PACU #6 Tempat Baru Rannu

395 63 2
                                    


Beberapa kali aku menggelengkan kepala. Mengucek mata untuk memastikan penglihatanku. Aku seakan tidak memercayai apa yang kulihat baru saja. Rannu pasien di rumah sakit jiwa. Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya? Mengapa dia menjadi salah satu pasien Kak Ika? Kakiku tidak bisa aku gerakkan, seakan tertancap dengan kuatnya pada lantai koridor rumah sakit. Badanku pun kaku. Kepalaku seperti berputar. Cepat kupegang tiang koridor agar tidak terjatuh.

Aku mencoba mengatur napasku yang tiba-tiba terasa sesak. Aku memegang dada, berusaha meredam sesak yang ada. Kurasakan mulai ada genangan di pelupuk mataku. Aku yang selalu miris melihat pasien-pasien Kak Ika, seketika harus menerima kenyataan salah satu anggota keluarga kami menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Wajar saja aku shock.

"Dia itu ...," aku tidak sanggup menyelesaikan kalimatku. Lidahku kelu.

Kak Ika terlihat khawatir melihat perubahan yang terjadi padaku. "Lho, kenal dia, San?"

"Dia ..., Ran-nu, Kak!" ujarku dengan terbata sekuat tenaga menahan tangis.

"Rannu? Siapa?" tanya Kak Ika tak paham.

Aku menarik napas, mengembuskannya dengan cepat, mengatur ucapanku yang keluar agar bisa dipahami oleh Kak Ika. "Anaknya Tante Elis, Kak."

"Tante Elis yang mana?" Kak Ika memang belum pernah bertemu Tante Elis, jadi tidak mengenalinya.

"Tante Elis, kakaknya Mama?"

"Ehhh?!" Kak Ika pun terkejut.

Mengetahui keberadaa Rannu, aku memutuskan tidak berada lama di tempat Kak Ika seperti yang biasa aku lakukan saat berkunjung. Bergegas aku pulang. Cepat aku pesan ojek online melalui aplikasi yang ada di ponselku. Aku tidak kembali ke rumah, melainkan pergi ke rumah Tante Elis. Di jalan, beberapa kali aku menarik napas, berusaha menenangkan pikiranku. Air mata mulai menggenang kembali, tetapi segera kuseka dengan tisu. Aku mencoba menahan isak tangis yang akan pecah berderai. Perjalananku dari rumah sakit jiwa tempat Kak Ika bekerja menuju rumah Tante Elis, bagaikan menempuh jarak ribuan kilometer. Beberapa kali terjebak macet, mendapati lampu merah di persimpangan jalan dan hampir saja menabrak penyebrang jalan yang tiba-tiba melintas di depan kami. Aku mengurut dada.

Tiba di depan pagar rumah Tante Elis, bergegas aku turun, menyelesaikan pembayaran dan langsung masuk. Sebelum mengetuk pintu, aku menoleh ketika mendengar suara.

"Mbak?"

"Ya, kenapa Bang?" Aku bingung melihat abang ojol mengikutiku. Kupikir bayaranku kurang, padahal bayaran yang kuberikan malah lebih dari yang tertera di aplikasi.

"Helmnya," jawabnya sembari tersenyum.

"Oh, maaf Bang." Cepat kulepas helm dan memberikan ke abang ojol. Saking buru-burunya sampai aku lupa melepas helm.

Aku mengetuk pintu dengan keras, berharap secepatnya ada yang mendengar dan datang membukanya. Puncak gelisahku sudah tiba. Beberapa kali kakiku kugerakkan mencoba menghalau rasa gelisah yang menderaku. Tangan kutautkan, kuremas-remas dengan kuat. Tidak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat. Tante Elis yang datang membuka pintu. Seketika aliran darah ke wajahku mendadak berhenti. Rasa bingung pun melanda dengan hebatnya. Bibirku membuka, sedetik kemudian mengatup kembali. Aku hanya diam terpaku di depan Tante Elis.

"Sandri? Ayo masuk!" Tante Elis menggamit lenganku, mengajak masuk dan langsung ke ruang tengah. Aku pastikan Tante Elis bingung melihat sikapku. Tidak biasanya saat datang aku hanya terdiam di depan pintu. Biasanya aku sudah menyapa dan langsung masuk.

"Tumben nih, Sandri. Ada kabar apa?"

"Engg ...,Tante ...." aku masih bingung cara menyampaikannya.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang