan bukti luka di kepala Rannu saja tadi membuatku sedih. Sedih karena tak berada di sana saat dia mendapatkan luka itu. Lelah lainnya karena hari ini tak bisa menghindari Arion dan berakhir ikut ke apartemennya, lalu mendapati fakta pria itu pandai mengolah bahan makanan setara Chef. Di balik sikapnya yang pemaksa, ada sisi romantis dalam dirinya. Sisi romantis yang sangat bisa memanipulasi orang lain, khususnya wanita. Dan aku yang mati-matian berusaha untuk menekan pesonanya, seakan berada di persimpangan jalan bingung memilih jalur yang mana. Apakah jalur terhanyut pesonanya ataukah memilih jalur yang menolak pesonanya? Ditambah lagi Ferdy mengetahui jika Arion tertarik padaku, membuatku berada di posisi yang sulit. Baru saja aku bergerak ingin mematikan ponsel, dering telepon masuk menghentikan gerakanku. Saking kagetnya melihat nama penelpon, aku nyaris menjatuhkan ponsel.

"Belum tidur? Boleh saya ajak ngobrol?" Duh, tadi juga sudah ketemu apa iya masih harus mengobrol lagi via telepon? Ada rasa tak rela waktu isitrahatku diinterupsi oleh Arion.

"Mau obrolin apa, ya, Mas?" Ogah-ogahan aku merespons pertanyaannya.

"Saya masih kangen sama kamu." Ucapan dengan nada tegas terdengar di ujung sana. Heh?! Ponsel yang kugenggam meluncur dengan mulusnya di atas tempat tidur. Aku terhenyak, tak tahu mau melakukan apa. Kenapa, sih, hari ini? Mengapa begitu banyak kejadian yang membuatku shock tiada habisnya? Tak tahukah Arion kalau aku tipe orang yang punya kemampuan terbatas menerima serangannya? Aku nggak menjamin mampu bertahan.

Aku duduk di tepi tempat tidur dan meraih ponselku yang terjatuh tadi. Terdengar deru suara Arion memanggilku.

"Sandri, are you there?"

"Hmm ..." Suaraku malah nggak bisa keluar karena masih berusaha mengatur napas yang seakan berhenti mendengar ucapan kangennya tadi. Mengapa pria ini masih saja membuatku seolah terserang rasa aneh yang terkadang menyusup tanpa permisi di hati?

"Kamu kenapa? Saya ganggu, ya?" Tolong beri waktu sejenak agar aku bisa berpikir. Aku menekan dada yang sudah berdetak tak menentu. Namun, mengapa ada sisi lain dalam hatiku yang suka dengan teleponnya ini? Sudah ada dua sisi yang kini berperang dalam hati.

"Nggak, kok, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" Waduh! Jelas aku terkejut sendiri dengan ucapanku barusan. Aku yang biasanya pandai mengelak dengan kata-kata, seketika tak mampu mengeluarkan kata ampuh untuk menyudahi obrolan. Aku seolah memberinya peluang untuk melanjutkan obrolan seperti permintaannya.

"Bantu hilangin rasa kangen saya sama kamu."

Dear God, help me! Inikah rasanya ketika cinta sudah mulai menyapa?

*****

Jakarta; January 10, 2022


Waduh ... kata-kata Arion.

Bisa mimisan juga saya kalau dapat serangan begini.

Hahaha ....

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang