PACU #27 Kembali Menghadapi Dunia Nyata

331 51 1
                                    


Arion sudah kembali sepuluh menit yang lalu. Setelah mengantarnya ke gerbang, aku kembali ke ruang makan dan mulai membereskan meja makan, membawa piring serta gelas kotor ke dapur. Di ruang tengah, Mama masih menonton berita di tv sementara Papa sudah masuk ke kamar. Mungkin Papa mau istirahat setelah lelah seharian tadi bertemu teman-temannya. Kak Dani belum terlihat sama sekali. Sepertinya dia belum pulang jam segini. Biasanya juga begitu.

Sambil mencuci piring, sesekali aku tersenyum lalu buru-buru menggelengkan kepala. Ancaman dan pujian Arion bergantian melintas di kepala. Ah, aku seperti orang gila kalau begini sampai tidak mengetahui, jika Mama sejak tadi memperhatikan gerak-gerikku di dapur.

"Kamu, tuh, ya, suka bikin Mama bingung tiga hari ini. Sekarang malah senyum-senyum gitu. Kamu ini sebenarnya kenapa, sih?" Pertanyaan Mama jelas saja membuatku hampir melepaskan piring yang berada di tangan dan jatuh ke sink. Untung saja bisa kutahan. Duh, malunya kepergok Mama. Semoga Mama tidak berpikir anaknya sudah jatuh cinta, karena itu masih sangat jauh dari impian.

"Mama, ih, kagetin aja. Senyum salah, melamun salah," kataku sebagai bentuk protes.

"Kamu ada masalah apa? Nggak biasanya kamu begini. Ayo, ngomong ke Mama." Mama memaksaku untuk berterus terang apa yang selama tiga hari ini membebani pikiranku. Selama ini jika ada masalah, aku selalu membaginya ke Mama. Namun, masalah ini rasanya sangat berat karena menyangkut keluarga kami. Juga khawatir Mama akan kepikiran dengan apa yang nanti aku ceritakan padanya. Dan bisa jadi, info yang kusampaikan akan diteruskan Mama ke Tante Elis, lalu keluarga jadi heboh. Ini yang kuhindari. Maunya aku, pelan-pelan saja sambil kami mencari solusinya. Kalau langsung heboh, yang ada akan saling menyalahkan. Walaupun aku tahu, apa yang disampaikan Rannu tempo hari tidak selamanya bisa aku keep.

Aku meletakan piring dan gelas ke rak kemudian mengelap tanganku, lalu bersandar didekat sink menghadapkan badanku ke Mama.

"Kalau aku beritahu Mama sesuatu, Mama jangan kaget ya."

"Sesuatu apa? Ada yang nyakitin kamu? Kamu ada masalah berat, Sandri?" Tuh, kan, Mama sudah heboh saja. Mata Mama menatapku penuh selidik. Mama di mataku adalah seorang ibu yang sangat demokratis. Tidak memaksakan kehendak, tetapi selalu memberikan alasan yang tepat untuk nasihat yang disampaikan ke kami. Begitu juga akibatnya kalau kami mengabaikan nasihatnya. Beliau tidak langsung menyalahkan, melainkan mengutarakan efek dari perbuatan kami. Kami juga bisa adu argumen yang tentunya harus disertai data yang akurat, agar agumen kami bisa diterima oleh Mama. Kalau Papa, beda lagi. Beliau sangat tegas jika kami berbuat kesalahan. Ibaratnya hitam dan putihnya sudah jelas.

"Nggak ada yang nyakitin Sandri, Ma. Gini-gini aku bisa jaga diri, kok. Mama nggak perlu khawatir." Yang mengancam ada, lanjutku dalam hati. Gawat kalau Mama tahu yang ini.

"Lalu yang mau kamu info ke mama apa?"

"Gini, Ma. Waktu aku sama Kak Arie dan Kak Lia jenguk Rannu, ada yang berbeda sama dia. Akhir-akhir ini, kan, Rannu lumayan stabil kondisinya. Tapi waktu lihat Kak Arie dan Kak Lia, dia, tuh, nggak histeris, malah pergi karena masih belum mau bertemu. Tentu saja kami heran dengan sikapnya."

"Apa Rannu masih trauma, ya, San?"

"Masih, Ma. Padahal itu saran Dokter Firdaus agar Rannu terbiasa dengan kehadiran Kak Arie dan Kak Lia. Tapi, ada pengakuan Rannu yang buat aku shock, Ma. Itu yang buat aku selama tiga hari ini suka melamun."

"Pengakuan gimana maksud kamu? Rannu kenapa?"

"Sandri nanya ke Rannu, kenapa nggak mau bertemu Kak Arie dan Kak Lia. Jawabannya takut dipukul gitu, Ma."

"Oh, ya? Jadi, selama tinggal sama mereka, Rannu sering dipukul? Mama rasanya nggak mau percaya Sandri. Tapi, kalau Rannu sampai trauma, berarti itu benar."

"Aku juga sama Ma, nggak percaya dengan ucapan Rannu. Tapi, apa yang aku lihat dan dengar, menegaskan jika hal itu dialami Rannu. Aku sedih banget, Ma. Rannu mendapatkan kekerasan fisik dan verbal." Rasanya plong sudah menceritakan ke Mama. Mama terdiam mendengar penuturanku. Dapat kupastikan, Mama juga shock mendengarnya. Kalau Kak Lia, kami semua tahu dia cerewet dan rada strict. Bisa saja apa yang dimintanya tidak bisa dikerjakan Rannu dengan baik, tidak menutup kemungkinan dia memukul Rannu karena kesal. Namun, Kak Arie, rasanya tidak mungkin dia ringan tangan pada adiknya sendiri.

"Mama harus omongin sama Tante Elis. Ini nggak bisa dibiarkan. Karena mereka, Rannu jadi depresi. Tega benar mereka memukul adik sendiri!" Mama sampai emosi. Volume suara Mama naik dan raut wajahnya mengeras.

"Tapi Ma, kalau ntar setelah Tante Elis tahu dan keluarga jadi heboh, gimana? Kita juga harus bisa membuktikan itu benar, kan, Ma? Apa ada cara lain untuk mengetahui kebenaran cerita Rannu, ya, Ma?" Nggak mungkin juga kami langsung menodong pertanyaan ke Kak Arie dan Kak Lia begitu saja. Bisa jadi mereka akan marah dan malah menuduhku menyebar fitnah.

"Kamu tenang aja, ntar mama diskusikan dengan Tante Elis. Nggak mungkin juga kita main tuduh begitu tanpa bukti."

"Iya, itu maksud aku. Khawatir Kak Arie dan Kak Lia tersinggung. Apalagi aku nggak percaya Kak Arie berani mukul Rannu. Waktu kecil, kan, Kak Arie yang sering banget ajak kami jajan, Ma."

"Iya, dia tuh sayang banget sama adik-adiknya. Ngemong juga. Rasanya nggak mungkin dia berbuat kekerasan pada adiknya. Ya sudah, nggak usah kamu pikirin, biar mama dan Tante Elis yang cari solusinya." Aku lega, walaupun masih memikirkan hal tadi. Setidaknya bebanku sudah berkurang karena sudah menceritakan hal yang kupendam pada Mama. Tiga hari aku membawa masalah ini, membuatku lebih banyak diam, melamun seperti kata Mama tadi, dan kadang tidak bersemangat mengerjakan desainku. Efeknya memang sangat besar bagiku. Sampai-sampai aku merasa bersalah pada Rannu telah meninggalkannya di Bandung. Seandainya saja aku masih ada, mungkin Rannu tidak depresi. Akan tetapi, semuanya sudah terjadi.

Mama sudah meninggalkanku di dapur. Aku masih lanjut membersihkan lantai dan memadamkan lampu setelah semua kegiatanku di dapur selesai. Hampir lupa, aku bergegas ke halaman depan. Sepertinya selang yang aku pakai menyiram tanaman sore tadi belum sempat kurapikan karena kedatangan Arion. Betul saja, selangnya masih berantakan. Aku menggulung dan menyimpannya dengan rapi di dekat keran. Tanaman di halaman belakang juga belum sempat aku siram. Semua gara-gara kedatangan Arion. Pria itu memang membuat apa yang sedang kukerjakan jadi berantakan. Dari halaman depan aku beranjak ke halaman belakang, lalu mulai menyiram tanaman. Hatiku yang sudah lega setelah bercerita dengan Mama tadi, mempengaruhi mood-ku. Yang kukerjakan jadi terasa ringan. Setelah selesai menyiram tanaman aku masuk kamar, mandi dan setelahnya melanjutkan desain-desainku. Sepertinya ideku mulai penuh di kepala dan menunggu untuk diaplikasikan di atas kertas. Tapi, malam ini aku nggak akan begadang. Besok hari Rabu dan itu jadwalku menjenguk Rannu. Rencananya aku juga akan menemui Ferdy. Tentu saja dengan membawa detail desain yang sudah kubuat. Belum banyak, tetapi ini agar ada alasanku untuk menemuinya. Aku harus mulai mencari tahu latar belakang Arion. Tentu saja aku akan memulainya dari orang terdekat—saudaranya. Semoga saja aku berhasil mendapatkan informasi. Rencana selanjutnya, bertanya ke Kak Arie tentang kelakuan berengsek yang pernah dibuat Arion.

Mencari tahu latar belakang Arion tidak bisa lagi kutunda. Semakin lama sikapnya semakin aneh padaku. Belum lagi ancamannya. Aku bukannya tidak senang jika ada pria yang ingin mendekatiku, tetapi harusnya dengan cara yang baik bukan dengan ancaman segala. Tanpa ancaman pun, jika pria itu bisa menarik perhatianku, aku pasti menerimanya. Sikapnya yang seperti itu bisa kuatirkan sebagai pria yang posesif, dan aku paling menghindari tipe pria yang demikian. Kalau saja aku bersama pria seperti itu, bisa dipastikan ide-ide untuk desainku bakalan mandek, berantakan dan mood hancur. Pasti ada larangan juga bertemu dengan client pria. Tipe pria seperti itu, kan, pencemburu berat. Duh, pikiranku sudah menembus beberapa benua. Astaga!

*****

Jakarta; December 27, 2021


Mungkin akan ada yang bertikai kalau saja apa yang dialami Rannu disampaikan ke Tante Elis.

Namun, ada yang harus bertindak demi kesembuhan Rannu.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang