PACU #38 Kabar Dari Tante Elis

355 57 0
                                    


Ferdy telah pergi beberapa jam yang lalu. Sebelum pergi tadi, dia masih saja mengingatkan agar aku berhati-hati pada Arion. Sungguh, aku baru bertemu keluarga yang sangat jauh berbeda. Yang biasa kudapati, mereka saling mendukung bahkan saling menutupi jika ada sikap jelek dari anggota keluarga. Pengecualian ada pada Ferdy. Pria itu malah tidak menutupi masa lalu saudaranya setelah aku bertanya. Malah kini khawatir denganku karena berhubungan dengan kakaknya. Keluarga ini unik, menurutku. Jujur, aku masih gamang mengenai hubunganku dengan Arion karena ada dua pria yang telah meragukannya. Keduanya punya hubungan tali persaudaraan denganku dan Ferdy.

Setelah membereskan perlengkapan makan siang aku dan Ferdy tadi, kembali aku bergelut dengan desain-desainku dalam kamar sembari mendengarkan musik instrumentalia yang kuputar dengan volume sedang saja. Hari ini, walaupun masih memikirkan kata-kata Ferdy tadi, aku cukup lancar menyelesaikan desain alternatif buat Arion dan melanjutkan gambar detail punya Ferdy yang tersisa sedikit lagi. Bunyi ponsel yang kuletakkan di atas nakas di samping tempat tidur berbunyi, mengusik keasyikanku dari desain yang sedang kukerjakan. Duh, siapa lagi, sih. Aku mengeluh, tetapi tetap bergerak ke nakas untuk mengambil ponsel. Mungkin saja telepon dari Mama atau Papa. Saat melihat layar, nama Dita tertera di sana.

"Halo, Sandri. Sibuk, nggak?" Suara yang selalu ceria menyapaku begitu aku mengucapkan salam.

"Biasa, lagi beresin gambar buat Ferdy dan Arion," ucapku sambil berjalan kembali ke tempat duduk di depan meja kerjaku.

"Arion? Siapa, tuh?" Ah, aku baru sadar kalau belum pernah menceritakan Arion pada Dita. Karena ini project pribadiku, jadi aku tak pernah menyingungnya kala mengobrol dengan Dita via telepon. Akhir-akhir ini kami belum pernah bersua lagi.

"Oh, kakaknya Ferdy, Dit." Semoga saja Dita tidak terlalu banyak bertanya mengenai pria yang baru saja semalam menjadi kekasihku itu.

"Ada hubungan kerja juga?" lanjut Dita kemudian. Hubungan sebagai kekasih juga Dit, tentu yang ini kulanjutkan dalam hati saja.

"Iya, dia pengen dibuatin juga seperti punya Ferdy," jawabku tanpa merinci desain seperti apa yang Arion inginkan. Bagiku ini sudah cukup menggambarkan hubungan kami. Semoga Dita tidak bertanya lanjut lagi, aku hanya takut kelepasan dan berakhir Dita menjejaliku dengan pertanyaan keponya.

"Oh, syukurlah, kalau dia tertarik sama desain kamu. Tapi aku penasaran, sih, sama orangnya. Dulu kan kakakku dekat sama keluarganya, tapi aku nggak pernah dengar, tuh, kalau Ferdy punya kakak." Waduh, ini alamat Dita akan selalu bertanya mengenai Arion padaku. Atau bahkan minta dikenalin juga. Aku, sih, nggak keberatan hanya masih belum nyaman membuka hubungan kami pada orang lain. Di rumah saja baru Kak Dani yang tahu, itu pun sudah ajak debat.

"Eh, Sand, sebelum lupa, besok siang kita jadi meeting dengan client baru yang pernah aku sampaikan dulu itu, ya? Jam sebelasan gitu." Hatiku lega karena Dita sudah tidak bertanya lagi mengenai Arion dan beralih ke topik pekerjaan.

"Oke. Tempat meeting-nya di mana?" Besok masih hari Jumat, jadi aku masih bisa ikut Dita meeting bersama client baru kami.

"Kantornya di Kuningan. Ntar aku share lokasinya." Setelah memutuskan telepon aku menerima lokasi kantor tempat besok kami mengadakan meeting dengan client baru yang menurut Dita sangat potensial. Menurut Dita lagi, jika pekerjaan dengan client ini berhasil, tidak menutup kemungkinan kami akan dijadikan rekanan tetap perusahaan tersebut untuk membuat prototipe desain outlet-nya di seluruh Indonesia. Intinya, desain ini tidak jauh-jauh seperti yang kubuat untuk Ferdy dan Arion. Akan sangat menyenangkan dan tentu saja pundi-pundi kami akan bertambah. Aku berpikir, memang sebaiknya kami mendirikan perusahaan saja agar lebih representatif. Namun, biayanya masih kami kumpulkan entah sampai kapan. Selama ini jika ada client yang meminta kami memasukkan proposal, Dita memakai perusahaan orang tuanya. Sebenarnya, Dita sudah mengajak aku mendirikan perusahaan dengan modal dari orang tuanya, tetapi aku menolak. Bagiku saat ini lebih menyenangkan bekerja secara freelance agar aku bisa membagi waktu untuk menjenguk Rannu. Mungkin akan berbeda jika Rannu sudah sembuh. Juga, aku ingin berperan dalam urusan modal agar tak ada rasa sungkan pada keluarga Dita. Keluarga Dita sangat baik, tetapi aku tak mau menggantungkan nasibku pada modal yang berasal dari keluarganya.

Aku menyimpan kembali ponsel di atas nakas dan kembali bergelut dengan gambar detail punya Ferdy. Baru saja aku berniat render, bunyi bel menghentikan aktivitasku. Sebelum bergerak ke ruang tamu membuka pintu, aku mengklik tanda save di layar monitor. Kali ini, sebelum membuka pintu aku menyibak tirai, melihat siapa yang datang bertamu. Kulihat Mama sudah berdiri di depan pintu. Terburu aku membukanya.

"Kirain Mama pulangnya malam." Biasanya kalau ke rumah Tante Elis, Mama sering banget pulang malam. Mungkin keasyikan ngobrol jadi lupa waktu. Hari ini Mama lebih awal balik ke rumah. Tidak bisa dikatakan lebih awal juga, karena langit sudah mulai berganti, lampu penerangan di jalan pun sudah menyala.

"Ini sudah menjelang malam, Sandri," balas Mama dan masuk menenteng paper bag. Aku hanya melihatnya tanpa berniat mencari tahu isinya. Yang sangat ingin aku tahu adalah hasil obrolan Mama dan Tante Elis mengenai bukti dari Rannu. Kebiasaan Mama jika ke rumah Tante Elis membawa buah tangan, begitu juga sebaliknya, kala Mama kembali, dia juga diberikan oleh-oleh dari Tante Elis. Aku suka banget hubungan mereka. Walau masih bersaudara cara mereka mengungkapkan kasih sayang sangat patut aku tiru. Mereka jarang bertemu, tetapi komunikasi tetap lancar.

Mama meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja makan dan membuka isinya. Beberapa bungkus kripik berbagai rasa Mama keluarkan dari paper bag. Aku mendekat ke meja makan. Selain kripik pisang, ada kripik nangka juga. Khusus yang terakhir, itu kripik kesukaanku. Ada bahan camilan kala bergelut dengan desain nanti malam nih, pikirku.

"Ma, yang ini buat aku, ya?" pintaku pada Mama sembari mengambil sebungkus kripik nangka. Mama mengangguk, mengiyakan karena sangat tahu kalau makanan ringan itu kegemaranku. Aku menyimpan kripik ke dalam kamar dan kembali menemui Mama di ruang tengah. Mama mengeluarkan isi kripik dari bungkusnya dan memasukkannya ke stoples. Setelah semua kripik masuk ke stoples barulah Mama duduk di sofa dan mengajakku duduk di sampingnya.

"Tolong ambilkan mama minum, San." Aku berdiri kembali dan mengambil minuman ke dapur lalu kembali beberapa menit kemudian. Gelas berisi air putih kuberikan ke Mama yang kemudian diteguknya secara perlahan.

"Ma, apa tanggapan Tante Elis melihat luka di kepala Rannu?" Aku begitu tak sabar mendengar info dari Mama mengenai ini. Mama meletakkan gelasnya ke atas meja kemudian menghela napas.

"Tentu saja Tante Elis marah, nggak menyangka Lia bisa berbuat begitu pada Rannu. Selama ini Lia selalu baik di mata keluarga. Semua juga akan terkejut mengetahui perbuatan si Lia." Mama berhenti sebentar, mengatur napasnya yang sudah mulai terlihat berat efek emosi. Siapa pun juga akan emosi mendengar hal seperti ini. Walau aku tak menyangka Tante Elis langsung memercayai apa yang dilihatnya melalui foto yang kuberikan pada Mama.

"Tandi, sih, Tante Elis langsung telpon Arie, minta ke Jakarta hari Sabtu nanti. Sepertinya Tante Elis akan berbicara ke Arie sebelum memanggil Lia." Aku sudah membayangkan perdebatan mereka nantinya.

"Apa Mama tahu tanggapan Kak Arie?"

"Mama nggak dengar, tapi Tante Elis sudah info perlakuan Lia ke Rannu. Menurut Tante Elis, Arie juga marah begitu tahu kelakuan si Lia."

Hari Sabtu Kak Arie dipanggil Tante Elis. Berarti Kak Arie nggak bisa menjenguk Rannu. Semoga saja kedatangan Kak Arie nanti bisa menyelesaikan masalah yang terpendam selama ini dan mereka akan lebih fokus dengan kesembuhan Rannu.

"Tante Elis minta kamu ke sana hari Sabtu. Datang, lho, San."

"Tapi hari Sabtu, kan, aku jenguk Rannu, Ma."

"Bareng Arie aja jenguk Rannu, nggak apa, kan? Biasanya juga begitu, Arie jemput kamu dan bareng ke rumah sakit."

Mama benar, tetapi sebenarnya aku menghindar dari pertemuan keluarga Tante Elis. Bagiku, baiknya masalah ini mereka selesaikan tanpa melibatkanku.

*****

Jakarta; January 22, 2022


Terbongkar juga kelakuan Kak Lia.

Semoga dengan ini penyebab trauma Rannu bisa pelan-pelan disembuhkan.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang