Aku membereskan binder putih berisi konsep desain untuk Pak Jo. Kumasukkan ke dalam tas, terpisah dengan makan siang dan camilan buat Rannu. Bekal buat Rannu sudah kubereskan sejak tadi lalu pergi mandi. Kali ini pakaian dan dandananku sedikit berbeda. Tentu saja untuk bertemu client sepotensial Pak Jo, aku harus menggunakan pakaian yang serapi mungkin, bukan pakaian kasual. Dengan tampilan seperti ini aku terpaksa harus naik taksi. Tidak seperti kemarin, saat bangun tadi aku sudah mengaktifkan ponsel. Bukan karena khawatir kena tegur Papa atau Mama, tetapi hari ini kupastikan Arion tidak akan memborbardirku dengan ribuan kata kangen seperti infonya kemarin. Karena setelah urusan dengan Pak Jo selesai, aku berjanji akan menemuinya.
"Ntar bareng keluar aja. Aku antar ke rumah sakit." Itu ucapan Kak Dani tadi saat melihatku menyiapkan bekal makan siang Rannu. Pokoknya sekarang, tuh, kalau melihat aku bangun pagi, Kak Dani selalu menawarkan tumpangan. Jauh berubah bangetlah, intinya.
"Kepagian, Kak. Sampai di sana jam besuknya belum buka, aku gimana?" tolakku halus. Kak Dani berangkat paling telat setengah delapan, kadang juga jam tujuh untuk menghindari macet. Jam segitu aku baru mandi. Malas banget kalau diminta buru-buru. Kak Dani berdecak lalu melengos pergi. Aku tertawa melihat tingkahnya. Nanti kalau aku sudah menikah dan pindah ke tempat Arion, kupastikan dia akan kesepian.
"Sesekali kamu penuhi permintaan kakakmu, San. Mungkin dia pengen ada waktu berdua sama kamu ngobrol," tegur Mama saat melihat Kak Dani pergi dengan raut wajah ditekuk. Seketika aku tersadar. Aku sama sekali tidak memikirkan hal ini. Dulu, saat baru-barunya aku jadian dengan Arion, Kak Dani sering kuhindari. Namun, sekarang dia sudah menerima Arion, seharusnya aku sudah tidak boleh menghindar lagi.
"Baik, Ma." Kali lain kalau Kak Dani mengajakku lagi aku akan memenuhinya. Setelah kami besar dan mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku sadar tak punya lagi waktu berdua untuk sekadar mengobrol. Aku selalu menghabiskan waktu di kamar, sementara Kak Dani sering banget telat balik dari kantor. Dalam sehari kami kadang tidak bertemu padahal tinggal di tempat yang sama.
Aku memesan taksi dan duduk di teras menunggu sambil membaca novel di ponselku. Kurang sepuluh menit, taksi yang kupesan sudah tiba. Bergegas aku naik dan taksi pun meluncur di jalan. Aku tiba di rumah sakit 45 menit kemudian. Entah ada demo atau apa, jalanan hari ini macet di beberapa tempat. Pengemudi taksi sampai harus mencari jalan alternatif agar kami tidak terjebak macet. Di lobi kulihat Kak Ika sedang bercengkerama dengan rekannya.
"Pagi Kak, Suster," aku mendekat dan menyapa.
"Pagi Sandri," balas Kak Ika dan temannya. Kak Ika lalu menarik tanganku untuk duduk di sofa ruang tunggu lobi. Tak biasanya dia seperti ini. Apakah ada info mengenai Rannu? Hatiku mulai ketar-ketir.
"Rannu kenapa, ya, Kak?" Aku tidak menunggu Kak Ika ngomong, tapi bertanya duluan.
"Rannu baik, kok. Sangat baik malah," jawab Kak Ika. Hatiku lega. Tadi di kepalaku sudah bermunculan praduga yang aneh-aneh.
"Begini, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, Rannu sudah bisa pulang hari Sabtu nanti." Aku masih serius mendengarkan penjelasan Kak Ika. Sebentar, pulang? Rannu sudah bisa pulang? Aku tidak salah dengar, kan?
"Apa, Kak? Rannu sudah bisa kembali ke rumah?" tanyaku memastikan ucapan Kak Ika tadi. Kalau benar, rasanya aku ingin berteriak.
"Iya. Mengenai cedera di kepalanya bisa berobat jalan saja," tambah Kak Ika. Ya Tuhan. Betapa aku bersyukur penderitaan Rannu berakhir juga. Rannu bisa pulang dan kembali berkumpul bersama keluarga. Tiga hari lagi Rannu sudah berada di rumah. Tak putus aku mengucap syukur. Berita ini harus secepatnya aku sampaikan pada keluarga dan Ferdy.
"Rannu sudah tahu nggak, Kak?"
"Belum, sih. Baru kamu yang tahu. Nanti setelah hasil pemeriksaan terakhirnya keluar, Dokter Firdaus akan menyampaikan langsung ke Rannu," jelas Kak Ika. "Aku dengar dari Mama, bentar lagi kamu menikah, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...