Begitu aku menerima pesan dari Sandri yang mengabarkan jika orang tuanya bersedia menerima kedatangan keluargaku hari Rabu depan, aku langsung menelponnya mengucapkan terima kasih dan buru-buru memutuskan sambungan telepon. Aku bergegas ke kamar mandi, bersih-bersih diri dan akan menemui Opa menyampaikan hal ini. Tentu saja info dari Sandri mengakibatkan rasa bahagia meluber di hatiku. Siapa yang tidak bahagia kalau rencana besarnya mendapat sambutan. Kubayangkan cara Sandri menghadapi orang tuanya, menyampaikan niat keluarga kami padanya. Tidak mungkin semulus itu kemudian menyampaikan hasilnya padaku. Pasti ada perdebatan tadi. Hanya saja Sandri tidak menyampaikannya padaku. Aku juga tidak memperpanjang obrolan saat menelponnya tadi karena ingin cepat bertemu Opa. Berita baik ini harus aku sampaikan padanya secara langsung. Zaman sudah serba digital, tetapi Opa masih tipe konvensional. Punya ponsel keluaran terbaru, tetapi dibiarkan tergeletak di atas meja kebesarannya tak tersentuh. Jadi, jika ada hal besar yang ingin dia sampaikan atau sebaliknya, kami bertemu. Pengecualian saat kemarin dia datang bersama Mama dan Ayah. Itu tidak ada agenda sama sekali. Memang Ferdy yang ada di balik kedatangan mereka. Untuk yang ini, aku akan menyambangi Ferdy setelah urusan dengan Opa selesai.
Setelah mandi, aku mengenakan pakaian kasual saja, kaos yang melekat dengan pas bagian atas tubuhku dipadu jeans ketat yang membungkus kakiku dengan sempurna. Aku mengambil kunci mobil dan turun ke lantai basemen dengan lift yang bisa aku akses dengan cepat dari unitku. Jeep Wrangle yang selalu menemaniku mulai kukeluarkan dari lantai basemen melaju dengan kecepatan normal di jalan menuju area pusat ibu kota. Hanya tipe kendaraan seperti ini yang aku sukai dan tidak tertarik dengan tipe yang lain. Bagiku, kendaraan jenis ini sangat mewakili diriku. Mungkin aku berpikir lain jika nanti Sandri sudah menjadi istriku. Tidak mungkin aku membiarkan dia mengendarai mobil yang sangat menggambarkan citra maskulin ini.
Aku sudah tiba di depan rumah berpagar tinggi sehingga aktivitas di dalam rumah tidak terlihat dari arah luar. Begitu mobilku tiba di depan gerbang, gerbang itu membuka secara otomatis. Aku menduga security di rumah Opa telah melihat kedatanganku lewat kamera cctv. Setelah gerbang terbuka sempurna, aku membawa jipku masuk dan parkir di atas carport. Sengaja tidak memasukkan mobil ke garasi agar lebih mudah saat aku balik dari rumah Opa nanti. Jarak dari gerbang ke garasi saja sudah lumayan jauh begitu, jadi aku memilih parkir di carport tidak jauh dari pos security lebih simpel.
Boleh dikatakan, kedatanganku ke rumah Opa kali ini bisa dihitung dengan jari yang belum tembus lima jari setelah aku kembali ke Jakarta. Memang pekerjaanku sekarang adalah meneruskan usaha Opa, tetapi aku juga punya usaha yang kudirikan dari hasil jerih payahku sendiri, tabungan selama aku bekerja di Jerman. Usaha yang nantinya ingin kupercayakan pada Sandri. Wanita yang sudah menjadi kekasihku beberapa hari ini dan beberapa waktu ke depan akan menjadi istriku, sebenarnya punya insting dan skill memimpin. Hanya saja naluri pedulinya yang lebih besar dari usahanya untuk merintis karirnya, lebih berkembang dan menghambatnya. Terkadang aku gemas sama sikapnya yang satu itu, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena kalau sudah berkaitan dengan Rannu, Sandri akan melawan. Sepertinya, selain pekerjaan, aku, pikirannya juga terpusat pada Rannu.
Aku membuka pintu ruang tamu. Rumah sebesar ini seperti tidak berpenghuni saja, padahal yang aku tahu rumah ini punya asisten rumah tangga yang masing-masing bertugas untuk membersihkan, mengurus halaman, laundry dan memasak. Sejak masuk tadi, tidak ada satu pun terlihat wara-wiri. Setelah masuk lebih ke dalam, barulah aku melihat penghuni rumah. Begitu melihatku, mereka membungkuk memberi hormat.
"Sore, Pak," sapa wanita paruh baya yang sudah lama mengurus makanan yang dikonsumsi Opa. Rata-rata asisten yang tinggal di rumah ini sudah bekerja lama. Padahal yang aku tahu, Opa sangat keras dan disiplin. Namun, lihatlah, orang yang ikut dengannya bisa bertahan sekian lama.
"Sore," aku menyapa balik, lalu meninggalkannya menuju ke ruang kerja Opa. Pria yang sudah berusia lanjut, tetapi tidak suka berdiam diri saja, selalu mengisi waktunya di ruang kerja, membaca atau sesekali mengecek data yang diterima dari sekretarisnya. Walau sudah memercayai anak, menantu dan cucunya mengurus perusahaan keluarga, dia masih saja memantau kinerja perusahaan. Tak ada di kamusnya kata bersantai. Memang sudah tidak terjun langsung, tetapi dia masih saja memeriksa semua data perusahaan dengan teliti. Aku mengetuk terlebih dahulu pintu yang tertutup rapat, yang berada tidak jauh dari ruang keluarga lantai dasar.
Terdengar suara seraknya dari dalam. "Masuk!"
"Selamat sore, Opa," ucapku menyapanya. Seperti dugaanku saat ini dia sedang membaca, memang benar. Saat pintu kubuka tadi, Opa sedang duduk di balik meja kerja serius membaca sebuah buku.
"Kalau tidak ada yang penting, nggak mungkin kamu datang ke rumah orang tua ini." Ada benarnya ucapan itu karena aku memang sangat menutup diri dan bisa dikatakan menghindari interaksi dengan orang yang tidak ada hubungan kerja denganku. Jangankan mereka, aku juga menghindari interaksi dengan keluargaku.
"Opa minta aku menikah cepat, kan?" Aku sengaja memancingnya dulu, biar dia tidak menyindirku tanpa sebab. Menghadapi Opa harus ada trik khusus. Kemukakan dulu apa yang disukainya baru susupkan tujuan kita yang sebenarnya. Ini yang biasa aku gunakan kala bertemu dengannya. Dan benar, begitu aku selesai berucap tadi Opa langsung meletakkan bukunya di atas meja lalu menatapku tajam.
"Sudah ada info dari Sandri?" Wow! Aku sampai terperangah dengan pertanyaan Opa barusan. Dia menyebutkan nama Sandri. Tidak salah dengar kan, aku? Kupastikan telingaku masih berfungsi dengan baik, jadi tidak mungkin aku salah mendengar pertanyaannya. Baru kali ini, Opa menyebut nama perempuan selain nama ibuku dengan baik.
"Info dari Sandri, orang tuanya bersedia bertemu hari Rabu depan. Baiknya kita menyiapkan apa, ya?" Aku yang biasa datang ke rumah Sandri, mendadak tidak tahu harus bagaimana jika hari Rabu nanti kami ke sana. Rasanya sudah seperti menghadapi ujian akhir.
"Benar begitu?" tanya Opa tak percaya. Aku dapat melihat dengan samar kegelisahan dalam suaranya. Opa saja begitu, apalagi aku. Jangan-jangan Opa trauma dengan lamaran Ferdy dulu. Namun, aku yakin, kali ini kami tidak akan mengalami kejadian seperti Ferdy. Aku juga sudah mengenal orang tuanya, jadi setidaknya aku bisa mengandalkan hal itu. Selama aku berkunjung ke rumahnya, orang tuanya selalu menyambutku dengan baik. Minta restu untuk pacaran saja mereka langsung menerimanya. Sehingga aku sangat yakin, kedatangan kami nanti juga akan disambut dengan baik. Kami datang dengan niat baik, jadi seharusnya tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
"Tadi Sandri sendiri yang info, kok. Kalau Opa nggak percaya, telepon Sandri aja, deh," kataku meyakinkannya. Aku mengambil ponsel di saku jeans, menekan nomor satu pada layar. Pada dering kedua, barulah Sandri menjawab panggilan teleponku.
"Kenapa, Mas?"
"Opa mau bicara." Masih aku dengar kalimat terkejutnya, tetapi aku sudah memberikan ponselku pada Opa.
"Benar hari Rabu, Opa bisa bertemu orang tua kamu?" Opa langsung menanyakan tujuannya. Aku tak bisa mendengar jawaban Sandri, tetapi melihat Opa menarik sudut bibirnya, aku yakin jawaban Sandri bisa memuaskan rasa ingin tahunya.
"Oke, kami datang jam tujuh, ya. Siapkan makan malam yang enak buat Opa." What?! Astaga! Ini mau datang meminta anak orang, lho. Mengapa Opa malah minta dimasakin, sih? Apa kata orang tua Sandri nanti? Duh, Opa. Kok, ya, ada-ada saja.
"Kok, Opa malah minta dimasakin?" kataku kesal. Yang benar saja permintaan Opa kali ini.
"Nggak apa, toh. Opa sudah pernah makan masakan kamu, jadi kali ini Opa mau tahu masakan Sandri," katanya tanpa merasa bersalah. Aku menepuk keningku dengan kesal. Duh! Maunya, tuh, kami memikirkan sesuatu yang akan dibawa sebagai buah tangan saat bertandang ke rumah Sandri. Opa malah menyuruh Sandri menyiapkan makan malam. Terkadang aku tidak paham dengan isi kepala Opa.
*****
Jakarta; February 26, 2022
Ada-ada aja, ya, Opa.
Hehehe....
Yang pasti Sandri bakalan kelimpungan, nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...