PACU #71 Pertemuan Di Rumah Sakit

299 39 1
                                    


Masih pagi, tapi aku sudah mendengar obrolan seru dari balik dinding kamarku. Sepertinya itu suara Kak Arie. Aku menggeliat. Rasanya berat untuk bangun. Kalau tidak mengingat hari ini menjenguk Rannu, aku pasti melanjutkan tidur. Kulirik jam di dinding, masih jam tujuh. Sepagi ini Kak Arie sudah tiba? Atau mungkin dia sudah tiba semalam dari Bandung. Kutajamkan pendengaranku, tetapi karena terhalang dinding aku tidak bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Apa ada sesuatu, ya? Atau ada yang terjadi pada Rannu? Aku melompat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Setelah melalukan ritual bangun pagi, aku keluar dari kamar.

"Apa suaraku mengganggu?" tanya Kak Arie melihatku masih oleng saat membuka pintu kamar. Nyawaku sebagian memang masih berada di tempat tidur.

"Nggak, kok, Kak. Apa ada masalah dengan Rannu?" Mataku menyorot penuh tanya pada Kak Arie.

"Lha, kamu, lho, yang lebih tahu," balas Kak Arie bingung. Papa sama Mama yang ada di situ juga sama bingungnya. Ini akunya saja yang parno. Benar kata Kak Arie, aku yang lebih paham segala sesuatunya mengenai Rannu.

"Maaf, Kak. Kirain ada apa-apa karena sepagi ini Kakak sudah datang."

"Bangun-bangun, pertanyaan kamu bikin bingung kami aja," sela Papa. Aku mengusap tengkukku merasa bersalah.

"Sepertinya Sandri lagi mimpi tadi, Om." Kak Arie tertawa. Aku merasa tidak enak hati. Kalau sudah berhubungan dengan Rannu, aku selalu panik.

"Selamat, ya, Sandri. Bentar lagi ada hajatan besar, ya?" lanjut Kak Arie seraya tersenyum. Aku tahu arah ucapannya ke mana. Pasti mengenai rencana pernikahanku dengan Arion. Mungkin tadi Mama sudah memberitahunya.

"Makasih, Kak." Apa tidak ada tanggapan dari Kak Arie jika calon suamiku adalah Arion? Lelaki berengsek istilah yang dia berikan padanya. Atau mungkin Kak Arie tidak ingin menyampaikan sepak terjang Arion di masa lalu pada orang tuaku? Meski aku yakin, Kak Arie tidak akan melakukannya.

Aku meninggalkan Kak Arie melanjutkan obrolannya dengan Papa dan Mama, menuju dapur. Baiknya aku menyiapkan bekal untuk Rannu. Kubuka kulkas dan melihat masih banyak bahan makanan yang siap diolah sisa bahan untuk makan malam hari Rabu lalu. Aku pun berkutat di dapur, membuat perkedel jagung, orek telur dan sayur buncis dengan baby corn tumis. Semoga saja Rannu suka dengan lauk makan siangnya kali ini.

"Lho, sudah masak lagi? Opanya Arion mau datang?" Aku langsung waspada saat Kak Dani masuk dapur. Tumben bangun pagi. Ini, kan, hari Sabtu. Biasanya dia molor sampai siang.

"Memang kalau masak pertanda opanya Arion mau datang?" Sehari-hari juga aku berkutat di dapur, lho, kalau dia lupa. Bukan saat Opa mau berkunjung saja.

"Kali aja seperti hari Rabu kemarin. Kamu heboh sampai hampir lupa mandi," sahutnya. Benar juga, sih. Kemarin kalau Kak Dani tidak mengingatkan, aku masih saja di dapur. Tangannya mencomot perkedel jagung yang sudah aku susun di piring.

"Kak, itu buat Rannu, lho!" seruku. Dia pura-pura tidak mendengar dan kembali ke ruang tengah. Harus tambah lagi, nih, khawatir kurang karena ada Kak Arie juga. Belum lagi kalau di sana ada Ferdy. Infonya dia akan memberitahu Rannu mengenai pembicaraannya dengan Kak Arie kalau ada aku. Jadi kupikir hari ini pastilah Ferdy akan menjenguk Rannu.

Beres bekal buat Rannu, aku bersih-bersih sebentar lalu mandi. Di kamar mandi aku teringat kejadian bersama Arion di ruang kerjanya kemarin. Kekasihku itu sepertinya sudah tidak bisa menahan hasratnya kala berdekatan denganku. Aku juga sama kalau dia terus-terusan mencumbuku. Jujur saja, aku memang suka dengan semua sentuhannya. Bibirnya kala mengulum bibirku, lidah yang membelai lidahku, lalu tangannya yang menari di dadaku. Semua sentuhannya memberi efek kejut pada tubuhku. Arion sudah berpengalaman, sementara diriku belum. Wajar saja jika semua yang dilakukannya membuat saraf sensitifku bekerja dengan sangat baik. Hanya kami belum terikat resmi sehingga harus benar-benar berjuang menjaga diri agar tidak bertindak lebih lanjut. Harusnya kami sabar, bukankah dalam beberapa hari ke depan kami akan mengucapkan janji setia? Namun, selalu ada bisikan halus dalam diri yang mengatakan tak mengapa jika kami melakukannya. Bisikan yang berusaha kutekan kuat agar tidak mendominasi semua unsur dalam diriku. Makanya aku menawarkan opsi agar kami tidak sering bertemu untuk sementara waktu yang ditolaknya mentah-mentah. Tidak bertemu sehari saja dia kangen. Begitu alasannya.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang