Mama telah berangkat ke rumah Tante Elis tiga puluh menit yang lalu, sementara Papa punya kesibukan lain dengan teman-temannya yang sering banget bertemu untuk melakukan kegiatan penelitian kecil-kecilan mengenai dampak lingkungan selain mengembangkan hobi bertanam hidroponik. Kegiatan baru Papa itu, yang dikembangkan di halaman belakang rumah kami yang terbatas ternyata sangat bermanfaat. Mama tak lagi membeli sayuran di pasar atau tukang sayur keliling di sekitar kompleks perumahan kami. Sudah pernah sekali panen dan Mama membawa sebagian hasilnya ke Tante Elis yang diterimanya dengan penuh sukacita. Tante Elis yang sangat memperhatikan gizi setiap makanan yang dikonsumsi tentu sangat gembira menerima hasil panen sayuran hidroponik. Beliau malah minta diajak ikut panen sesekali. Karena pada dasarnya aku juga menyukai tanaman, aku sering membantu Papa jika kerjaanku tidak begitu mendesak. Mengurus tanaman menjadi salah satu sarana yang bagus untuk menghilangkan stres.
Aku sudah tenggelam dengan kegiatan desainku sampai tak sadar sudah lewat jam makan siang. Pantasan sejak tadi perutku berontak minta diisi. Sebelum beranjak ke dapur, aku mengecek ponsel. Tumben, sedari tadi benda pipih persegi itu anteng saja. Walau merasa aneh, aku tak menghiraukan. Tak dapat dipungkiri, ada rasa kehilangan yang menyusup di dalam hati karena tak satu pun telepon atau pesan Arion menghampiri benda pipih itu. Aku sempat menduga-duga, tetapi berusaha kuenyahkan. Begitu aku berdiri, berjalan ke arah pintu dan hendak meraih handle-nya, ponselku menjerit dengan nyaringnya. Terburu aku meraih ponsel dan melihat nama yang tertera di layar. Arion menelpon! Aku berdeham, mengatur napas sebelum menjawab teleponnya. Mengapa aku jadi segrogi ini?
"Halo, Sayang ..." Suara berat dan terdengar riang di ujung sana menyapaku begitu aku menggeser tanda hijau pada layar. Suara yang membuatku sampai harus menahan napas saking gugupnya mendengar kata 'sayang'. Ada rasa bahagia terbesit seketika. Sungguh, aku baru mengalami hal seperti ini dalam hidup.
"Ha-lo, Mas." Suara yang keluar agak terbata karena bingung harus menjawab seperti apa. Orangnya ada di seberang sana dan aku masih saja grogi. Bagaimana kalau nanti kami bertemu?
"Lagi ngapain?" Kembali suara berat itu terdengar yang terasa semakin merdu di telingaku. Mungkin aku lagi mengalami euphoria sehingga apa pun yang berasal dari Arion terasa indah bagiku. Jujur, aku mulai kesal dengan diriku yang seperti ini.
"Biasa Mas, beresin kerjaan. Kalau Mas, gimana?"
"Habis lihat outlet dan sekarang baru tiba di kantor. Ini sudah jam makan siang. Kamu sudah makan?" Oke, mulai memasuki pertanyaan standar yang bagiku begitu penuh perhatian. Padahal aku sebenarnya tak suka pertanyaan seperti ini. Namun, kali ini hatiku begitu senang mendengarnya.
"Ini baru mau ke dapur waktu Mas telepon," jawabku tanpa bermaksud menyalahkan teleponnya. Jangan sampai kesan pertamaku setelah kami jadian sudah membuatnya kesal. Walau dia yang memaksa jadian, tetapi aku juga kan menerimanya. Jadi, sebaiknya aku menjaga sikapku.
"Oke, mau makan dulu atau masih mau lanjut teleponan. Ada info yang harus aku sampaikan." Kalau sudah begini kalimatnya, mau nggak mau aku memilih melanjutkan obrolan.
"Lanjut aja, Mas." Aku penasaran akan hal yang akan disampaikannya. Mending makan siang kutunda dulu, walau perut sudah mulai merintih minta diisi.
"Aku sudah info ke Ferdy kalau kita sudah jadian. Tanggapannya, sih, biasa aja, cenderung dingin gitu malah. Memang sejauh mana hubungan kamu dengan Ferdy? Kok, dia kurang senang aku jadi pacar kamu?" Suara di ujung telepon sedikit terdengar mengeluh. Aku menangkap ada nada selidik di balik ucapannya mengenai hubunganku dengan adiknya. Apa dia menyangka aku punya hubungan khusus dengan Ferdy?
"Hubungan aku dengan Mas Ferdy sebatas hubungan kerja dan masalah Rannu aja, sih. Lebih dari itu nggak ada." Nada ucapanku tegas. Aku menarik napas sejenak kemudian melanjutkan ucapanku. "Mungkin karena aku punya hubungan keluarga dengan Rannu aja kali Mas, jadi dia khawatir." Bisa saja, kan, begitu. Ferdy khawatir aku dijadikan sasaran untuk membalaskan sakit hati keluarganya oleh Arion. Aku nggak menampik, jika hal itu juga masih bersemayam di hati.
"Harusnya, sih, dia nggak boleh begitu. Aku juga info ke dia agar dia bisa menjaga sikapnya. Kemarin kami sempat berdebat karena Ferdy terang-terangan melarangku dekat dengan kamu. Aku jadi kesal. Okelah aku punya masa lalu yang nggak banget untuk ditiru, tetapi dia nggak punya hak untuk melarangku mendekati kamu. Kecuali jika dia punya maksud lain ke kamu." Kepalaku jadi mumet mendengar penuturannya. Bisa kusimpulkan, Arion berdebat seru dengan Ferdy. Jadi selain aku berdebat dengan Kak Dani, mungkin di waktu yang sama Arion juga sedang beradu argumen dengan Ferdy. Mengapa hubungan kami menjadi masalah buat yang lain? Apa ada yang salah? Aku terdiam mencerna kalimatnya. Hubunganku selama ini dengan Ferdy baik-baik saja, karena dialah harapanku untuk bisa mengembalikan kondisi Rannu. Kehadirannya dalam kehidupan Rannu sangat berharga. Kalaupun ada maksud lainnya, aku pastikan itu nggak akan terjadi karena aku akan mengingatkan dia pada Rannu yang masih dicintainya.
"Wanita yang dicintai Mas Ferdy, tuh, hanya Rannu, Mas. Maaf, kalau hubungan kita malah menimbulkan perdebatan. Apa mungkin hubungan ini terlalu cepat, ya?" Aku sama sekali tak bermaksud menyudahi hubungan yang baru sehari ini dengannya. Tidak! Akan tetapi, mengingat hubungan kami ini malah menjadi ajang perdebatan antar saudara, mungkin sebaiknya aku pertimbangkan kembali.
"Lho, bukan begitu, dong, solusinya, Sayang." Duh, hatiku jadi lemah begini kalau Arion sudah mengucapkan kata 'sayang'. Terdengar tarikan napas samar di sana. Kemudian Arion melanjutkan ucapannya. "Hubungan kita ini baru juga sehari. Setelah jadian, kita juga belum bertemu, lho. Masih panjang jalan yang harus kita lalui. Ini hanya permulaan aja, nggak menutup kemungkinan ke depannya akan lebih banyak lagi rintangan yang akan kita lalui. Tetapi, Sayang, satu yang harus kamu ingat, aku akan selalu cinta dan mendampingi kamu." Hampir copot jantungku mendengar penuturannya. Begitu ahlinya dia memberiku kekuatan agar tidak gentar mengadapi rintangan.
"Iya, aku tahu. Maaf, kalau aku jadi ragu."
"Kamu tenang aja ya, biar aku yang ngomong dengan Ferdy agar dia nggak usah ikut campur dalam hubungan kita. Kamu harus percaya sama aku!" Ucapannya terdengar begitu tegas. Tujuannya sudah jelas agar aku tak usah memikirkan perdebatannya dengan Ferdy.
"Ya udah, makan dulu. Ntar kita lanjutin lagi obrolan ini. Love you." Akhir kalimatnya sukses membuat jantungku yang tadinya sudah adem, kembali berulah. Astaga! Satu sisi yang aku ketahui dari dirinya adalah sikap romantisnya. Atau mungkin pada dasarnya dia seperti itu untuk mengimbangi sisi kelam dirinya? Sambil berjalan ke dapur, aku memikirkan akan seperti apa hubungan kami ke depannya. Sepertinya benar, akan banyak rintangan yang kami lalui seperti kata Arion tadi.
Dengan suasana rumah yang sepi aku jadi punya waktu untuk berpikir. Berpikir mengenai hubunganku dengan Arion dan masalah Rannu. Masalah Rannu akan tetap menjadi prioritas utamaku. Mengingat Rannu, aku jadi tak sabar menunggu Mama balik dari rumah Tante Elis.
Aku menikmati makanan sembari menonton televisi. Berita perselingkuhan yang ditayangkan menjadikan pikiranku yang belum lepas dari Arion tadi mengembara ke mana-mana. Suara bel menghentikan pikiranku yang mengembara tak karuan. Aku menaruh piring yang isinya sudah hampir tandas ke atas meja dan beranjak ke ruang depan. Biasanya aku menyibak tirai untuk melihat tamu yang datang, tapi kali ini aku langsung saja membuka pintu. Mungkin kurir yang mengantar paket. Namun, biasanya ada teriakan 'paket' sebelum menekan bel yang kali ini tidak terdengar. Aku begitu yakinnya saat membuka pintu. Begitu tanganku menarik gagang pintu, aku terkejut melihat sosok yang menjulang di depanku. Mataku terbuka lebar, dan untungnya bibirku tidak ikut membuka. Betapa konyolnya tampangku, kalau saja itu terjadi. Karena yang datang adalah orang yang biasa ke rumah. Mengapa aku menyambut kedatanganya dengan sikap seolah-olah bertemu dengan orang yang akan memberiku vonis mati?
"Mas Ferdy?!"
*****
Jakarta; January 17, 2022
Jakarta pagi ini sedikit berkabut dan gerimis pun menyambut para pemburu nafkah.
Semoga di tempat kalian cuacanya bersahabat, ya.
Jangan memikirkan pertemuan Sandri dan Ferdy, fokuslah bekerja, belajar atau menyiapkan makanan buat keluarga tercinta.
Sampai bertemu di part berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...