Malam itu, di ruang tengah, Kak Dani memberondongku dengan bermacam pertanyaan. Sesekali volume suaranya meninggi saat aku menegaskan Arion punya tujuan yang baik. Apakah mengajak diriku menjadi kekasihnya bisa disebut tujuan yang baik? Sejujurnya, aku juga belum tahu. Hanya tersisa kami berdua yang belum tidur. Baru juga berubah status beberapa jam yang lalu, sudah diinterogasi seperti ini. Kak Dani yang biasanya kalem saja melihatku atau seakan tidak peduli dengan apa yang aku lalukan, malam ini berubah sangat protektif. Mungkin juga kelihatannya saja dia nggak peduli, tetapi selalu memantauku dalam diam. Atau bisa juga karena yakin apa yang aku lakukan selama ini tidak ada yang aneh, jadi membiarkanku. Namun, malam ini sikapnya sangat jauh berbeda.
"Kamu yakin dia lelaki yang baik? Belum kenal lama, lho. Kamu harus hati-hati. Sekali lagi aku tegaskan, jangan silau dengan tampang dan hartanya, Sandri." Lagi-lagi, itu alasannya yang sudah pernah disampaikan padaku. Sepertinya Kak Dani alergi dengan pria yang punya kedua unsur yang disebutkannya tadi. Aku mencium sesuatu di baliknya. Manalah mungkin aku berbalik menginterogasinya mengenai hal itu. Tampang dan harta memang selalu menyilaukan mata kaumku. Justru bagi wanita, kedua unsur itu menjadi faktor utama dalam mencari pasangan.
"Tenang saja, Kak. Kami juga baru jadian malam ini, kok." Aku berusaha mengelak dengan kalem. Menghadapi Kak Dani, tuh, harus tenang biar jawaban yang diberikan bisa dia terima dengan baik. Selama ini, aku dan Kak Dani tidak pernah sekalipun berantem. Hubungan kami baik-baik saja, walau datar karena jarang berinteraksi. Akan tetapi, dia adalah orang yang aku andalkan saat membutuhkan bantuan.
"Tapi apa iya kamu menerima begitu saja waktu dia ngajak jadian? Apa nggak dipikirin dulu? Atau jangan-jangan karena kamu jomlo begini jadi main terima saja? Aku yakin kamu nggak begitu." Kak Dani belum menerima alasan yang kuberikan. Duh, mengapa jadi seprotektif begini, sih? Biasanya juga cuek saja. Aku tersentil dengan kata jomlo, tetapi mau bagaimana lagi memang begitulah kenyataannya. Tapi aku ini jomlo yang bahagia, kok. Yang benar? Tanganku mengusap kening, padahal nggak ada peluh di sana.
"Kak, ini kami baru pacarana, lho, bukan mau menikah. Masih panjang tahapannya. Bukan juga karena aku jomlo terus menerima begitu saja, nggak. Sama sekali nggak! Kalau ntar hubungan kami nggak cocok, ya, nggak perlu dilanjutkan. Aku tahu, kok, Kak, batasannya." Suaraku sudah mulai meninggi juga. Aku tahu pasti, pikiran Kak Dani akan mengarah ke mana. Seharusnya dia percaya padaku. Semoga suara kami tidak membangunkan papa dan mama.
"Oke, aku percaya kamu bisa jaga diri. Tapi, kalau laki-laki itu sampai nyakitin kamu, bilang ya," ucap Kak Dani penuh tekanan. Sebentar, mengapa dia sampai berpikir jauh ke sana? Menyakiti aku? Atau jangan-jangan Kak Dani sudah tahu masa lalu Arion? Setahuku mereka belum pernah bertemu. Apa Kak Arie pernah memberitahunya? Kapan? Sepertinya, sih, tidak karena kalau saja Kak Dani sudah mengetahuinya pastilah dia mengatakan padaku sebagai upaya untuk mencegah menerima Arion. Rasa penasaranku harus kuungkapkan. Kak Dani yang akan berbalik kembali ke kamarnya berhasil kucegah.
"Apa Kakak kenal dengan Arion sebelumnya? Kok, selalu curiga sama dia. Atau ada yang Kakak ketahui dengan masa lalunya?" Kening Kak Dani berkerut dalam mendengar pertanyaanku.
"Memang dia punya masa lalu yang kayak gimana? Dia suka main perempuan?" Tatapan Kak Dani menyorot tajam. Seketika aku menyesal telah menanyakannya tadi. Kupikir dia tahu atau setidaknya pernah mendengar perbuatan Arion di masa lalu. Bisa saja, kan, Kak Dani melihatnya di media sosial mengingat mantan pacar Arion adalah wanita terkenal.
"Cuma nanya aja, Kak, kali aja tahu." Aku berharap perdebatan kami usai. Namun, sepertinya belum.
"Apa kamu tahu masa lalunya?" Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Kak Dani. Ya Tuhan, aku sudah membohongi kakakku. Hal yang tak pernah aku lakukan selama kami tumbuh bersama. Alasanku tak menjawab pertanyaannya hanya karena ingin mengakhiri perdebatan ini.
"Adalah hal yang bodoh ketika kamu mengetahui masa lalunya, tapi tetap menerimanya." Aku terhenyak dengan kalimatnya. Tanpa melihatku, Kak Dani berbalik badan dan beranjak ke kamarnya.
Akhirnya perdebatan kami pun usai dengan aku terus memikirkan perkataan Kak Dani tadi. Apakah benar aku telah salah mengambil keputusan? Namun, sudut lain dalam diriku mengatakan agar aku memberikan kesempatan pada Arion yang sudah berubah dan mengubur lama masa lalunya.
Aku kembali ke kamar dan melanjutkan keingginanku untuk mandi. Kusempatkan mengecek ponsel yang sedang kuisi dayanya akibat tadi hampir sekarat saat teleponan dengan Arion. Mataku melotot melihat pesan dari Arion. Ya ampun, baru juga tadi sudah ngobrol dia masih menyusulnya dengan pesan yang mengatakan agar aku dan dia selalu menjaga komunikasi. Lha, bukannya selama ini kami sering berkomunikasi, ya? Atau ini peringatannya agar aku tak lagi non atifkan ponselku? Aku bisa menerima permintaannya yang wajar ini. Pesannya kubalas dengan satu kata oke lalu memilih mematikan ponsel seperti biasa saat jarum jam menunjukkan pukul 24.00 wib.
Setelah mandi, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tidak berniat sama sekali menyentuh pekerjaanku kembali. Sampai setengah jam aku berbaring mataku masih sulit terpejam. Mungkin karena kejadian hari ini membuatku sulit memejamkan mata. Pikiranku juga masih berkelana. Begini banget, ya, setelah punya kekasih. Bukannya lega, aku malah resah. Karena mataku masih juga belum ada tanda-tanda terpejam, kuputuskan bangun dan mengambil kertas melanjutkan konsep desain untuk Arion. Tak terasa, konsep yang kubuat selesai dan akhirnya saat mataku sudah terasa berat, aku pun menuju pembaringan dan langsung terlelap.
***
Kejadian semalam membuatku bangun agak siang. Terburu kunyalakan ponsel begitu ingat permintaan Arion tadi malam. Semoga saja dia tidak menelponku pagi tadi. Dalam bayanganku, Arion sudah gelisah kalau saja dia menelpon dan ponselku tidak aktif. Kejadian yang lalu bisa terulang. Namun, saat aku menyalakan ponsel tak ada satu pun telepon atau pesan dari Arion. Hatiku sedikit merasa lega. Walaupun Arion minta untuk menjaga komunikasi, aku berharap dia tidak seperti kekasih yang selama ini aku bayangkan. Suka mengabsen setiap hari, menanyakan sudah makan atau belum atau hal remeh lainnya. Aku paling tidak suka tipe yang seperti itu karena seperti tak ada hal lain yang lebih berbobot yang ingin disampaikan. Aku juga punya kegiatan lain dan rasanya sayang membuang waktu hanya untuk menjawab telepon atau membalas pesannya.
Keluar dari kamar aku mendapati Mama yang sudah siap pergi ke rumah Tante Elis. Aku sengaja tidak ikut dengan tujuan Mama bisa menjelaskan berdua saja dengan Tante Elis. Masalah ini sangat sensitif dan aku yakin akan memicu perdebatan keluarga. Aku tak mau menyaksikan hal itu. Lebih baik aku memikirkan kondisi Rannu saja dan berharap dia cepat pulih. Menurutku, Rannu sudah terlalu lama di rumah sakit jadi sebaiknya kami fokus memikirkan kesembuhannya. Kemudian langkah apa yang keluarga harus ambil ketika dia sudah pulih. Dia akan tinggal di mana dan apakah balik ke rumah akan menjamin traumanya bisa hilang? Hal-hal seperti ini sering banget berkecamuk di kepalaku.
"Kamu benaran nggak mau ikut ke rumah Tante Elis?" tanya Mama untuk memastikan, lebih tepatnya mungkin berharap aku berubah pikiran. "Akan lebih baik kalau kamu ikut jadi bisa langsung menjelaskan, apalagi kamu pernah tinggal di sana," lanjut Mama membujukku.
"Aku nggak usah ikut aja, ya, Ma. Baiknya aku nggak tahu apa tanggapan Tante Elis lihat luka di kepala Rannu. Nanti Sandri dengar dari Mama aja, deh." Mendengar ucapanku, Mama tak lagi bertanya dan meninggalkanku. Sebenarnya aku tidak mau ikut karena khawatir dengan tanggapan Tante Elis. Juga tidak mau ditanya-tanya mengenai kelakuan Kak Lia. Biarlah mereka menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Bagiku, menanyakan langsung akan lebih subjektif, jadi bisa membandingkan dua versi. Siapa tahu saja Tante Elis menilaiku berlebihan dalam menanggapi luka di kepala Rannu. Itu yang tidak kuinginkan. Setelah mengetahui perbuatannya pada Rannu, aku jadi malas bertemu dengan Kak Lia lagi. Meski aku harus tetap menjaga sikap kalau nanti bertemu dengannya di hari Sabtu, saat kami menjenguk Rannu.
*****
Jakarta; January 15, 2022
Protektif banget Dani, ya.
Kita tunggu saat Sandri bertemu Ferdy setelah jadian dengan Arion.
Kira-kira tanggapannya bagaimana?
Bagaimana pula tanggapan Tante Elis setelah mengetahui fakta di balik kondisi Rannu?
See you soon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...