PACU #47 Arion Pov - Dia Sumber Adrenalinku

374 55 4
                                    


Setiap hari Sabtu, aku sudah hafal jadwal Sandri. Paginya dia mengunjungi Rannu sampai siang dan setelah itu kembali ke rumah. Sandri sangat jarang ke luar rumah kalau tidak ada yang penting. Siang ini, aku ingin menjemputnya dan menghabiskan weekend bersamanya. Ini weekend kami yang pertama setelah kami jadian. Tentu aku ingin memberikan kesan weekend pertama kami dengan indah. Aku sudah merancang kegiatan apa saja yang akan kami lakukan nanti. Apa sebaiknya mengajak Sandri nonton? Tapi, bisa saja Sandri tidak menyukainya. Dari pengamatanku, sepertinya dia sama denganku, tidak suka dengan keramaian. Lokasi yang bisa terdeteksi lewat ponselku, pergerakannya hanya rumah, menjenguk Rannu, dan kemarin meeting bersama temannya.

Sejak jam sebelas tadi aku sudah menelponnya. Akan tetapi sampai beberapa kali aku menghubunginya, Sandri belum juga menjawab panggilanku. Aku mulai gelisah. Walau aku tahu dari sinyal yang tertangkap di layar ponsel, posisinya masih di rumah sakit tempat Rannu dirawat. Aku mencoba menghalau rasa khawatir. Bisa saja sesuatu terjadi pada Rannu dan Sandri harus tertahan lebih lama di sana. Aku melanjutkan membaca. Hari Sabtu seperti ini aku benar-benar menikmati waktu santai di apartemen, membaca atau mencoba beberapa resep. Sangat jarang keluar kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Berolahraga pun, aku lebih banyak memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola apartemen. Kadang kalau malas, aku hanya lari di treadmill yang kuletakkan di kamar kerja. Sesekali Ferdy datang mengusik waktu santaiku. Kuraih kembali ponsel di atas meja dan kembali menghubungi Sandri. Semoga kali ini dia menjawabnya. Hasilnya masih tetap sama, tak ada jawaban. Aku jadi cemas. Sebaiknya aku menjemputnya saja tanpa perlu memberitahunya toh, aku bisa memantaunya jika saja lokasinya sudah bergeser. Sebelum keluar, aku masuk ke kamar mengganti pakaian, mengambil kunci mobil dan menyambar ponsel di atas meja. Baru saja aku menuju lift, Sandri menelpon. Aku urung masuk lift dan menerima teleponnya.

"Maaf, tadi nggak dengar teleponnya."

Berarti telepon aku tadi memang tidak didengarnya. Hilang sudah rasa cemasku. Dengan cepat aku masuk lift dan pergi menjemputnya. Baru pertama kali aku bersamanya setelah jadian, tetapi adrenalinku bergejolak dengan hebatnya. Hasratku yang sudah lama terpendam, seolah ingin menyeruak keluar. Aku berusaha menahannya, meski rasanya sangat sulit. Dia adalah sumber adrenalinku.

Aku sudah tiba di lobi dan mengabarkan padanya. Sandri keluar setelah beberapa menit aku menunggunya. Penampilannya yang santai langsung memanjakan mataku. Tampilan kasulanya seperti itu selalu aku suka. Hari ini, dia mengenakan blouse floral dengan bawahan kulot jeans. Flat shoes menghiasai kakinya yang ramping. Tanganku tak sabar ingin memeluknya. Di jalan aku bertanya padanya, sengaja memberinya pilihan tujuan kami. Jawaban yang diberikan sudah kuduga, dia biasanya langsung balik ke rumah setelah menjenguk Rannu. Dia setuju saja kala aku mengajaknya ke apartemen. Aku memacu mobil lebih cepat. Rasanya aku sudah tak sabar ingin berduaan dengannya, memeluknya dan memberinya rasa nyaman. Karena jarak dari tempat Rannu di rawat dengan lokasi apartemenku tidak jauh, dalam waktu kurang lebih 45 menit kami sudah tiba di lantai basemen. Aku menggandengnya menuju lift yang akan membawa kami ke unitku. Setelah menyimpan kunci mobil, aku mengajaknya duduk di sofa ruang tengah yang selalu kugunakan menonton channel favoritku. Dia bertanya saat melihat buku yang tadi kubaca. Aku menjawabnya sambil lalu, karena tanganku sudah bergerak meraihnya dalam pelukan. Selalu saja saat berdekatan dengannya, hasratku sudah tak terbendung. Kupeluk erat tubuhnya yang sudah menegang. Degup jantunya sampai bisa kudengar. Maafkan, Sayang, aku tak bisa menundanya lagi, kataku dalam hati. Bibirku sudah mengulum bibirnya yang selalu berwarna cerah. Rasa bibirnya yang manis membuatku kecanduan. Bibirnya terbuka mengundangku melesakkan lidah untuk menjelajah isi di dalamnya. Air liur kami sudah bercampur. Lidahku lalu membelit lidahnya. Napasnya sudah terputus-putus, tapi aku belum ingin melepaskannya. Karena aku masih saja asyik mengeksplor area bibirnya, tangannya menepuk punggungku, mengisyaratkan agar aku memberinya waktu untuk bernapas. Aku akhirnya melepaskan belitan lidah dan menarik wajahku. Melihatnya berusaha bernapas dengan wajah yang memerah, terlihat sangat lucu di mataku. Aku tertawa.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang