"Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Kak Lia, ketika aku membereskan barang-barangku di kamar dan memasukkan semuanya ke dalam koper. Kemarin sebagian sudah aku masukkan terlebih dulu, tersisa pakaian yang baru selesai aku setrika saja.
"Sudah semua, sih, Kak," kataku menjawab pertanyaannya dengan sopan.
Aku lalu mengangkat barang bawaanku ke mobil. Kak Arie sudah bersiap akan mengantarku ke stasiun kereta.
"Pergi dulu, ya, Kak. Makasih. Maaf, selama ini sudah merepotkan," pamitku pada Kak Lia. Kak Lia tersenyum lalu memelukku.
"Titip salam sama Papa Mama, ya."
"Baik Kak, salamnya akan disampaikan."
Aku menoleh pada Rannu yang berdiri di samping Kak Lia. Dari tadi dia hanya diam. Sedih pastinya karena aku akan meninggalkannya. Tidak ada lagi tempatnya berkeluh kesah, berbagi derita yang selama ini ditanggungnya.
"Aku pergi, ya, Ran. Jangan lupa berkabar," ucapku dengan pelan sembari memeluknya.
Dia hanya mengangguk lalu buru-buru menghapus air mata yang akan bergulir. Tentu aku sedih meninggalkannya. Aku tahu, pasti dia sangat kehilangan diriku. Selama ini, akulah tempatnya bertanya, meminta pendapat mengenai apa saja yang sedapat mungkin aku jawab. Rannu memang butuh seseorang yang bisa membimbingnya. Namun, aku juga tidak punya pilihan. Tinggal di rumah Kak Arie sampai aku mendapatkan pekerjaan yang kuiinginkan pastinya tidak akan baik, tidak saja buatku, bagi keluargaku juga. Walaupun masih keluarga, tinggal di rumah lain selain rumah sendiri, percayalah, tidak akan pernah sama. Rasa nyaman akan terasa berbeda.
Seminggu setelah kepulanganku ke Jakarta, aku menerima pesan whatsapp yang cukup panjang dari Rannu. Pesan dari Rannu, aku terima sudah sangat larut. Pasti dia mengetiknya sebelum tidur. Hal yang sangat langka jika dia memegang ponsel saat jam kegiatannya di dapur. Bisa kena semprot sama Kak Lia, jika saja hal itu dia lakukan.
Dalam pesannya, Rannu menginfokan mulai tidak betah tinggal di rumah Kak Arie akibat sering banget kena marah Kak Lia. Sementara Kak Arie yang diharapkan bisa membelanya, malah ikutan memarahinya. Aku bisa memaklumi karena Kak Arie tidak tahu persis keadaan di rumah. Hampir seluruh waktunya dia habiskan di kantor. Hari Sabtu pun kadang masih keluar bertemu koleganya. Aku tidak tahu harus bagaimana membantunya, selain memberikan semangat untuk tetap bersabar. Sejak saat itu aku sudah sangat jarang menerima pesan lagi dari Rannu. Pikirku, mungkin dia sudah tidak punya waktu untuk mengetik pesan karena keburu capek dan tidur. Aku pernah mengiriminya pesan, tetapi hanya tercentang satu dan itu berlangsung sampai seminggu. Ketika pesanku terbaca, Rannu tidak membalasnya. Aku mulai menduga-duga apa yang terjadi pada Rannu. Apakah dia sudah malas mengirimiku kabar? Aku coba menghalau pikiran buruk dan berharap Rannu dalam kondisi yang baik.
Malam itu, aku lagi berbaring sambil memikirkan Rannu saat suara bel terdengar. Bergegas aku keluar dari kamar dan membuka pintu ruang tamu.
"Tante? Eh, silahkan masuk." Aku dikejutkan kedatangan Tante Elis ke rumah. Hal yang sangat jarang terjadi karena selama ini mamalah yang sering datang ke rumah Tante Elis. Aku menduga ada hal yang penting sehingga Tante Elis bela-belain datang siang itu.
"Mama ada, Sand?"
"Ada Tante. Sebentar, mungkin Mama lagi di kamar." Biasanya kalau sudah menyelesaikan rutinitasnya, Mama tidur sebentar. Menjelang sore akan bangun dan kembali sibuk menyiapkan makan malam kami.
Aku mempersilakan Tante Elis duduk. Kemudian aku mengetuk pintu kamar Mama yang berada di samping kamarku. Aku berharap Mama belum tidur.
"Siapa?" sahut Mama dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...