Sampai jam tujuh malam, belum ada tanda-tanda Arion ingin berpamitan. Aku sudah mengarang beberapa paragraf kalimat agar dia cepat angkat kaki dari rumah. Akan tetapi, sepertinya dia memang seteguh batu karang. Terlebih lagi setelah Papa kembali dari rumah temannya, Arion terlihat gembira karena pasti akan mendapat teman ngobrol. Benar saja, begitu Papa masuk dan melihat Arion, Papa langsung menyalaminya dengan senang hati. Sepertinya memang Arion telah diterima di rumah ini. Apakah sikap Papa maupun Mama nanti akan berubah saat tahu latar belakang Arion? Latar belakang yang sampai saat ini masih berusaha aku dapatkan.
"Kok, baru nongol lagi, nih, Nak Arion? Lagi sibuk pastinya, ya?" Cara Papa menyapanya seolah Arion sudah sering ke rumah. Ah, Papa. Mengapa harus seramah itu, sih, padanya? Belum tahu saja Papa, pria sangat menawan itu sudah mengancam akan menembus benteng pertahananku. Pria keras kepala!
"Iya Om, lagi banyak kerjaan. Kebetulan ada waktu dan Sandri sudah beberapa hari ini nggak bisa saya hubungi, jadi saya sekalian mampir Om." Aduh! Mengapa harus ngomong kalau dia tidak bisa menghubungiku? Setelah ucapan Arion berakhir, Papa langsung menoleh padaku.
"Ponsel kamu kenapa? Kok, Nak Arion nggak bisa hubungi kamu?"
"Sengaja Sandri matiin Pa, lagi mau fokus sama kerjaan."
"Nggak boleh gitu Sandri. Gimana kalau ada info penting? Diaktifkan aja. Kalau memang kamu nggak mau terganggu, ponselnya di silent, kan, gampang toh. Nanti, kalau sudah nggak sibuk baru balas telepon atau pesan." Malah aku yang diceramahin Papa perkara ponsel. Kulirik Arion dengan sorot mata setajam pedang. Dia tersenyum padaku dengan jailnya, karena aduannya diterima Papa. Ampun deh pria ini.
"Iya Pa." Dalam hati aku mengutuk perbuatannya. Sepertinya hari ini aku jadi malas melanjutkan desainku. Kuhela tubuhku masuk ke dalam untuk membuatkan Papa minuman. Di dapur Mama sudah sibuk menyiapkan makan malam. Dipastikan Arion akan ikut makan malam bersama kami. Aku hanya bisa menghela napas, karena pastinya tidak akan bisa mencegah yang satu ini.
"Ntar ajak Arion makan malam, ya, San." Tuh kan, benar. Baru juga dipikirkan, sudah kejadian. Serasa ingin mengacak-acak rambut seseorang untuk melampiaskan rasa kesal.
Minuman untuk Papa telah selesai aku buat dan membawanya ke ruang depan dengan wajah yang berusaha kukembalikan senormal mungkin—tidak cemberut. Coba saja aku ke ruang depan dengan wajah cemberut, alamat Papa akan memberikan ceramah lagi. Kenapa juga penghuni rumah ini, kecuali Kak Dani, berubah jadi ramah pada orang yang baru berkunjung dua kali? Punya jampi-jampi tidak, sih, si Arion itu? Pikiranku jadi ngelantur. Aku meletakkan minuman buat Papa di meja dan menyeret kakiku kembali ke dapur. Setidaknya aku terbebas menemani Arion ngobrol setelah kedatangan Papa.
Mama memintaku menata meja makan. Kemudian mengambil beberapa lauk yang sudah siap di dapur menaruhnya di meja makan. Setelah semua siap, Mama menyuruhku memanggil Papa dan Arion ke meja makan. Aku tuh setengah hati memanggil Arion, tetapi tentu saja tidak secara terang-terangan. Bisa-bisa aku kenah marah lagi.
Papa dan Mama masing-masing duduk di kepala meja sementara aku duduk berhadapan dengan Arion.
"Jangan sungkan, ya, Nak Arion. Anggap seperti di rumah sendiri." Itu suara Mama.
"Makasih Tante."
Aku yang terakhir menyendok nasi ke piring, mengambil lauk lalu makan dalam diam. Bibirku sangat enggan berinteraksi, jika suasananya sudah seperti ini. Papa, Mama dan Arion malah asyik melanjutkan obrolan di meja makan. Aku beberapa kali menghela napas. Sepertinya kehadiranku sudah tidak berarti di mata mereka.
"Sandri ...?"
"Eh .... Ya, Pa?"
"Makan, kok, sambil melamun. Nggak baik itu." Duh, sampai ditegur Papa lagi. Entahlah wajahku sekarang seperti apa. Arion yang duduk di depanku hanya menatapku tanpa ekspresi. Aku tahu, Arion sering melihatku dengan kening berkerut seolah ingin mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam isi kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasti Ada Cinta Untukmu (complete)
RomanceAku dan Rannu adalah saudara sepupu yang sangat dekat. Usia kami sebaya. Ibuku dan ibunya Rannu bersaudara. Aku adalah tempat Rannu berbagi keluh kesah. Dia merasa berbeda dengan saudaranya dan berpikir mungkin dia hanya anak angkat. Apa yang dikerj...