Suara ketukan di pintu bersamaan dengan suara sekretarisku di baliknya, yang memohon maaf karena telah menghancurkan kegilaanku tadi. Aku mendengkus dan berteriak memintanya masuk setelah memastikan Sandri telah merapikan pakaiannya. Sudah benar peringatan Sandri, ini masih di kantor. Bisa saja ada hal yang mendesak yang harus segera diinfokan kepadaku. Akan tetapi, tadi kan aku sudah berpesan agar tidak ada yang mengganggu selama sejam saja. Satu jam saja, tetapi mengapa sangat sulit mengambil waktu jeda? Kalau tidak ada hal yang mendesak, mana mungkin sekretarisku dengan berani mengetuk pintu. Pasti ada sesuatu, pikirku.
Saat membuka pintu, bukan hanya Ina—sekretarisku—saja yang masuk, melainkan ada wanita lain yang mengikutinya setelah pintu terbuka. Di usianya menjelang senja dia masih saja terlihat cantik dan anggun. Tubuhnya juga masih tampak segar. Aku jadi berpikir, mengapa Papa sampai berpisah dengannya? Apa yang kurang padanya? Dia, Ibu yang sangat menjalani perannya dengan baik. Memang dia sibuk karena menjalankan bisnis keluarga, meskipun demikian dia masih menyempatkan diri untuk keluarga. Aku memang sangat dekat dengan Papa, tidak berarti, aku tidak dekat dengannya juga. Dialah sosok Ibu yang telah melahirkan diriku. Tak lama, Opa menyusul di belakangnya. Lho, ada apa ini? Ina sudah mengundurkan diri sejak Mama dan Opa masuk ke ruanganku. Kulihat Sandri berdiri dalam kebingungan melihat kehadiran mereka.
"Biar mama tebak, ini Sandri, kan?" Mama tak peduli dengan keberadaanku di ruangan dan malah berjalan mendekati Sandri. Sejak pintu terbuka tadi, mata Mama hanya memperhatikan Sandri. Mungkin saja dia lupa kalau ada aku—anaknya di ruangan ini juga. Mata Sandri menatapku nanar. Aku sangat tahu maksud tatapannya. Namun, aku memberikan isyarat agar dia tenang saja. Hal yang berbeda dilakukan Opa. Matanya yang sangat tajam itu, sepertinya aku mewarisi mata ini dari Opa, menatap Sandri dengan rasa ingin tahu. Sesekali matanya mengerjap seakan ingin memastikan penglihatannya. Kepalanya dia miringkan sedikit sembari memperhatikan Sandri dengan lekat. Belum usai aksi kedua orang ini, pintu yang tadinya sudah menutup kembali terbuka. Sosok lelaki tinggi dan gagah masuk, menghampiriku dan menekan pundakku. Dia yang selama ini aku panggil dengan sebutan Ayah—suami Mama yang baru. Aku mencium konspirasi di balik kedatangan mereka. Ini pasti ulah Ferdy. Lalu kami berdua berdiri berdampingan memperhatikan aksi Mama dan Opa.
"Iya, Tante," suara Sandri terdengar. Suara yang biasanya tegas kini nyaris berbisik. Pasti dia tidak pernah menduga akan bertemu keluargaku secepat ini. Aku pun jadi merasa bersalah padanya. Memang aku sudah berencana mengenalkan Sandri pada keluargaku, akan tetapi sepertinya mereka yang lebih dulu datang memperkenalkan diri pada Sandri. Berarti masih tersisa tiga orang lagi keluarga terdekatku yang belum mengenalnya, Papa, Ibu—istri Papa dan Temi—adikku.
Tanpa aku duga, Mama langsung memeluk Sandri dengan erat. Opa mengelus rahangnya masih dalam diam. Sejak masuk tadi, dia sama sekali belum berbicara. Bahkan menegurku pun tidak. Naluri Opa dalam menilai sesuatu sangat kuat. Itulah mengapa bisnisnya tetap lancar bahkan kami merencanakan merambah bisnis digital karena aku menggilai dunia IT. Matanya belum lepas dari Sandri. Sepertinya dia sedang menilai kriteria wanita yang sudah menjadi kekasihku itu. Lalu dia berdeham. Aku waspada dan tubuhku menegang. Ayah berbisik agar aku tenang saja dan tak perlu khawatir berlebihan. Dia menjamin semua akan baik-baik saja.
"Nggak usah cemas. Opa kalau mau kenal sama seseorang, kan, begitu," ucapnya di telingaku. Memang benar, Opa selalu seperti itu kala diperkenalkan dengan orang baru. Mungkin sudah nalurinya begitu. Lalu Ayah menambahkan,
"Waktu pertama ketemu Opa dulu, ayah sampai kebelet, lho, saking tegangnya." Bisa jadi, sih, apalagi Opa pasti tidak menginginkan ada perceraian lagi di kemudian hari. "Dia hebat, sampai saat ini masih bisa berdiri," lanjut Ayah sambil mengarahkan matanya pada Sandri. Dalam hati aku bersyukur, akhirnya Opa bertemu wanita tangguh seperti Mama yang tidak gentar hanya dengan tatapan tajam. Opa belum tahu aja, aku kadang menurut apa kata Sandri. Seandainya dia tahu, entah apa tanggapannya. Bisa jadi dia mengatakan akhirnya aku kena karma. Opa berdeham sekali lagi, tapi kali ini lebih keras.
"Kenapa peluk anak orang terus, sih. Kapan aku kenalan sama dia?" Refleks Mama melepas pelukan eratnya pada Sandri mendengar pertanyaan Opa. Mama tidak pernah menanyakan kapan aku menikah, tetapi melihatnya sangat senang pada Sandri, aku menduga di kepalanya sudah tersusun berbagai rencana. Dan aku pastikan salah satunya adalah pernikahan.
"Sini, duduk dekat Opa," pinta Opa pada Sandri. Aku sampai menahan napas tak mengerti sambutan Opa padanya. Apakah dia sudah menerima Sandri? Namun, matanya sudah tidak menatap Sandri dengan tajam. Aku sedikit bernapas lega. Dia juga menyebut dirinya dengan sebutan yang biasa kami sematkan padanya. Sepertinya dia memang sudah menerima Sandri. Sandri beringsut lalu duduk di samping Opa.
"Apa benar pria di sana itu mencintai kamu?" Kali ini jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya mendengar ucapan Opa. Telunjuknya tepat mengarah padaku. Tubuhku kembali menegang. Begini banget, ya, cara Opa mengenal calon istri cucunya. Ayah terbatuk, sementara Mama hanya menatapku kasihan. Aku masih menunggu respons Sandri atas pertanyaan Opa. Sejak Opa bersuara tadi, matanya sudah tidak menatapku lagi, melainkan mengalihkan pendangannya dengan serius pada Opa.
"Iya, Opa," jawabnya dengan suara yang sudah tidak berbisik lagi. Sepertinya Sandri sudah bisa mengendalikan dirinya di hadapan keluargaku, walau masih ada raut cemas di wajahnya.
"Kamu juga mencintainya?" suara berat Opa terdengar kembali. Pertanyaannya kali ini membuat perutku berulah. Semoga saja aku tidak seperti Ayah, kebelet karena tegang. Benar-benar situasinya seperti di ruang sidang. Aku yang sangat jarang berinteraksi dengan keluarga merasa serba canggung. Sandri yang ditanya, tetapi aku yang berdebar. Aku masih saja berdiri tidak jauh dari meja kerjaku dengan Ayah yang berada di sampingku. Setelah melepas pelukannya pada Sandri tadi, Mama duduk tepat di depan sofa panjang yang saat ini diduduki oleh Opa dan Sandri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
Aku melihat Sandri menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan sebelum berkata,
"Saya mencintainya."Aku mengembuskan napas kuat-kuat, merasa lega dengan jawabannya yang tegas itu. Mata Opa membulat sempurna saat Sandri mengucapkan kalimat tadi.
"Oke, kalian menikah bulan depan," ucap Opa dengan santai. Tak ada lagi tatapan matanya menyelidik curiga memindai Sandri dengan saksama. Matanya sudah tersenyum sempurna. Namun, giliran mata Sandri terbelakak terkejut dengan ucapan Opa. Hal itu wajar saja menurutku. Aku saja kaget apalagi dia.
"Akhirnya, mama akan punya mantu juga," ujar Mama dengan heboh. Ayah tersenyum lega. Tiga orang di ruangan ini gembira, sementara aku dan Sandri masih shock. Aku yang sudah merencanakan akan melamarnya sebelum berangkat ke US dalam suasana romantis langsung lenyap tak berbekas karena Opa. Namun, jauh di lubuk hatiku aku ikut bahagia. Inilah yang kuinginkan beberapa hari ini, menikah dengannya secepat mungkin.
"Ngapain kamu di situ? Sini, kita bicarakan rencana pernikahan ini," ujar Opa padaku. Aku melonggarkan dasiku yang tadi seakan mencekik leherku lalu melangkah mendekat ke Opa. Ayah juga sudah duduk di single seater yang berdekatan dengan Mama. Kemudian empat orang itu menatapku lurus. Lha, mengapa seolah aku yang ingin diadili begini? Sandri juga, kenapa ikut-ikutan menatapku seperti itu? Aku terbatuk kecil. Setelah aku duduk, kembali Opa mengeluarkan pertanyaan yang sukses membuat Sandri tersedak oleh ludahnya sendiri.
"Kapan kami akan bertemu orang tua kamu?" Duh, benar-benar kedatangan Opa yang tak biasa kali ini telah meruntuhkan semua imaginasiku dan Sandri. Ayah dan Mama tersenyum mendengar pertanyaan Opa. Kupastikan mereka juga sama tidak sabarnya dengan Opa untuk bertemu orang tua Sandri.
"Opa kenapa datang bikin heboh, sih?" Aku protes. Opa menanggapi protes yang kulontarkan dengan tertawa.
"Biar kamu cepat nikah dan kasih opa cucu." Begitu jawab Opa. Sandri pun terbatuk dengan kuatnya saat Opa selesai berbicara. Mama dengan cepat mengulurkan tisu. Wajahnya sampai merah dan genangan di kelopak matanya tampak jelas. Aku melompat ke sisinya dan menepuk-nepuk dengan lembut punggungnya. Aku sangat kasihan padanya. Memang aku ingin cepat menikah, tetapi tidak begini juga caranya. Untung saja Sandri tidak punya riwayat penyakit jantung. Coba kalau ada, bisa kena serangan dia. Aku mengusap wajahku dengan kasar.
*****
Jakarta; February 21, 2022
Opa bikin heboh aja, ya.
Hahaha....
Enjoy your Monday.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...