Suhu di ruang tengah kurasakan panas dan merayapi tubuhku dengan cepat. Aku kepanasan, padahal ada pendingin ruangan yang diatur suhunya untuk memberi suasana sejuk. Papa, Mama dan Kak Dani masih terus menatapku menanti jawaban. Aku terbatuk untuk menghilangkan rasa gugup. Di umurku yang sudah dewasa ini, yang sudah pantas memiliki seorang kekasih, seharusnya tidak perlu ditanggapi seheboh ini oleh keluargaku. Mungkin karena aku baru mengalami yang namanya berpacaran, keluargaku menganggap sesuatu yang istimewa. Terlebih Mama yang sudah lama ingin melihatku mempunyai pendamping. Mungkin Mama khawatir melihatku santai-santai saja, tak pernah galau karena tidak punya pasangan. Sementara biasanya, wanita seusiaku yang sudah 25 ini, sudah risau memikirkan pernikahan. Mereka belum tahu saja prinsipku. Bagiku, pasangan tak usah dirisaukan, ntar kalau waktunya sudah tiba, akan datang dengan sendirinya. Let it flow saja, seperti aliran sungai yang mengalir hingga jauh.
Mata mereka masih terus memandangku dalam diam, menanti sesuatu dari bibirku yang masih mengatup dengan rapatnya. Aku terbatuk kembali. Mengapa aku merasa suasana jadi horor begini? Suasana yang lebih tegang dibandingkan ketika aku menghadapi dosen saat ujian akhir. Bibirku tidak memberikan jawaban, tetapi anggukan kepala saja untuk membenarkan ucapan Kak Dani tadi.
"Jadi benar kamu sudah punya pacar?" Mama mengulangi pertanyaannya. Sekali lagi aku mengangguk.
"Ya sudah, bawa ke rumah biar papa kenalan." Aduh Pa, orangnya sudah dikenal di rumah ini, kataku dalam hati.
"Harus kenalan dulu Pa, kalau perlu lulus fit and proper test juga." Duh, ini Kak Dani maksudnya apa, sih? Makin menakutkan saja. Aku pastikan, nih, kalau sampai Arion menjalani fit and proper test, bukan dari Papa saja, dari Kak Dani juga. Walaupun usia Kak Dani jauh lebih muda dari Arion.
"Jangan test-testan segala jugalah. Asal anaknya baik, sayang dan bertanggung jawab sama Sandri serta hormat sama orang tua, mama rasa itu cukup," ucapan Mama mematahkan permintaan fit and proper test Kak Dani. Mengapa aku merasa Arion seperti sudah menjadi calon suamiku, ya? Keluargaku sudah terlalu jauh berpikirnya.
"Nanti aja kapan-kapan Sandri ajak ke rumah." Aku berharap jawabanku ini sudah memuaskan semua pihak yang berada di ruang tengah dan duduk di meja makan tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Lalu kudengar helaan napas lega dari ketiganya.
***
Aku sudah bersiap sejak tadi untuk berangkat ke daerah Kuningan, tempat meeting bersama client baru. Tadi aku sudah menelpon Dita, memastikan sekali lagi jam dan tempat pertemuan kami. Biar tidak telat, aku selalu berangkat satu atau satu setengah jam lebih awal setiap ada meeting dengan client. Sifat yang suka on time itu warisan dari Papa. Selama bekerja beliau tidak pernah terlambat datang ke kantor.
Aku sudah memesan ojek online. Mungkin ada yang risih atau malu menggunakan ojek online ke gedung mewah, tetapi bagiku tidak berlaku. Asal bisa cepat dan tiba tepat waktu di tujuan, aku tidak masalah menggunakan sarana angkutan ini. Sudah beberapa kali menggunakannya dan tidak pernah kecewa dengan hasilnya. Ada ras was-was saja jika nanti kebiasaanku ini ditentang oleh Arion. Bisa saja, kan, dia merasa jenis kendaraan yang kupilih untuk beraktivitas tidak selevel dengannya. Akan lebih baik jika dia begitu, jadi ada alasan untuk melepaskan diri. Apalagi semenjak jadian, ada yang meragukannya. Belum apa-apa aku sudah berpikir terlalu jauh. Ojek online yang kupesan tak lama sudah tiba di depan pagar. Aku beranjak dari teras dan bergegas naik ke boncengan setelah memasang helm. Semoga saja hari ini lancar, harapku.
Doaku terkabul, hari ini jalanan cukup lancar. Jarak dari rumah ke daerah Kuningan sebenarnya tidak jauh, tetapi jika macet, bisa memerlukan waktu hampir sejam atau bahkan lebih. Setelah tiga puluh menit, aku sudah tiba di gedung yang megah. Sebentar, aku memperhatikan dengan saksama. Sepertinya aku familier dengan gedung yang berada di samping kanannya. Mataku mengerjap, tak salah lagi, gedung di samping kanan tersebut adalah kantor Arion. Tubuhku menegang. Kalau saja kami bertemu, ini pertemuan pertama kami setelah jadian. Harapku, semoga tidak terjadi hari ini dulu. Aku ingin fokus pada meeting kami yang beberapa menit lagi akan dimulai. Aku tergesa masuk ke lobi. Setelah ke meja resepsionis menukarkan kartu identitas, aku menelpon Dita menanyakan posisinya. Dita sudah di area parkir dan sebentar lagi menuju lobi. Aku bergeser ke sofa yang berada di sudut ruangan. Sofa yang memang diperuntukkan untuk tamu, berwarna hijau tosca dengan dua pot tanaman besar berada di samping kiri dan kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...