PACU #43 Awal Yang Akan Berakhir?

372 55 2
                                    


Seharusnya tadi aku tidak meninggalkan meeting dengan calon client potensial kami hanya karena Arion mengajakku makan siang, jika berakhir dengan suasana seperti ini. Sejak Arion memintaku untuk tidak dekat dengan Pak Jo tadi, aku mulai bertanya-tanya akan ke mana arah hubungan kami ini? Baru juga kami bertemu setelah jadian, apakah sudah harus diwarnai dengan perdebatan? Di rumah, aku paling terkenal orang yang tidak suka beradu pendapat karena bagiku tindakan tersebut hanya menguras energi yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Bukan berarti aku tidak bisa adu argumen, hanya melihat urgensinya.

"Dia calon client kami, Mas." Hal ini harus kutegaskan agar Arion bisa membedakan urusan pribadi dan pekerjaan. Aku rasa dia sangat memahami itu. Arion menarik napas berat mendengar ucapanku.

"Boleh nggak kamu pertimbangkan lagi menerima pekerjaan dari dia?" Pintanya dengan suara yang semakin terdengar berat, sama dengan tarikan napasnya tadi. Seolah-olah ada beban berat yang sedang diembannya.

"Pertimbangannya apa, ya, sehingga aku nggak menerima pekerjaan ini?" Bukannya menjawab, aku malah membalikkan pertanyaannya. Yang benar saja, tanpa alasan yang tepat tidak mungkin aku dan Dita menolak begitu saja peluang yang sudah dalam genggaman. Menolak berarti pundi-pundi kami pun akan melayang. Kali ini Arion mengusap wajahnya. Dari rautnya aku tahu dia mulai kesal, tapi berusaha mengendalikan rasa kesalnya.

"Dia punya perilaku yang buruk sama wanita, Sayang. Aku khawatir, kamu juga menjadi sasarannya nanti," ucap Arion dengan wajah yang sudah nomal dan menatapku dengan lembut. Mungkin dengan cara lembut begini dia pikir bisa mengubah pikiranku. Bisa saja pikiranku berubah, tetapi aku juga harus berdiskusi dengan Dita. Ini project kami berdua, bukan perorangan. Walau Dita yang merekomendasikannya, dalam perjalanannya nanti, peranku akan lebih besar.

"Mas, ini project aku dan Dita. Jadi, aku nggak bisa memutuskannya sendiri. Lagian, aku bisa jaga diri, kok. Client jenis ini pasti akan aku temui." Aku tak luluh begitu saja menerima permintaannya. Bagiku, larangan tapa dasar pasti akan aku tolak. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga diriku sendiri. Sikap protektif seperti ini paling aku benci karena menghalangiku untuk mengekspresikan ide-ide yang penuh di kepala. Arion hanya diam memandangku beberapa menit. Mungkin dia tak menyangka aku akan kukuh dengan pendirianku. Dia tentu salah menilai jika aku tipe wanita yang menurut begitu saja tanpa meminta penjelasan alasan dibalik penolakannya.

Sebelum berbicara kembali kulihat dia berusaha meraup udara. "Benar, itu project bareng dengan temanmu. Dan juga aku nggak bisa begitu saja melarangmu. Tapi yang perlu kamu ingat, kalau saja nanti terjadi sesuatu jangan pernah kamu pendam, segera infokan ke aku, ya?" Akhirnya, Arion menyudahi perdebatan kami dengan kalimatnya ini. Aku tentu saja lega. Tadinya aku sudah bersiap kalau saja Arion mengajakku berdebat. Biarlah, tak mengapa jika perdebatan ini berujung kami harus menjaga jarak, alih-alih berpisah. Aku siap menanggung risikonya.

Arion yang duduk berseberangan denganku di island pantri berdiri mendekat ke arahku. Kami tidak makan di meja makan melainkan di island pantri saja. Sepertinya juga lebih praktis, apalagi waktu kami terbatas dan dia akan kembali ke kantor. Makan di area itu memudahkan kami menjangkau yang dibutuhkan. Tiba di dekatku Arion meraihku dalam dekapannya. Tangannya lalu mengusap dengan lembut kepalaku. Aku hanya diam melihat sikapnya ini. Bisa jadi karena aku berkeras tadi, dia yang mengalah. Aku sangat tahu sikapnya juga keras.

"Aku takut kehilangan kamu. Jadi, tolong dengar kataku-kataku tadi," pintanya dengan suara memohon. Hatiku seketika luluh. Ada rasa sedikit menyesal sudah mendebatnya tadi. Jemarinya mengangkat daguku sehingga wajahku menengadah padanya. Kepalanya dia rendahkan dan telah sejajar dengan wajahku kini. Wajahku mendadak panas. Lalu dengan pelan, kembali bibirnya berlabuh di bibirku seperti saat kami masuk ke unitnya tadi. Tubuhku hampir saja merosot kalau Arion nggak merangkulku. Karena sensasi yang kurasakan begitu hangat, bibirku malah sedikit membuka yang dengan cepat direspons Arion dengan melesakkan lidahnya. Tulangku serasa lepas dari raga kala lidahnya sudah menjelajahi isi dalam rongga mulutku kian kemari. Sesekali lidahnya membelit lidahku. Lain waktu, lidahnya dia tarik lalu bibirnya mengulum bibirku dengan ganasnya. Aku yang belum berpengalaman diserang seperti ini megap-megap menerimanya. Kudengar degup jantungnya sudah memburu, pertanda hasratnya sudah mulai memuncak. Aku khawatir dengan kondisi ini. Melihatku tersengal, ciumannya yang mengganas tadi berangsur-angsur mengendur. Dia menarik wajahnya kemudian tersenyum memandangku. Tangannya lalu membersihkan sisa-sisa liurnya yang menetes di bibirku. Aku terkapar.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang