PACU #77 Membahas Pekerjaan Dengan Musuh Arion

368 50 2
                                    


Langkahku terasa sangat ringan saat meninggalkan rumah sakit. Tak putus senyum bahagia aku perlihatkan pada orang yang berpapasan denganku. Aku seolah ingin menyapa semua orang dan menyampaikan kabar gembira mengenai Rannu. Tentu saja hal itu tak bisa kulakukan. Ini hanya ekspresi rasa bahagia saja yang begitu membuncah dalam hatiku, mengalahkan saat keluargaku menerima pinangan Arion. Aku pastikan kekasihku itu akan cemburu jika aku memberitahunya. Aku sangat yakin, dia juga akan sama bahagianya denganku jika mengetahui Rannu akan meninggalkan tempat yang selama hampir enam bulan dihuninya.

Di dalam taksi menuju kantor Pak Jo, senyumku terus saja tersungging. Semoga orang-orang yang melihatku tidak memandang aneh dan menduga aku ada kelainan jiwa. Aduh, jangan sampai deh! Sekali lagi, ini hanya ekspresi rasa bahagia saja.

Taksi tiba di drop off lobi di gedung yang menjadi kantor client potensial aku dan Dita. Aku melirik sejenak gedung yang berada di sampingnya. Aku tahu, salah seorang penghuninya sedang mematai-mataiku dari lantai di atas sana. Sabar, dia harus sabar sampai urusanku dengan saingannya selesai. Mengingatnya, rasa rinduku juga mulai menyusup dalam raga. Aku tidak menampik, setiap hari aku juga rindu padanya. Di counter resepsionis aku menukar kartu identitas dengan access card untuk menuju ruangan Pak Jo. Tiba di lobi depan ruang tamu, aku tidak memerlukan basa-basi lagi dengan security dan sekretarisnya, karena begitu melihatku mereka langsung mempersilakan aku masuk. Sudah se-familier inikah aku sama mereka? Atau bosnya sudah memawanti-wanti dua orang bentengnya ini untuk memberikan kebebasan padaku menemuinya? Entahlah, hayalanku mulai melantur. Siapalah diriku ini?

"Siang Sandri. Senang bisa berjumpa lagi dengan kamu," begitu sapanya saat pintu ruangannya dibuka oleh sang sekretaris dan aku melangkah masuk. Wajahnya tersenyum ramah dan membuatnya makin terlihat menawan. Saingan kekasihku ini, jika saja belum menikah akan menjadi incaran para wanita di luar sana.

"Siang, Pak. Terima kasih," balasku. Tentu saja aku harus mengucapkan terima kasih karena kedatanganku diterimanya dengan baik. Pak Jo mempersilakan aku duduk di sofa. Dia mengambil tempat tepat di hadapanku, memperhatikanku dengan saksama. Tatapannya sedikit membuatku jengah. Aku kemudian mengeluarkan dokumen dan menyerahkan padanya. Sementara menunggu Pak Jo yang membuka-buka dokumen yang aku berikan, aku memperhatikan kembali suasana ruangan kerjanya. Ruangan kerja yang kental warna maskulin ini rasanya ingin aku ubah menjadi ruang kerja yang sedikit cerah. Terkadang, kala berkunjung ke sebuah kantor atau mall, di kepalaku melintas beragam ide.

"Great, Sandri. Aku suka banget dengan konsep desainnya. Dari tiga alternatif ini, saya harus pilih salah satu aja, ya?" tanya Pak Jo dengan mata yang menatapku dalam.

"Iya, Pak. Dilihat-lihat aja dulu, setelah ada yang Bapak suka, infokan ke saya," jawabku sembari menatapnya sekilas saja tak berani berlama-lama. Tatapannya kali ini terasa berbeda. Mungkin aku lagi sensitif saja.

"Kalau misalnya aku mau ketiganya, boleh?"

"Boleh, kok, Pak." Sangat boleh malah, lanjutku dalam hati. Aku tidak menyangka dia tertarik pada ketiganya. Setelah ini aku akan laporan ke Dita.

"Oh, oke." Sudut bibirnya tertarik lebih lebar. Aku buru-buru menunduk, melihat ponselku. Baru kali ini aku sangat menantikan telepon dari Arion untuk mengalihkan perhatianku.

"Pak, jika nggak ada lagi yang ditanyakan, saya pamit." Pak Jo agak terkejut dengan ucapanku. Senyum di wajahnya lenyap berganti raut kaku. Apa aku salah ngomong?

"Kenapa buru-buru? Kamu belum lima belas di sini, lho," protesnya. Aduh, bagaimana ini? Apa lagi yang harus kami obrolkan. Belum sempat aku menanggapinya, ponselku berdering. Aku bernapas lega melihat nama calon suamiku tercetak jelas di layar. Aku meminta izin, bergeser ke dekat jendela menerima telepon dari Arion.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang