PACU #70 Arion Pov - Upaya Meredakan Luapan Rasa

375 51 4
                                    


Sungguh, rasanya sehari saja tak berjumpa dengan Sandri, duniaku seolah berhenti berputar. Aku sendiri tidak paham mengapa sampai rasa ini begitu dalam padanya. Kehadiran Sandri dalam hidupku memang telah mengikis habis pertahananku untuk tidak lagi memikirkan wanita. Upaya kerasku untuk hanya berkonsentrasi dengan pekerjaan terbagi begitu melihatnya di kantor Ferdy kala itu. Baru juga hari Rabu lalu kami bertemu, yah, walaupun hanya sedikit kesempatan aku berbicara padanya. Saat ini rinduku padanya sudah tak mampu kubendung lagi. Syukurlah hari ini dia ke luar rumah, ke tempat Ferdy, jadi ada alasan memintanya mampir ke kantor. Sebentar juga tak mengapa seperti infonya tadi, asal rasa rinduku bisa terpenuhi. Kekasih itu memang sosok wanita yang tidak begitu saja menerima permintaanku tanpa menimbangnya lebih dulu. Jika alasannya tepat barulah dia mengabulkannya. Seperti hari ini, kalau saja dia tidak ke luar maka tidak ada alasan untuk memintanya menemuiku yang sudah sekarat karena rasa rindu yang begitu menggebu.

Aku membiarkannya bertemu Ferdy. Setelah hari Rabu kami menyatakan niat baikku dan diterima dengan hangat oleh orang tuanya, aku tidak lagi dipenuhi rasa was-was saat dia bertemu dengan Ferdy. Lagipula, aku sangat yakin Sandri bisa menjaga dirinya dengan baik. Menjaga keluarganya saja seperti Rannu, dia mampu, apalagi dirinya. Memang akunya saja yang khawatir berlebihan padanya.

Sejak tadi aku menahan keinginanku untuk meneleponnya saat masih di tempat Ferdy. Pertemuannya dengan Ferdy dalam rangka urusan pekerjaan, jangan sampai teleponku malah mengganggu konsentrasinya. Aku pun menenggelamkan diriku dengan dokumen yang menumpuk lagi di mejaku. Beberapa hubungan kerja dengan partner kami baik di dalam negeri maupun di luar negeri harus aku tinjau ulang. Harusnya aku sudah berangkat ke US. Namun, urusan itu bisa diwakilkan oleh direksiku karena beberapa minggu ke depan aku harus fokus dengan pernikahan kami. Setelah memperkirakan waktunya sudah cukup berada di tempat Ferdy, aku baru meneleponnya. Benar saja, dia sudah di jalan. Hatiku tentu saja bahagia mendengarnya. Rasanya sudah tak sabar ingin memeluknya, mencumbunya penuh hasrat.

Saking tidak sabarnya, aku sampai turun ke lobi menjemputnya. Sayang, saat menuju lift Sandri sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Dia seperti sedang berpikir keras sambil berjalan menuju lift dan sedikit gugup melihat antrian. Aku berinisiatif menarik tangannya dan membawa ke lift khusus yang biasa aku gunakan. Tiba di ruang kerjaku, begitu pintu tertutup aku tidak bisa lagi menahan dan langsung memeluknya dengan erat. Bibirku pun menjelajahi wajahnya lalu mengulum bibirnya, melesakkan lidahku ke dalam mulutnya untuk membelit lidahnya. Cumbuanku membuatnya hampir tak kuat menopang tubuhnya. Aku menariknya duduk di sofa dan kembali melancarkan cumbuanku. Rasanya aku ingin sekali melahapnya. Karena asyiknya, aku sampai lupa menanyakan padanya apakah sudah makan siang atau belum saat tiba tadi dan hanya mengingat betapa aku merindukannya dan ingin sekali menuntaskan hasratku padanya. Aku merutuk diri.

Setelah menyuruh Nina memesan makan siang untuk kami, aku kembali mencumbunya dengan gelora yang semakin meningkat hingga membuat sesuatu di bawah sana mengeras. Rasanya sesak dan aku berusaha menahan sakit. Sandri meringis melihatku. Mungkin karena kasihan melihatku yang sudah seperti orang yang sedang menahan rasa sakit, dia sampai menanyakan apa yang bisa dilakukannya agar rasa sakitnya berkurang. Aku tentu saja kaget, tapi juga senang. Mataku menatapnya penuh harap akan pertolongannya. Tangannya yang halus itu aku bayangkan akan sangat menyenangkan untuk meredam sakit yang kutahan seperti orang kebelet. Aku sampai bertanya sekali lagi padanya untuk niatnya itu. Walau jawabannya meragu, tetapi dia tetap ingin membantuku untuk meredam rasa sakitnya. Aku baru saja hendak menurunkan zipper ketika terdengar ketukan di pintu. Aku mengerang frustrasi. Dengan langkah lesu setelah merapikan celanaku yang sudah tidak berbentuk tadi, aku membuka pintu. Nina memberikan paper bag berisi makan siang yang dipesannya. Karena terburu nafsu, aku sampai melupakan pesanan makan siang kami.

"Masih sakit, ya?" tanyanya begitu kami sudah menikmati makan siang. Jadi ingat pertanyaannya tadi saat aku mendesis menahan sakit. Apakah si adikku ini menggigit? Aku hampir saja tertawa, tapi kutahan. Polos banget calon istriku ini. Dia akan menggigit jika sudah tiba waktunya. Tentu saja jawaban ini hanya kusimpan dalam hati. Dan aku berharap, dia tidak menjerit kala melihatnya.

"Masih, Sayang. Ntar bantu hilangin sakitnya, ya. Oke?" pintaku. Hari ini bolehlah kami sebatas memegang, mengelus dan berciuman saja. Aku juga tidak ingin mengambil sesuatu yang sepenuhnya belum menjadi hakku. Namun, bagaimana kalau kami khilaf?

"Mas, aku belum tahu caranya, tapi aku usahakan." Ucapannya malah membuatku ingin secepatnya menghabiskan makan siang. Isi kepalaku sudah berpikir tidak rasional lagi.

Sandri membereskan kotak makan siang, membuangnya ke tempat sampah dan mengambil air minum di dispenser dan memberikannya padaku. Setelah yakin semuanya telah selesai, aku mengunci pintu ruang kerjaku dan sekali lagi mengingatkan Nina lewat intercom untuk menahan semua telepon dan siapa saja yang ingin bertemu agar aku bisa menuntaskan yang tertunda tadi.

"Sini, jangan jauh-jauh," kataku sembari meraih tubuhnya dalam dekapan. Aku mulai melancarkan serangan-serangan kecil pada bagian dadanya. Kuraba sesuatu yang kenyal di sana untuk memanjakan jemariku. Erangan halusnya mulai terdengar. Kukulum kembali bibirnya, sesekali kugigit bagian bawahnya dengan gemas sembari tanganku memilin puncak dadanya. Kembali kurasakan sesuatu di bagian pangkal pahaku mengeras. Aku menarik tanganku dan cepat menurunkan zipper celanaku. Sengaja tidak kubuka lapisan terakhir yang membungkus dengan ketat bagian intimku. Kutuntun tangannya untuk merabanya dari luar. Rasa hangat tangannya merambat di sela-sela serat kain membangunkan penghuninya dengan sempurna.

"Diginiin aja apa sudah bisa meredakan sakitnya?" dengan polosnya dia bertanya.

"Bisa," jawabku dengan suara yang nyaris tidak terdengar karena aku berkonsentrasi merasakan elusannya. Rasanya aku ingin melayang. Hanya elusan yang tidak langsung menyentuh kulitnya pula, tetapi begitu hangat aku rasakan. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan dulu, saat masih bergelut dengan masa kelamku, aku belum sekalipun merasakan hangat seperti ini. Mataku sampai terpejam.

"Gimana, sudah hilang sakitnya?" Suaranya saja sudah membuaiku begini apalagi tangannya di bawah sana.

"Lumayan, sih," jawabku masih dengan mata terpejam. Elusan tangannya yang teratur kunikmati dalam diam. Setelah lima menit, aku membuka mata dan melihatnya masih tekun mengelus-elus bagian yang menonjol di pangkal pahaku. Aku menarik tangannya lalu kucium dengan lembut. Tangan ini mampu meredakan sesuatu yang tadi meronta. Tak dapat kubayangkan jika Sandri tidak bersedia, aku tidak tahu apa yang akan kuperbuat untuk menidurkan kembali bagian yang bangun tadi. Kembali aku merapikan celanaku dan memeluknya dengan erat. Bibirku kembali melahap dengan rakusnya bibir yang merekah indah, mengundangku selalu untuk mencicipinya lagi dan lagi. Tak pernah ada rasa bosan melumat bibir yang sangat manis itu hingga lipstick yang dipakainya lenyap.

"Thanks, Sayang," ucapku tulus.

"Memang selalu seperti itu ya, Mas? Terus apa yang Mas perbuat kalau sudah bangun kayak tadi?" Pertanyaan yang sukses membuatku terbatuk. Aku tidak menyangka Sandri akan bertanya sedetail ini. Atau apa dia sengaja menanyakan ini untuk mengujiku? Duh, sudah cukuplah kakaknya yang mengujiku, jangan ditambah lagi.

"Kalau berada di dekatmu, dia baru berontak. Makanya, yang bisa redakan juga harus kamu." Semoga jawaban ini bisa dipahaminya dengan baik.

"Kalau begitu kita jangan sering bertemu dong ya, biar si dianya nggak marah." Lha, bagaimana bisa? Sehari aja tidak bertemu dengannya rasanya sekarat.

"Ya, jangan dong. Nanti aku sekarat beneran, lho, ini," protesku padanya. Yang benar saja. Sandri itu sudah menjadi candu yang selalu ingin kureguk. Kalau saja Opa sampai tahu tingkahku ini, pasti aku disembelih. Opa sangat menyayangi Sandri. Keluargaku yang lain juga sama. Lebih-lebih lagi Ferdy. Untung saat ini dia sudah tidak menentang lagi hubunganku dengan Sandri. Namun, mewanti-wanti aku untuk menjaga dan melindungi Sandri dengan baik. Tanpa dia minta pun, aku pasti akan menjaga wanita yang sangat kucintai itu.

*****

Jakarta; March 16, 2022


Arion, ingat Opa! Ingat Dani dan Ferdy juga. Kalau mereka tahu, habis deh kamu.

Ya, walaupun sebentar lagi Sandri sudah akan jadi milik kamu seutuhnya.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang