PACU #74 Arion Pov - Tak Ada Waktu Untukku?

362 54 3
                                    


Dua hari ini Sandri road show ke rumah orang tuaku dan aku merasa waktu untukku tersisih. Tentu saja ini membuatku tidak bisa menyalurkan rasa rinduku padanya. Rasa rindu yang kian hari kian menggigit hingga nyaris tak bisa kuatasi. Di rumah Papa bahkan Sandri diminta menginap yang ditolaknya dengan halus karena besoknya akan ke rumah Mama. Di apartemenku saja boro-boro dia mau menginap, tinggal sampai jam sepuluh malam saja dia sudah mulai gelisah. Kalau aku menahannya alasannya macam-macam, mau lanjutin kerjaanlah, ntar kemalam dan nggak enak bangunin orang tuanyalah, yang aku tahu ini hanya alasan saja agar tidak berlama-lama dengan diriku yang bisa lepas kendali saat bersamanya. Tapi, kan, aku masih kangen padanya. Apa iya aku tidak bisa berduaan sebentar saja sama calon istriku? Mama juga sama, menahannya sampai hampir jam sembilan tadi. Dari mulai memilih wedding dress sampai menyusun nama-nama yang akan diundang. Menurutku, sih, urusan itu bisa sambil berjalan saja, tapi Mama ngotot harus selesai malam ini. Aku frustrasi. Kayaknya sebentar lagi aku sekarat kalau tidak memeluknya dalam sehari. Jadi dengan memasang tampang orang sekarat, sorot mata kubuat dengan penuh rasa memohon dan suaraku yang merengek, Sandri memenuhi permintaanku untuk mampir sebentar di tempatku.

Tiba di apartemen, dari mulai memarkir mobil di lantai basemen sampai naik ke unitku kulakukan dengan terburu-buru. Langkah Sandri sampai tersaruk-saruk mengikuti gerakanku. Rasanya sudah tidak sabar ingin memeluknya. Pergerakan lift yang sudah seperti itu sejak aku tinggal di apartemen ini kurasakan sangat lamban. Lalu, saat tiba diunitku setelah menekan beberapa nomor pada panel pintu pun terbuka. Aku menarik Sandri masuk dan mendorong pintu dengan menggunakan siku. Belum juga pintu menutup sempurna aku sudah memeluk dengan erat wanita yang beberapa hari ke depan sudah sah menjadi istriku. Dengan tidak melepaskan pelukan aku menggeser tubuh kami hingga terjatuh di sofa ruang tengah, tempatku biasa mencumbunya kala dia bertandang. Aku mulai mengeksplore wajahnya dengan bibirku lalu mengulum dengan cepat bibirnya yang selalu terlihat indah dan manis di bibirku. Kugigit kecil bibirnya agar membuka jalan lidahku masuk. Napasnya mulai tersengal, wajahnya memerah. Aku menarik lidahku dan kembali mengulum bibir ranumnya kemudian menarik wajahku agar dia bisa meraup udara. Maafkan Sayang, ini darurat. Darurat rindu yang harus kusalurkan.

"Kangen banget," kataku dengan sorot mata penuh hasrat padanya.

"Aku juga kangen, Mas," sahutnya yang membuat hasratku kian menggelora. Kami bisa lepas kendali kalau begini. Jemarinya yang lentik menyusuri rambut-rambut halus yang kubiarkan di sekitar rahangku. Lalu kuambil jemari itu, kumasukkan dalam mulutku. Bahkan jemarinya pun mengapa terasa sangat nikmat begini? Sandri hanya memperhatikan diriku mengulum jarinya. Matanya juga sudah berkabut. Dia wanita dewasa jadi aku paham, jika gejolak hasrat dalam dirinya juga sedang menggelak saat ini.

Selesai mengulum jarinya, aku kembali memeluknya erat. Tanganku kemudian mulai membuka satu per satu kancing blousenya dengan tidak sabar. Napas kami mulai memburu. Aku selalu terpukau melihat bagian dadanya yang indah. Kubuka bagian yang tertutup itu lalu mulai mengulum puncaknya. Sandri mulai merintih. Selain mengulum, tanganku yang bebas memilin puncak yang lain.

"Mas, stop!" pintanya memohon yang tidak kuhiraukan. Telingaku seolah tuli dan hanya fokus dengan benda kenyal yang menjadi favoritku.

"Mas, ntar ada yang sakit lagi," ujarnya dengan suara parau. Telat, si dia di bawah sana sudah mengeras. Aku menegakkan kepala.

"Sudah sakit ini," tunjukku pada bagian yang sudah mendesak di balik jeans yang kukenakan.

"Makanya jangan mancing dong. Kan, sakit lagi." Matanya mengarah ke bagian pangkal pahaku. Aku ikutan menatap adikku yang pasti sudah meronta ingin dibebaskan dan merasakan kembali tangan halusnya.

"Disembuhin lagi, ya, Sayang," bujukku yang dibalasnya dengan membulatkan bola mata indahnya. Aku tahu, ini permintaan gilaku yang kedua kalinya setelah di kantor siang itu. Tetapi mau bagimana lagi, ini darurat. Sandri hendak mengaitkan kembali bra yang tadi kulepas, tetapi aku mencegahnya. Aku sangat suka melihat bagian yang terekpos itu.

"Ntar aku masuk angin lho, Mas," protesnya yang kubalas dengan tertawa. Akhirnya aku membiarkan ia menutup kembali bagian yang sangat memanjakan mataku itu. Kadang aku merasa sangat bersalah padanya karena telah mengajarkan hal yang aneh-aneh selama beberapa hari ini. Harusnya aku bisa menahan diri, akan tetapi segala hasrat yang sudah kupendam lama bergelora kembali kala bersamannya. Hanya saat bersamanya. Sekali lagi, maafkan Sayang.

Tanpa aku minta, tangannya sudah mengarah ke bagian pangkal pahaku untuk meredakan adikku yang sudah kejepit di balik jeansku. Buru-buru aku membuka zipper dan menurunkan sedikit jeansku agar tangannya leluasa menyembuhkan si dia. Mataku terpejam merasakan sentuhan lembutnya. Aku hampir saja tertidur karena keenakan.

"Mas, aku balik, ya. Sudah jam sepuluh." Sandri sudah menarik tangannya begitu adikku dengan penuh perjuangan akhirnyat tertidur kembali.

"Jangan dulu, aku masih kangen ini. Ntar aku telepon Ibu, deh." Kangenku belum sepenuhnya hilang. "Aku buatin waffle ya. Mau?"

"Boleh, sambil kita bahas desain punya Mas, ya." Sandri setuju.

Kami bergeser ke pantri. Aku bergerak cepat menyiapkan bahan untuk membuat waffle yang selalu ada di kulkas. Makanan ini paling sering menemaniku saat aku masih saja berkutat dengan perkerjaan yang kubawa pulang. Tidak butuh waktu lama, waffle dengan toping madu telah kuhidangkan di island. Sembari menikmati waffle kami membahas desain yang telah dia buat untukku.

"Sayang, ini semua bagus banget. Aku jadi bingung milihnya." Aku tidak sekadar memuji, karena faktanya memang begitu. Calon istriku yang cantik, penuh ide dan penyayang ini sangat brilliant dalam hal desain. Tiga alternatif yang diberikannya semua aku suka. Sandri juga memberikan catatan alasan pemilihan unsur muatan lokal di dalamnya. Ada baiknya aku diskusi dengan direksiku untuk menentukan desain mana yang akan kami gunakan. Walaupun outlet kami menjual salah satu brand luar, tetapi desain ruangannya haruslah mencerminkan budaya lokal. Kami menjualnya di Indonesai, maka wajar dong kalau ada unsur lokal di dalamnya.

"Pilih salah satu aja. Setelah itu aku baru lanjutin gambar detailnya."

"Oke, aku bawa dalam meeting aja biar yang lain bisa ikut pilih. Kalau sudah ada yang terpilih, aku info." Agenda ini akan aku tambahkan dalam meeting di hari Senin nanti. Diskusi pekerjaan di pantri seperti ini serasa kami sudah menikah saja. Mungkin begitu kalau kami sudah tinggal satu atap, tidak terpisah lagi yang membuat rasa rindu selalu menyerangku tanpa ampun.

"Sayang, nanti kita punya anak yang banyak, ya, biar nggak kesepian," kataku tiba-tiba yang sukses membuatnya tersedak. Tergesa aku mengambil minum dan menyodorkan padanya. Aku hampir saja membuat calon istriku sakit.

Mengapa aku ingin memiliki anak yang banyak, karena selama ini aku merasa kesepian. Masa kecil kulewatkan dengan orang tua yang bercerai. Kemudian saat mulai dewasa, aku dibuang ke luar negeri. Balik ke Jakarta, aku lebih memilih tinggal sendirian di apartemen dan menjauh dari keluarga. Jadi aku belum merasakan hidup dalam satu keluarga yang utuh. Ini sangat jauh berbeda dengan Sandri. Dia hidup dalam keluarga yang harmonis sehingga membentuk karakternya yang peduli dan penuh kasih sayang. Sementara aku, bertemu dengan keluarga sendiri saja aku kaku dan kadang merasa asing. Akhir-akhir ini saja aku dekat dengan keluarga, itu juga karena sebentar lagi aku akan menikah. Tidak dekat juga kupikir, karena ketika mereka mengetahui hubunganku dengan Sandri dan Opa memintaku cepat-cepat menikah. Thanks to Ferdy.

"Mas mau punya anak berapa, sih?" Sandri menanyaiku dengan kerutan di kening. Kupastikan dia bingung dengan pertanyaanku tadi.

"Lima aja kali, ya."

"Hah?!" Lalu dia terbatuk dengan hebohnya. Kembali tanganku menyodorkan gelas berisi air minum yang tadi sudah diteguknya setengah.

"Iya, Sayang. Jadi ntar kami bisa main basket three on three." Perkataanku dihadiahinya dengan pukulan keras di tanganku. Aku tertawa.

"Mas, tuh, enak banget ngomongnya. Aku yang susah, lho." Benar juga. Dia yang akan terbebani selama sembilan bulan. Belum lagi kalau ada masalah dengan kehamilan, ngidam dan lainnya.

"Yang pasti harus lebih dari satu, ya, Sayang." Aku menawarkan jalan damai yang akhirnya disetujui oleh Sandri. Deal masalah anak.

*****

Jakarta; March 23, 2022


Duh, sabarlah Arion! Sebentar lagi kalian resmi, lho.

Tolong ... jagalah Sandri!

Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang