Aku hanya terpaku menatap sosok yang berdiri menjulang di hadapanku saat ini. Tak menyangka pria yang baru saja kami bicarakan sudah berdiri di depan pintu menatapku tanpa kedip. Tubuhku tegang tak mampu kugerakkan. Sosok yang menatapku dalam juga sama. Kami hanya saling berpandangan kurang lebih lima menit. Tatapan yang sulit kuartikan membuatku tak tahu harus berbuat apa. Bernapas pun rasanya sulit. Aku sendiri bingung mengapa sikapku harus seperti ini. Aku tidak sedang melakukan kesalahan apa pun padanya. Mengapa aku seolah merasa tertangkap basah?
"Halo ... Sandri ... Hey!" Ferdy mengayunkan tangannya di depan wajahku. Aku tersentak mendengar suaranya. Mataku mengerjap, memandangnya sebentar untuk meyakinkan diriku kalau yang berada dihadapanku saat ini benar adalah Ferdy.
"Eh?!" Hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan. Bibirku masih belum bisa kubuka dengan lebar. Kata-kata yang biasanya sangat mudah kuucapkan seolah kukuh bertahan di tenggorokan.
"Kok, kamu seperti lihat hantu, sih? Melotot begitu nakutin tahu," ujarnya agak kesal. Aku tahu, bukan itu maksudnya karena tak berapa lama senyumnya mulai mengembang. Senyum yang selalu menjadi magnet tak kasatmata bagiku. Aku belum menjawab, melainkan tertarik mencari kesamaan wajah itu dengan Arion. Dan yang kudapatkan adalah kala mereka tersenyum, di saat itu juga tingkat ketampanannya menukik tajam.
"Ada apa, ya, Mas?" Mataku memindainya dengan kerutan di kening. Aku masih saja berdiri di depan pintu sama sekali tak berniat mempersilakannya masuk. Mungkin ini bentuk pertahan dariku. Entahlah. Namun, Ferdy merendahkan tubuhnya sehingga wajahnya sudah sejajar dengan wajahku. Gerakannya itu refleks membuatku mundur selangkah dan merasa wajahku memanas.
"Bukannya tamu dipersilakan masuk dulu dan disuguhi minuman, ini malah bertanya ada apa. Aduh, apa aku salah jam bertamu, Sandri?" Seketika aku diserang rasa bersalah. Bergegas aku membuka pintu lebar-lebar dan meminta Ferdy masuk. Pria itu langsung mengempaskan dirinya di sofa ruang tamu. Melihatnya seperti itu aku semakin merasa bersalah membiarkannya berdiri lama di depan pintu tadi. Pasti Ferdy sedang lelah. Napasnya juga sedikit berat lalu terdengar lega begitu bagian bawah tubuhnya bersentuhan dengan empuknya sofa.
"Duh, leganya," ujarnya setelah duduk, meluruskan kakinya sejenak sembari memejamkan mata. Secapek itukah dirinya? Aku berpikir. Masih siang begini, tapi Ferdy sudah ke luar kantor dan mampir ke rumah dalam keadaan lelah? Dia habis dari mana?
"Mas dari mana? Kok, kayak capek gitu?" tanyaku sembari memperhatikan tingkahnya. Matanya masih terpejam meski tarikan napasnya sudah normal. Setelah menunggu beberapa saat, matanya membuka dan langsung menatapku. Aku waspada. Tatapannya memang tidak tajam lagi, tetapi kali ini aku tak bisa mendeskripsikannya. Seperti teduh begitu.
"Habis lihat workshop tenant tadi. Mumpung lagi di luar saya mampir. Maaf, nggak sempat info." Aku, sih, tidak pernah melarang dia datang ke rumah. Tanpa info pun asal aku berada di rumah maka tak ada alasan menolaknya. Hanya saja, info yang aku terima dari Arion membuatku jadi bersikap berbeda saat melihatnya berdiri di depan pintu. Aku merasa Ferdy benar-benar meluangkan waktunya untuk bertemu denganku yang pastinya berhubungan dengan Arion.
"Bentar, ya, Mas. Aku buatkan minum dulu." Tanpa menunggu responsnya aku melesat ke dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan gelas berisi minuman dingin di nampan. Aku meletakkan gelas di depannya yang langsung saja disambarnya dalam sekejap. Aku tertawa melihat gerakannya itu. Jahat banget aku tadi yang berlama-lama membiarkan pria ini di depan pintu.
"Saya dengar dari Arion, kalian sudah pacaran. Apa benar begitu atau Arion aja yang berhalusinasi?" tanya Ferdy dengan tatapan yang kembali tajam padaku. Mengapa hubunganku dengan Arion menjadi sensitif begini, sih? Tidak hanya bagi Ferdy, bagi Kak Dani juga. Kalau Ferdy masih bisalah aku terima karena dia sangat tahu masa lalu kakaknya. Alasan dari Kak Dani yang masih kupikirkan hingga detik ini. Sepertinya dia sangat tidak rela aku menjalin hubungan dengan Arion.
"Baru semalam, kok, kami jadiannya." Dengan jawaban ini aku berharap Ferdy tak berpikir yang aneh-aneh. Baru semalam jadian dan kami pun belum bertemu. Jadiannya juga via telepon saja, jadi seharusnya mereka tak perlu rumit memikirkan hubungan kami. Kami ini sudah dewasa, kalau saja Ferdy dan Kak Dani lupa.
"Saya nggak nyangka aja kamu menerima Arion. Perbuatannya di masa lalu itu jelek banget, Sandri. Memang, sih, dia sudah berubah, bahkan rela menjalani hukuman dari Papa. Tapi, saya hanya khawatir masih ada sisi lain dalam dirinya yang masih sama seperti dulu. Arion, tuh, sangat tertutup sejak kembali ke Jakarta, jadi kami nggak bisa memantau apa saja yang dia lakukan." Saat mengucapkan ini, Ferdy menarik punggungya dari sandaran sofa dan mengubah gestur santainya menjadi serius. Seserius inikah tanggapannya pada hubunganku dengan Arion? Tidak ada yang salah dengan kekhawatiran Ferdy, tetapi menurutku seharusnya ini menjadi urusan keluarga mereka, jika Arion sudah tak bisa dipantau kegiatannya. Lagian, umur Arion sudah 35 tahun. Sudah seumur itu apa iya masih harus dipantau seperti anak kecil?
"Mas ...." Aku berusaha meredam gemuruh dalam dada karena bagaimanapun ada rasa kesal mendengar ucapannya tadi. Dalam ucapan Ferdy seolah Arion masih saja seperti dulu. "Hubungan kami ini masih jauh jika bisa dikatakan sebuah hubungan. Baru semalam, lho, Mas. Dan sampai saat ini saya juga belum bertemu Mas Arion." Aku menarik napas berat. Bagaimana lagi aku menjelaskan pada kedua orang yang dengan bersusah payah memikirkan hubungan kami. Mengapa hubungan ini membuatku lelah? Sesulit inikah menjalani hubungan dengan Arion?
"Saya sama sekali nggak melarang kamu menjalin hubungan dengan Mas Arion, Sandri. Bukan gitu maksud saya. Hanya saya minta kamu berhati-hati aja. Saya lebih mengenal dirinya, lho." Mungkin karena menyadari ucapanku tadi, Ferdy berusaha menenangkan hatiku yang mulai gundah. Mendengarnya berkata begitu menjadi seperti warning bagiku. Ada dua pria yang akan Arion hadapi kalau saja dia berani menyakitiku.
"Mas, tadi waktu datang aku lagi makan. Aku habisin makanan dulu, ya?" Kan, jadinya aku lupa kalau tadi sedang makan. Tersisa sedikit, sih, tetapi tak baik menyisakan makanan, terlebih lagi membuangnya. Mama sangat ketat hal begituan. Aku bakalan kena tegur kalau sampai Mama melihat aku membuang makanan. Karena itu sama saja dengan tidak mensyukuri berkat yang sudah diberikan Tuhan. Menurutku, ini cara terbaik untuk menghindari perbincangan mengenai hubunganku dan Arion. Ada baiknya tiga lelaki ini saling bertemu saja membahas mengenai hubungan kami. Silakan mereka berdebat langsung. Mungkin aku perlu mengatur pertemuan ketiganya.
"Saya juga lapar, nih, Sandri," ucap Ferdy tanpa malu-malu seraya memegang perutnya yang sangat rata itu. Bibirnya tertarik lebar saat mengatakannya. Hah? Aku melongo mendengarnya. Lelaki gagah di depanku ini sudah tak menjaga image-nya lagi. Sudah lelah, kelaparan pula. Aku meringis mendengarnya.
"Oh, oke. Ke ruang makan aja kalau gitu." Untung saja tadi Mama sudah memasak sebelum berangkat ke rumah Tante Elis. Makanan sederhana, sih, tetapi tetap memenuhi unsur empat sehat lima sempurna. Aku pun menggiring Ferdy ke ruang makan. Setelah dia duduk, aku bergerak dengan cepat menyiapkan piring dan lauk ke atas meja makan. Ferdy mengikuti setiap gerakanku dengan matanya. Anehnya, aku merasa sedang menyiapkan makan siang pada pasanganku. Heh?
Setelah siap, kami pun makan dalam diam. Aku menyempatkan melirik Ferdy yang makan dengan lahapnya. Tidak terlihat sikap canggung sama sekali. Ada lagi persamaan yang kudapatkan pada keduanya, sama-sama menikmati masakan Mama. Padahal makanan yang terhidang di atas meja jauh dari makanan yang biasa mereka santap, walau tetap terjamin gizinya.
Selesai makan, kami masih melanjutkan perbincangan di antaranya mengenai kesembuhan Rannu.
"Mas, aku masih bingung tempat tinggal Rannu kalau sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit. Karena dia masih trauma melihat Kak Lia, sebaiknya Rannu tinggal di mana, ya?" Ada baiknya hal ini aku diskusikan dengannya. Bukankah pria ini masih mencintai Rannu?
"Akan saya pikirkan Sandri, ya. Baiknya, sih, Rannu dijauhkan dari kemungkinan bertemu Kak Lia lagi." Ucapannya ini sedikit melegakan diriku. Ini berarti Ferdy benar-benar memikirkan Rannu, dan aku sangat berharap padanya.
*****
Jakarta; January 19, 2022
Sebenarnya tujuan Dani dan Ferdy baik, ya. Sama-sama ingin melindungi Sandri.
Semoga saja apa yang mereka khawatirkan nggak terbukti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...