PACU #55 Arion Pov - Sulitnya Menahan Diri

384 53 6
                                    


Rasanya begitu tidak sabar untuk bertemu kembali dengan Sandri. Baru juga kemarin kami bertemu, hari ini aku sudah kangen lagi padanya. Memang kami harus cepat-cepat menikah. Sembari menunggunya, aku kembali tenggelam dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Sehari saja aku tidak datang ke kantor, dokumen sudah menumpuk di meja yang harus aku cek dan tanda tangani. Tadi juga aku menerima laporan para direksi dan manajer, melaporkan kegiatan mereka selama aku tidak masuk kemarin. Untuk memantau outlet-ku yang berada di luar kota, aku sudah tidak turun tangan langsung. Kupercayakan sepenuhnya pada bawahanku. Aku lebih memusatkan perhatian pada kerja sama kami dengan pihak luar. Karena ada beberapa perjanjian yang akan aku tinjau kembali, beberapa hari ke depan aku berencana akan ke US dan mungkin juga ke Italia. Kalau saja Sandri tidak sibuk, aku ingin sekali mengajaknya. Karena selama berada di sana nanti, aku pasti sibuk dan kemungkinan besar jarang menghubunginya. Berpisah sebentar saja aku sudah rindu padanya, bagaimana nanti saat berada di luar selama beberapa minggu? Juga tak bisa memantau gerakannnya dari jarak jauh.

Kudengar suara ketukan di pintu. "Masuk!" kataku dengan cepat. Semoga Sandri yang datang, harapku. Namun, yang muncul di depan pintu adalah salah satu stafku. Dia ingin meminta tanda tangan dokumen yang sudah harus di-submit ke rekanan kami.

"Pak, maaf. Dokumen ini baru saja diminta, jadi saya baru serahkan ke Bapak," katanya dengan nada khawatir. Dia mungkin takut kena marah karena biasanya aku kesal jika ada dokumen susulan. Aku berpikir, mereka pasti lupa membuatnya. Dalam pekerjaan seharusnya buat list sehingga tidak ada data yang terlupa. Ini yang selalu kutekankan pada mereka. Meski terkadang ada saja data dadakan yang diminta partner kerja kami. Dan aku tidak mempermasalahkan para staf langsung datang padaku. Setelah menyodorkan dokumen, staf pria itu tetap berdiri menunggu tak jauh dari meja kerjaku. Aku menerima dokumen yang diberikannya, mengecek sebentar kemudian menandatanganinya, lalu menyerahkan kembali dokumen padanya yang disambutnya dengan raut wajah penuh kelegaan. Setelah mengucapkan terima kasih dia keluar dengan langkah tergesa. Kembali aku berkonsentrasi dengan tumpukan dokumen yang belum juga berkurang sejak tadi. Ponsel di mejaku berdering. Kulirik sebentar, nama Ferdy tertera di layar. Ada apa lagi ini? Rasa kesal pada Fery sering mencuat saat mengingat kejadian di apartemen beberapa hari yang lalu. Kuembuskan napas sebelum menanggapi teleponnya.

"Ada apa?" tanyaku ketus.

"Gue udah turunin Sandri di lobi dengan selamat, ya, Mas." Lho, jadi dia bareng Sandri? Mengapa Sandri belum juga tiba di ruanganku. Dengan cepat aku memutus telepon Ferdy dan menelpon Sandri. Dia mengangkatnya dengan suaranya terdengar di balik pintu. Aku meletakkan ponsel di meja begitu saja dan berderap ke pintu.

"Tadi sama Ferdy?"

"Iya, ketemu di tempat Rannu," jawabnya dengan nada biasa-biasa saja. Akunya yang tidak tenang. Baiknya memang aku menyediakan kendaraan khusus untuknya, walau aku tahu dia akan menolaknya dengan keras. Mendengarnya bersama Ferdy tadi, hatiku waspada. Bisa saja Ferdy mempengaruhinya hingga dia berubah pikiran dan menjauhiku. Sejak kami jadian, pikiranku kadang dipenuhi dengan praduga, bahkan dengan Ferdy sekalipun. Apalagi dia selalu mengingatkan diriku untuk menjaga Sandri. Apa maksudnya dengan peringatannya itu? Apa dia menduga aku akan merusak Sandri seperti kelakuanku dulu? Mengapa keluargaku belum juga melihat perubahan yang ada pada diriku saat ini? Apa yang harus kutunjukkan pada mereka agar memercayainya? Aku menarik Sandri ke sofa. Mending aku memeluknya, meredam rasa gelisah yang seketika menyerangku.

"Mas sudah makan?" Pertanyaan yang seharusnya kutujukan padanya lebih dahulu. Karena pikiranku dipenuhi dengan berbagai kemungkinan saat dia bersama Ferdy, sementara tanganku sibuk merangkulnya, aku lupa. Tatapan matanya yang begitu teduh selalu menghangatkan hatiku, menatapku saat wajah kami sudah tak berjarak. Seketika rasa gelisahku perlahan mengilang. Embusan napasku menerpa wajahnya seolah-olah memberi tambahan udara untuk dihirupnya. Aku merendahkan wajah, tanganku memegang kedua pipinya, menahannya dan menengadahkan tepat ke wajahku. Bibirnya yang merekah seolah mengundangku untuk menjamahnya. Lalu bibirku pun mengecupnya dengan penuh kelembutan dan dia merepons dengan sama lembutnya. Kalau tidak mengingat kami sedang berada di ruang kerjaku yang tak seorang pun akan berani menyerobot masuk tanpa kupersilakan, mungkin tanganku sudah menyentuhnya pada titik-titik yang kuinginkan. Aku tahu, tempatnya tidak memungkinkan walaupun ada sudut di ruangan kerjaku ini yang bisa kugunakan untuk beristirahat, merebahkan diri sejenak kala penat mulai menyerangku.

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang