PACU #66 Arion Pov - Akhirnya Niat Baik Ini Diterima

329 42 2
                                    


Dari semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Sandri. Mana ponselnya tidak bisa dihubungi. Beberapa kali aku coba meneleponnya, hasilnya sama. Sandri tidak bisa dihubungi. Aku berasumsi dia mematikan ponsel karena tidak mau terganggu agar besok benar-benar dia fokus untuk menyiapkan makan malam sesuai permintaan Opa. Aku yakin dia bisa mengatasinya, tetapi tetap saja aku cemas. Ingin sekali aku membantunya, meski aku sadar Sandri pasti menolak. Wanita yang sangat kukasihi itu tipe wanita yang paling tidak suka merepotkan orang lain, juga menerima bantuan selagi dia masih bisa mengerjakannya. Jangankan menerima bantuan, dijemput saja kadang perlu adu argumen dulu. Karena di tempat tidur aku hanya sibuk membalikkan badan, akhirnya kuputuskan bangun dan membereskan kerjaan. Setelah jarum jam menunjukkan pukul dua dinihari, barulah mataku terasa berat.

Satu kebiasaanku sejak kuliah di Jerman, selarut jam berapa pun tidur, aku tetap bisa bangun pagi. Jam tujuh aku sudah bangun, menyiapkan sarapan, mandi dan bersiap ke kantor. Sebelum itu, aku masih menyempatkan untuk mengirim pesan pada Sandri dan mencoba meneleponnya. Kali ini pesanku dibacanya, tetapi tidak dibalas. Teleponku juga menerima nasib yang sama. Bisa jadi kalau mendengar suaraku, dia akan semakin gelisah memikirkan kunjungan kami malam nanti. Bukan hanya Sandri yang stress, aku juga. Aku membiarkan dan berharap semoga hari ini dia bisa mengerjakan permintaan Opa dengan baik dan hanya bisa mendoakannya dari jauh.

Selain tegang karena mempersiapkan makan malam, aku tahu, Sandri pasti sedih karena tidak bisa menjenguk Rannu hari ini. Sudah menjadi rutinitasnya menjenguk saudara sepupunya itu di hari Rabu dan Sabtu. Dan kebiasaan Rannu jika Sandri belum datang, tidak akan makan siang. Itulah yang kadang membuat wanita yang telah merontokkan hatiku itu sangat sedih jika tidak menyempatkan diri menjenguk Rannu. Begitulah dirinya. Rasa peduli dan kasihnya itu yang telah membuka hatiku.

Aku fokus menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih awal dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan keluarga Sandri. Kami sudah sepakat berkumpul di rumah Opa dan dari sana kami berangkat bareng. Semoga saja orang tua Sandri tidak kaget melihat rombongan keluarga intiku. Total ada delapan orang. Kalau Sandri mungkin sudah memprediksinya, tetapi bisa saja dia belum memberitahukan orang tuanya. Saat menekuri pekerjaan, kepalaku sering terlintas mengenai apa yang akan terjadi saat keluargaku datang malam nanti. Apakah niat dari kami akan diterima dengan baik atau tidak? Lalu aku harus bagaimana jika mereka menolaknya? Beberapa kemungkinan itu kadang mengalihkan perhatianku sejenak dari tumpukan dokumen yang harus aku pelajari, cek dan tanda tangani. Ponselku berdering menjelang jam istirahat. Cepat aku meraihnya dari atas meja dengan harapan Sandri yang menelponku. Namun, yang kulihat di layar adalah nama ibuku.

"Siang, Ma," sapaku.

"Siang, Arion. Jangan sampai telat ke rumah Opa, ya?" pesan Mama padaku. Opa sangat tepat waktu jadi ibuku sangat mewanti-wanti hal ini. Sebagai cucu yang dididiknya secara langsung, aku sangat memahami karakter Opa. Dia paling tidak suka dengan orang yang abai dengan waktu. Apalagi kalau sudah janji bertemu kemudian telat, Opa bisa marah besar. Awal-awal aku ikut Opa, beberapa kali aku kena semprot karena masalah waktu. Seiring waktu, aku dapat me-manage waktu seperti Opa. Memang sulit, tetapi karena Opa terus-terusan menerapkan aturan keras padaku, akhirnya aku bisa mengatur waktu dengan baik.

Tepat jam lima sore aku meninggalkan kantor. Ini adalah rekor tercepat aku keluar dari gedung berlantai 32 yang selama ini menjadi tempatku mengerahkan segala kemampuan otakku untuk mengelola perusahaan dan menjadikannya berkembang seperti saat ini. Di tengah persaingan, aku harus bisa bertahan bahkan mengalahkan mereka. Tentu saja sudah banyak masalah juga yang kuhadapi, tidak mulus-mulus saja. Aku harus minta maaf ke Sandri nanti, karena sampai detik ini aku belum tahu buah tangan apa yang harus kuberikan pada orang tuanya. Sebenarnya, sih, gampang saja, membelikan perhiasan mungkin yang biasanya disenangi oleh kaum hawa. Namun, Sandri adalah pengecualian. Dia kurang tertarik. Kalau dia seperti itu, mungkin juga ibunya sama. Jangan sampai aku memberikan sesuatu yang tidak mereka suka.

Saat tiba di apartemen aku rehat sebentar kemudian mandi. Aku hanya memakai pakaian kasual saja dan menghindari ripped jeans. Ini baru kunjungan untuk mengutarakan niat baik saja bukan acara resmi. Meskipun begitu, aku harus tetap menggunakan pakaian sopan. Setelah merasa rapi aku meluncur ke rumah Opa. Tiba di sana, sudah ada Ferdy dan keluarga Papa. Infonya, Mama sudah di jalan juga menuju rumah Opa. Kalau melihat jam, aku pastikan kami bisa tiba tepat waktu di rumah Sandri.

"Sudah siapkan hati bertemu orang tua Sandri?" tanya Opa ketika aku tiba dan masuk di ruang tamu menunggu kedatangan Mama. Ini Opa mau menguji aku duluan atau bagaimana, ya?

"Dari kemarin juga sudah siap Opa," jawabku dengan yakin. Memang seperti itulah hatiku. Aku saja berani datang meminta izin saat kami jadian dulu, jadi sekarang pun harus punya tekad yang sama.

"Baguslah," tanggapan Opa.

Mama dan Ayah tiba sepuluh menit kemudian dan kami pun langsung berangkat menuju rumah Sandri. Hatiku mulai tidak karuan. Kalau tadi jawabanku pada Opa penuh keyakinan, tetap tidak bisa menutup rasa gugupku saat kami sudah beriringan di jalan. Sebentar-sebentar aku menarik napas dan mengusap wajahku meredam rasa gugup yang mendera. Makin dekat rumah Sandri, rasa gugupku makin meningkat. Hampir saja jipku menyenggol bamper bagian belakang mobil Ferdy karena melamun. Astaga!

Opa duluan masuk disusul Mama, Ayah dan keluarga Papa. Aku dan Ferdy terakhir menyusul masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kami disambut ayah dan ibunya Sandri. Aku tidak melihat kekasihku itu. Mungkinkah dia masih sibuk di dapur? Tak lama, akhirnya dia muncul dari ruang tengah dan menatap lurus padaku. Dari langkahnya tampak jelas dia gugup. Aku memberi isyarat agar dia tenang. Melihatnya masuk tadi, aku seakan ingin menghampiri dan memeluknya. Dari semalam aku sangat rindu padanya. Tidak mendengar suaranya sehari saja, aku merasa ada yang kurang. Suara Mama memecah keheningan ketika Sandri telah duduk di samping ibunya. Mama begitu terkesan melihat Sandri secara langsung. Papa juga memasang raut yang sama. Temi apalagi. Pasti dia sangat bahagia mendapat teman ngobrol atau malah kakak perempuan.

Lalu mulailah Opa berdeham dilanjutkan dengan menyampaikan niat baik kami. Setelah beberapa menit penuh ketegangan menunggu jawaban, akhirnya ayah Sandri menyatakan menerima niat yang diutarakan oleh Opa. Hanya saja, dia juga meminta pendapat Sandri. Saat kami menunggu tanggapan Sandri, seseorang masuk dari ruang tengah dan menatapku dengan tajam. Hatiku seketika waspada. Inilah kakak Sandri yang belum pernah aku temui. Setelah diperkenalkan, info dari ayah Sandri, dia akan mengujiku. Waduh, ujian seperti apa, ya? Lalu Opa menyuruh kami membereskan urusan ujian itu. Aku saja tidak paham jenis ujian apa yang akan dilakukannya padaku, meski aku tetap meladeninya. Kami pun bergeser ke ruang tengah. Ternyata dia hanya ingin memintaku menjaga dengan baik adik satu-satunya. Kalau saja aku sampai menyakitinya, maka dia tidak ragu untuk mematahkan tulangku atau membuat diriku cacat seumur hidup. Bersyukurlah Sandri punya keluarga yang sangat menyayangi dan melindunginya. Kami pun melanjutkan obrolan santai ala pria. Dari mulai hobi sampai pekerjaan. Obrolan kami terhenti ketika Sandri masuk dan melihat ke arah kami. Tidak lama, Opa, disusul lainnya masuk ke ruang makan. Saatnya makan malam dimulai.

Karena terbatasnya tempat di meja makan, kami yang muda ini akhirnya memilih tempat yang nyaman untuk menikmati masakan hasil olahan kekasihku. Makan malam kami berjalan dengan lancar. Opa menyukai suguhan tuan rumah dan sangat senang dengan masakan yang dibuat Sandri walau dia mengatakan padaku kalau masakanku memang tetap yang terbaik. Tentu saja ini tidak didengar oleh Sandri. Itulah kelebihanku yang lain selain memajukan perusahaan keluarga. Pastinya ini akan aku gunakan saat aku dan Sandri sudah terikat resmi. Aku tidak pernah keberatan memasak untuknya. Hal itu sudah pernah aku sampaikan padanya. Karena bagiku, kebahagian dialah yang utama. Maka, apa pun akan aku wujudkan untuknya asal dia bahagia.

*****

Jakarta; March 09, 2022


Selamat ya, Arion. Niat baiknya diterima dengan baik keluarga Sandri.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang