𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓
karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel.
dito aulian adam, berondong lovers, 2022
-
Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bu oliv pas mikirin dito
•
Sudah berbagai posisi Olivia coba untuk bisa memejamkan mata. Mulai dari tengkurap, telentang, miring kanan, miring kiri, menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Namun, semua itu tak berhasil membuatnya menyelami alam mimpi.
Pikiran Olivia dipenuhi dengan Dito. Sejak kepulangan mereka tadi, Olivia terus memikirkan Dito. Segala hal tentang pemuda itu. Dan yang paling membuat Olivia kepikiran adalah ungkapan rasa suka Dito terhadapnya. Walaupun Dito sudah mengklarifikasinya bahwa hal itu hanyalah sebuah candaan, namun Olivia yakin bahwa Dito sungguh-sungguh mengatakan itu. Olivia dapat merasakan bahwa Dito benar-benar menyukainya.
Namun, bukan itu yang menjadi kekhawatiran Olivia saat ini. Melainkan dirinya sendiri. Olivia bahkan merasa senang ketika Dito mengatakan bahwa dia menyukainya. Bukankah seharusnya Olivia khawatir? Olivia malah mempertanyakan perasaannya. Apakah iya dia juga menyukai Dito? Seharusnya tidak, karena Dito sama sekali bukan lelaki impiannya. Namun, hatinya seolah berkhianat ketika otaknya selalu memikirkan pemuda itu.
"Ini kenapa, sih? Oliv ... inget! Dito itu murid lo! Lo nggak boleh suka sama dia!" Olivia menegaskan itu pada dirinya sendiri. Benar, dia tak boleh menyukai Dito. Apalagi sampai mereka menjalin sebuah hubungan. Itu tak akan berakhir dengan baik. Rentang usia mereka cukup jauh. Dito masih terlalu kecil.
***
Saat jam istirahat, seharusnya kantin yang menjadi tempat ramai oleh para murid-murid yang kelaparan. Namun, hari ini berbeda. Lapangan basket mendadak menjadi lautan manusia ketika Dito dan Afi kembali berkelahi. Kejadian berawal dari kelas Dito yang sejak jam pertama memiliki jadwal pelajaran olahraga. Melewati lapangan basket, Afi yang tak sengaja terkena bola yang Dito lemparkan marah. Hubungan mereka belum membaik setelah perkelahian mereka sebelumnya, dan kini kembali terjadi konflik di antara keduanya.
Lagi-lagi, Afi membawa nama Anjani untuk mempermalukan dan menjatuhkan mental Dito. Dan Dito tak akan pernah diam saja ketika nama Mamanya diseret-seret untuk masalah seperti ini.
Dan perkelahian mereka tak bisa terhindar setelah beberapa saat beradu mulut. Murid-murid lain yang berada di lapangan tak bisa berbuat apa-apa ketika keduanya berkelahi. Karena baik Afi maupun Dito akan menyerang mereka yang berusaha melerai. Pun Raihan dan Ibnu yang merupakan teman dekat Dito.
Kemarahan sudah terlalu masuk ke dalam diri Dito, tanpa ampun dia memukuli Afi yang bahkan kini sudah terkulai tak berdaya di atas lantai beton. Pemuda itu terlentang dengan lebam di seluruh wajahnya, juga beberapa tetes darah di atas lantai. Dito, masih setia menghujani wajah dan tubuh Afi dengan pukulan. Menduduki perut Afi tanpa mempedulikan Afi yang sudah berteriak minta ampun.
"Bodoh! Kalau mati gimana?"
Dito tersungkur ke samping begitu Raihan mendorong tubuhnya. Pemuda itu berteriak marah melihat kelakuan Dito. Afi sendiri langsung diselamatkan oleh beberapa siswa, dijauhkan dari Dito yang mungkin akan kembali menghakimi Afi.
Terduduk di atas lantai, Dito menatap Raihan penuh rasa marah. Afi belum mendapat ganjaran yang setimpal atas kata-kata kurang pantas yang dia layangkan ke Mamanya. Membuatnya babak belur tentu saja tak cukup.
"Apa urusan lo?" katanya nyolot.
"Kalau mati gimana? Gue tanya!" Raihan tak bisa bersikap halus sedikit pun. Menghadapi Dito yang keras harus dengan cara yang keras pula.
"Dia mati atau enggak, lo nggak usah peduli. Dia siapa?" tantang Dito dengan sorot mata penuh kebencian.
"Mau jadi pembunuh? Lo pikir hebat?" Raihan semakin emosi. Sementara Ibnu mencoba untuk membubarkan kerumunan yang masih berada di sekitar mereka.
"Dia ngehina Mama gue sampai segitunya, Han. Lo pikir gue terima? Harga diri Mama gue di mana?" tanya Dito tak habis pikir.
"Harga diri Mama lo, atau harga diri lo? Lo egois!" bentak Raihan lagi.
"Kenapa jadi nyalahin gue, sih? Yang salah dia!"
"Lo juga salah. Kenapa harus sampai kayak gini? Seharusnya lo nggak usah ladenin dia."
Dito menatap Raihan tak percaya, lalu perlahan bangkit dan berdiri di hadapan Raihan. Menatap lekat-lekat ke dalam mata sahabatnya itu.
"Kalau Mama lo yang gila, dikata-katain sama orang lain, apa lo bakal diem aja? Apa lo nggak bakal ngeladenin dia? Kalau lo jadi gue, lo bakal ngelakuin hal yang sama, Han! Bahkan lebih!" hardik Dito.
Raihan terdiam mendengar itu. Sorot kesakitan di mata Dito membuatnya tak lagi ingin mengatakan hal-hal yang semakin membuat sahabatnya itu sakit.
"See? Lo nggak bakal bisa jawab. Karena apa? Mama lo nggak gila! Keluarga lo sempurna! Lo nggak bakal tahu rasanya jadi gue!" bentak Dito untuk yang terakhir kali. Setelahnya, Dito membalikkan badan dan melangkah pergi menjauhi Raihan dan Ibnu yang sejak tadi hanya melihat perdebatan mereka.
"Lo nggak bisa nempatin diri lo sebagai orang yang paling menderita di dunia ini, Dit. Nggak cuma lo orang yang nggak bahagia!"
Sampai ucapan Raihan membuat langkah Dito sempat berhenti, sebelum akhirnya kembali berjalan dengan segala pikiran yang berkecamuk di otaknya.
***
Dito menatap malas ke arah kepala sekolah yang kini duduk di hadapannya. Di sampingnya ada Nadia yang telah dipanggil oleh kepala sekolah setelah apa yang dia lakukan kepada Afi. Tak hanya ada mereka berempat. Olivia yang sejak tadi berada di ruang BK duduk di kursinya, mendengar obrolan mereka tanpa mau ikut campur. Raihan dan Ibnu juga turut hadir untuk menjadi saksi atas apa yang telah Dito lakukan.
"Setelah mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan Dito, dengan sangat menyesal kami pihak sekolah mengembalikan Dito kepada Anda. Kami mohon maaf, Bu."
Semua yang berada di ruangan itu terkejut mendengar ucapan bapak kepala sekolah, terkecuali Dito yang sudah memprediksi hal ini akan terjadi.
"Pak, saya mohon berikan satu kesempatan lagi buat Dito. Saya janji Dito tak akan berbuat hal seperti ini lagi, Pak." Nadia angkat bicara, mencoba merayu pria itu agar tak mengeluarkan Dito dari sekolah.
"Maaf, Buk. Tak hanya sekali dua kali Dito melakukan hal seperti ini. Pihak sekolah harus bisa menjaga keamanan siswa-siswi kami yang lain," kata bapak kelapa sekolah dengan menyesal.
"Ta—"
"Udah lah, Tante. Nggak usah belain saya. Toh saya sekolah apa nggak, bukan urusan Tante. Pak, karena saya udah resmi di DO, saya permisi."
Dito memotong ucapan Nadia, lalu berbicara pada bapak kepala sekolah dan berdiri untuk keluar dari ruangan itu. Dito sama sekali tak melihat ke arah Ibnu dan Raihan, begitu pula Olivia yang tampak terkejut dengan sikapnya.
"Dito!" panggil Nadia mencegah Dito pergi.
"Biar kami yang ngejar, Tante," kata Ibnu lalu menarik tangan Raihan keluar dari ruangan itu.
"Maaf, Pak Haris ... mungkin saya bisa memberi tahu beberapa hal yang memungkinkan Bapak berpikir ulang tentang mengeluarkan Dito dari sekolah."
Olivia yang sejak tadi hanya diam pun angkat bicara. Pak Haris menatap Olivia, mengangguk mempersilakan Olivia untuk berbicara.