Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa lebih segar walau mandiku kali ini sangat singkat. Bagaimana tidak singkat, aku memanfaatkan waktu dua puluh menit saja. Itu juga diingatkan Kak Dani tadi. Tanganku baru saja mengambil hair dryer di atas meja rias untuk mengeringkan rambutku yang basah, ketika terdengar pintu kamarku digedor dengan keras.
"Sandri, itu tamunya sudah datang!" Suara keras Kak Dani terdengar dari balik pintu. Waduh! Aku pun panik. Mataku masih sempat melirik jam di dinding. Sudah jam 7 memang. Tepat waktu sekali mereka. Cepat kukeringkan rambutku lalu menyambar pakain ganti yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur. Wajahku kupoles make up tipis-tipis saja. Ini hanya makan malam, bukan mau kondangan. Aku menyisir rambut saat pintu kamarku kembali digedor. Mengapa mereka yang heboh? Biarkan mereka menunggu, aku toh tidak kabur ini. Itu hanya isi kepalaku saja yang mana berani kungkapkan.
"Sandri!" Kali sini suara Mama. Dengan tergesa aku menyelesaikan menyisir rambut dan cepat membuka pintu sebelum pintu itu ambruk karena mereka tidak sabar melihat penghuninya keluar.
"Iya Mama. Sandri tahu, kok, kalau mereka sudah datang," kataku saat membuka pintu. Belum kelar ucapanku, Mama sudah berbalik meninggalkanku menemui tamunya. Sepertinya aku mulai keringat dingin saking gugupnya. Berbagai pikiran aneh melintas di kepala. Lalu dengan langkah perlahan, aku menuju ruang tamu.
"Pelan-pelan jalannya biar nggak jatuh," nasihat Kak Dani yang berada di ruang tengah dengan ekpresi ngeri begitu melihatku keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu. Aku mendelik.
Ruang tamu yang tidak seberapa luas itu terasa sesak dengan orang-orang yang duduk di sana. Papa, Mama dan keluarga inti Arion menoleh saat melihatku masuk. Jantungku rasanya mau copot. Aku tidak berani melihat ke yang lain selain Arion padahal di sampingnya ada Ferdy. Matanya menatapku dengan bibir tersenyum. Sementara wajahku sudah meringis menahan ngilu dipelototin orang sekelurahan. Lalu bibirnya bergerak yang aku tangkap seperti memintaku untuk tenang. "Easy." Kata itu yang aku baca di bibirnya. Selama melangkah dan duduk di dekat Papa dan Mama, aku merapal doa agar kakiku tidak tersandung dan menumpahkan minuman di atas meja yang telah disediakan oleh Mama pada tamu kehormatan kami.
"Aduh, cantik sekali calon mantu kita," suara lembut kudengar berseru tertahan ketika aku duduk dan ingin memindai satu-satu wajah yang berada di ruang tamu saat ini. Suara itu berasal dari wanita paruh baya yang sangat cantik dan lembut. Aku tebak, dialah ibunya Arion. Matanya berbinar menatapku dengan senyum lebar yang tersungging di bibirnya. Garis lembut dan penyayang sangat jelas pada raut wajahnya. Malam ini, ada tiga wanita dari keluarga Arion yang datang. Yang satunya lagi masih muda yang kuperkirakan masih kuliah. Itu pasti adiknya. Wajahnya nyaris sama dengan ibunya. Lalu mataku beralih pada sosok pria gagah yang duduk di samping adiknya Arion. Sejak tadi matanya menatapku, tetapi aku tidak berani menatapnya. Kala mata kami terpaut, dia langsung tersenyum dan mengangguk padaku. Ketiga orang itulah yang belum pernah kujumpai dan akhirnya bisa bertatap muka langsung malam ini.
"Hmm ..." Opa berdeham. Semua mata lalu tertuju padanya. Sementara aku, menahan napas dan tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepala dan menunggu apa yang akan diucapkannya.
"Kedatangan kami kemari ini untuk niat yang baik. Kebetulan cucu saya yang pertama ini usianya sudah kelewat matang untuk berumah tangga. Karena calonnya sudah ada, maka saya pikir ada baiknya mereka cepat-cepat diresmikan saja. Bagaimana?" Opa menatap dengan serius pada Papa sama Mama. Aku yang mendengar ucapannya serasa mau jatuh dari tempat dudukku. Aku memang sudah tahu niatnya, tetap saja detak jantungku seperti genderang perang. Punggungku kurapatkan pada sandaran sofa, tanganku dengan kuatnya mengcengkeram pegangannya sambil menanti jawaban yang akan diberikan oleh orang tuaku. Mata keluarga Arion terarah penuh pada Papa dan Mama. Lima menit berlalu, kesunyian melanda ruang tamu yang membuat wajahku pias. Sepertinya orang tuaku sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Opa. Papa menarik napas dalam-dalam.
"Begini ... sebagai orang tua, tentu kami menginginkan yang terbaik buat Sandri. Kami menyukai Nak Arion. Sejak pertama bertemu di rumah ini, kami sudah tertarik padanya. Dia juga datang untuk meminta izin kami saat menjalin hubungan dengan Sandri. Hal ini tentu sangat kami apresiasi. Tapi, yang akan menjalankan ini adalah Sandri. Tentunya kami juga harus mendengar pendapatnya." Kalimat Papa ini jelas memberi sinyal jika keinginan keluarga Arion diterima. Namun, seperti kata Papa tadi, semua ini kembali lagi kepadaku karena akulah yang akan menjalaninya. Dari sudut mataku kulihat Arion menghela napas lega mendengar kalimat yang diucapkan Papa.
"Nah, gimana Sandri, apa kamu mau melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius?" tanya Papa padaku. Aku belum menjawab ketika langkah kaki dari arah ruang tengah membuat semua menoleh. Kak Dani masuk dan berdiri di samping Papa. Mataku membulat dengan sempurna melihatnya. Aduh, jangan-jangan inilah saatnya dia merealisasikan niatnya untuk memberikan interview pada Arion. Aku semakin menyurutkan tubuhku pada sandaran sofa.
"Sambil menunggu jawaban Sandri, saya perkenalkan kakaknya. Ini Dani, anak kami yang pertama." Kak Dani agak membungkukkan badannya memberi hormat dan menyapa.
"Selamat malam."
"Selamat malam." Serempak keluarga Arion menyapa balik.
"Infonya, sih, dia mau menguji Nak Arion dulu." Ya ampun, Pa. Mengapa diungkapin, sih? Aku menggerutu dalam hati. Kalau sudah begini bakalan besar kepala, nih, Kak Dani karena didukung Papa.
"Ya sudah, kalian beresin, tuh, ujiannya," ujar Opa sambil menyuruh Arion mendekat ke Kak Dani.
"Kalian di ruang tengah aja, biar kami melanjutkan yang tadi." Papa meminta Arion dan Kak Dani masuk ke ruang tengah untuk menyelesaikan urusan di antara mereka. Aku terhenyak. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti mereka karena aku harus menjawab pertanyaan Papa tadi. "Gimana, Sandri?" lanjut Papa sembari menatapku dengan saksama. Yang lain juga menatapku dengan raut yang sama. Napasku rasanya sesak. Sementara degup jantungku masih belum normal. Dalam satu tarikan napas, aku pun menjawab.
"Kalau Papa sama Mama nggak keberatan, Sandri juga nggak," kataku sambil melirik Opa yang sudah tersenyum lebar mendengar ucapanku. Sementara itu, aku gelisah karena tidak terdengar sama sekali obrolan dari ruang tengah. Apa mereka sudah saling bunuh? Pikiranku terlalu berlebihan.
"Terima kasih sudah menerima niat baik kami ini." Yang bersuara adalah ayahnya Arion. Semua yang berada di ruang tamu akhirnya tersenyum bahagia.
"Urusan selanjutnya, nanti dengan ibu-ibu aja," lanjut ibunya Arion. Mungkin yang beliau maksud adalah urusan pernikahan dengan segala tetek bengeknya yang diiyakan oleh dua orang wanita dengan usia yang tidak jauh berbeda—Mama dan ibunya Arion.
"Kapan saya mencoba masakan Sandri?"tanya Opa yang sepertinya sudah tidak sabar ingin mencicipi hasil olahan tanganku.
"Boleh sekarang, Opa," ucapku sembari berdiri dan bergegas mendahului ke ruang makan. Aku melihat Arion dan Kak Dani sudah saling berdiam diri. Kalau lihat dari gestur mereka, sepertinya pembicaraan di antara mereka sudah selesai. Aku fokus ke meja makan mengecek sekali lagi hidangan yang sudah aku tata sebelum mandi tadi. Dari arah ruang tamu, Mama memandu tamu-tamu agung kami ke meja.
"Sepertinya lezat, nih." Suara itu terdengar tepat di belakangku. Aku berbalik dan mendapati Ferdy berdiri tidak jauh dari tempatku. Matanya menyapu hidangan di atas meja lalu berdecak kagum.
Opa mengambil tempat di kepala meja, di seberangnya duduk Papa. Di samping kiri dan kanan adalah para orang tua. Tentu saja meja makan kami tidak bisa memuat semua anggota keluarga. Maka kami yang masih muda hanya mengambil lauk dan berpencar mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmati makan malam hasil kerja kerasku tadi.
Aku sengaja makan di sofa ruang tengah tidak jauh dari meja makan. Di sampingku ada Temi, adiknya Arion. Para pria muda memilih makan di ruang tamu. Entah apa yang mereka obrolkan di sana. Yang pasti, aku melihat Kak Dani sudah berbincang santai dengan Arion dan Ferdy. Aku tentu saja merasa lega melihat adegan itu.
*****
Jakarta; March 07, 2022
Akhirnya, pertemuan keluarga Sandri dan Arion berjalan lancar.
Kita doakan aja lancar sampai hari 'H'.
Tungguin aja undangannya.
Hehehe....
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...