"Pagi, Rannu," sapaku ketika telah tiba di dekatnya. Rannu membalikkan badan, begegas berdiri dan memelukku. Dia kemudian memintaku duduk di dekatnya. Sepertinya, semua peralatan rajutnya dikeluarkan dari kamar dan membawanya ke taman. Melihat benang rajut tergeletak begitu saja, aku berencana membelikannya kotak untuk menyimpan semua peralatan rajutnya agar tidak berceceran. Hari Sabtu nanti aku akan membawakan untuknya.
"Pagi, Sandri," balasnya menyapaku. Setiap aku datang, matanya berbinar menatapku. Kedatanganku pasti akan mengusir sepinya dan dia pun punya teman ngobrol. "Tasnya belum selesai, San," lanjutnya dengan raut wajah sedih. Mungkin dia sudah target saat kedatanganku tasnya sudah bisa dia berikan, ternyata belum.
"Nggak apa, santai aja ngerjainnya. Pasti lebih rumit, kan, buatnya?" kataku berusaha menghiburnya.
"Iya, agak susah."
Kembali dia larut dengan rajutan di tangannya. Aku membuka tote bag dan mengeluarkan makanan serta minuman ringan. Sambil dia merajut dan menikmati camilan yang kubawa, kami bercerita.
"Sandri, kata Kak Arie kalau aku sembuh nanti, aku tinggal di Bandung aja," katanya. Jantungku langsung berdetak. Bagaimana bisa Kak Arie memintanya tinggal bersamanya kalau sudah tahu Rannu masih trauma dengan Kak Lia? Atau, apakah ini pertanda Kak Arie akan menceraikan Kak Lia? Tidak mungkin Kak Arie mengambil langkah yang keliru, kan?
"Rannu mau ikut Kak Arie?" tanyaku. Dia berhenti dari kegiatan merajutnya mendengar pertanyaanku. Matanya menatapku dalam.
"Rannu mau asal nggak ada Kak Lia, Sandri," ucapnya lalu menundukkan kepala. Tangannya belum menyentuh kembali rajutannya. Aku tahu, dia pasti bimbang dengan permintaan kakaknya. Selama ini, Rannu tidak bisa memutuskan apa yang bisa dilakukannya. Semua berdasarkan permintaan atau perintah saudaranya. Rannu diperlakukan seolah tidak mempunyai pendapat yang perlu didengarkan saudaranya. Sementara Tante Elis, lebih banyak mengikuti apa kata anak-anaknya. Dulu, aku kadang gemas dengan ini kalau Rannu curhat.
"Baiknya bilang aja sama Kak Arie kalau ada Kak Lia, Rannu nggak mau ikut. Nggak apa, Kak Arie pasti paham, kok," saranku padanya. Aku mendorong Rannu agar bisa mengutarakan keinginannya, jangan dipendam saja. Aku kasihan padanya kalau mendapat tekanan lagi dan bisa saja dia depresi kembali.
"Iya, nanti Rannu bilang sama Kak Arie," katanya sambil melanjutkan kembali rajutan di tangannya.
"Tadi info dari suster, semalam Rannu sakit kepala, ya? Apa Rannu jatuh atau terbentur?" tanyaku dengan pelan.
"Iya, kepala Rannu sakit banget semalam. Bukan karena jatuh atau terbentur, Sandri. Tiba-tiba sakit aja seperti ditusuk gitu." Aku terdiam mendengar penjelasannya.
"Hari Senin, dokter akan periksa kepala Rannu. Kalau sempat, Sandri datang, ya? Rannu jangan takut," ucapku memberinya semangat. Dia mengangguk.
Aku memperhatikan tangannya yang dengan lincahnya mengolah benang rajut. Dia mengombinasikan beberapa warna pada rajutannya kali ini. Sudah mulai terlihat bentuknya walau belum sempurna. Aku tidak tahu teknik rajut apalagi yang dia gunakan kali ini. Kami hening, tetapi tak lama terdengar langkah kaki samar mendekat ke arah kami. Rannu tidak terusik. Aku yang menengadah, mengalihkan perhatianku dari kegiatan Rannu ke sumber suara. Ferdy sudah berada di dekat kami. Pria yang sangat mengkhawatirkan diriku setelah menjalin hubungan dengan kakaknya, memasang wajah tersenyum lalu menyapa,
"Siang, Sandri dan Rannu." Tumben sekali aku bertemu dengannya di sini. Ini hari kerja yang sangat tidak memungkinkan dia menjenguk Rannu. Kalau dia bisa meluangkan waktunya siang ini, aku menduga Ferdy tadi bertemu dengan rekan bisnisnya. Biasanya begitu kalau dia masih punya waktu untuk mampir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...