94. Selamat Tinggal

244 8 0
                                    

“Kok Regina lama banget, sih?“ Dito berbicara sendiri. Terhitung sudah lima belas menit Regina meninggalkan kursinya. Kekasihnya itu tak pernah selama ini jika pergi ke toilet. Dia khawatir.

“Apa Regina sadar tentang Oliv, ya? Ah, mana pakai keceplosan segala lagi,” katanya lagi menyalahkan dirinya sendiri.

Dia kemudian mengambil ponselnya, berniat menghubungi Regina alih-alih menyusulnya ke toilet. Baru saja ingin mengetik pesan, tiba-tiba Dito menoleh ke arah lain ketika menyadari ada seseorang yang memperhatikannya.

“Olivia?“ lirihnya menatap perempuan yang begitu dia hapal. Dia tak sendiri, ada pria yang sangat dia benci ikut serta. Dari tempatnya duduk, Dito bisa melihat keduanya seperti sedang berdebat.

Beberapa saat memperhatikan, Dito mendapati Irgi yang menatap ke arahnya. Selanjutnya, pria itu tersenyum miring ketika pandangan mereka beradu. Dia lantas menarik tangan Olivia untuk pergi dari sana.

“Anjing! Kasar banget, sih, tuh cowok?“ marah Dito bangkit dari duduknya. Dia kemudian menyusul kedua orang itu keluar dari restoran. Tak lupa, dia juga mengirimkan pesan kepada Regina agar perempuan itu pulang terlebih dahulu.

“Sialan banget, sih? Mau ke mana coba ngebut-ngebut gini?“ Dito tak membiarkan mobil Irgi di depannya hilang. Dia mengikuti mobil itu dengan menjaga jarak aman. Dia tak ingin ketahuan. Niatnya hanya untuk melihat apa yang akan pria itu lakukan kepada Olivia.

Melihat betapa kasarnya Irgi kepada Olivia, Dito tak merasa nyaman membiarkan keduanya berduaan. Dito masih ingat bekas tamparan Irgi di rumah sakit kala itu, dan dia masih marah.

“Kok ke rumah, sih?“

Dito kembali bertanya-tanya. Mobilnya dia parkirkan tepat di depan rumah bertingkat dua yang dia yakini milik Irgi. Tampak jelas bahwa pria itu berlaku kasar ke Olivia dengan menyeretnya paksa keluar dari mobil.

Tak bisa dibiarkan, Dito harus memberi pelajaran kepada pria itu. Lelaki itu akhirnya turun dari mobil. Sebelum memasuki rumah itu, Dito mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Raihan dan Ibnu. Dia membagikan lokasinya agar kedua temannya bisa menyusulnya ketika nanti ada apa-apa dengannya.

Rumah itu tak dikunci. Dito dapat dengan mudah untuk masuk. Lelaki itu langsung berjalan menuju tangga, mengikuti arah suara Olivia yang terus berteriak ketakutan. Dito berlari, hingga dia sampai di sebuah kamar yang terkunci, yang dia yakini ada Olivia di dalamnya.

“Buka, Anjing! Lo ngapain Oliv, sih?“ teriak Dito marah. Kakinya secara brutal menendang pintu itu agar terbuka. Jeritan Olivia secara langsung membuat kemarahannya kian menjadi.

“Gi! Gelud kita ayo! Jangan jadi laki-laki brengsek!“ Dito kembali bersuara. Dia masih mencoba mendobrak pintu itu. Dia semakin tak kuasa ketika dari dalam kamar Olivia memanggil namanya.

“Di—Dito … tolongin aku!“ Olivia memekik. Dito hampir hilang akal. Tak peduli lagi dengan tangannya yang sangat sakit, Diro terus mencoba merobohkan pintu itu.

Kemudian, usahanya tak sia-sia. Pintu itu akhirnya terbuka dan dia langsung menerobos masuk. Amarah sudah menguasainya ketika sampai di dalam. Apalagi, ketika dia melihat Olivia terbaring di atas kasur dengan bajunya yang robek di bagian pundak. Dito semakin ingin membunuh Irgi sekarang juga.

“Anjing!“

Pukulan keras Dito layangkan ke pria itu. Berhasil, Irgi terhuyung sampai terduduk di lantai. Menyeka darah di sudut bibirnya, Irgi tersenyum mengejek menatap Dito.

“Bangun lo, anjing!“ marah Dito menarik kerah baju Irgi.

“Bajingan! Nggak punya otak! Kenapa lo ngelakuin hal menjijikan kayak gini, sih?“ teriak Dito hilang kesabaran. Dia memukuli Irgi tanpa ampun, sampai-sampai pria itu terbatuk-batuk.

Dito tak peduli lagi jika pria itu mati. Dia siap menanggung akibatnya untuk Olivia. Namun, teriakkan Olivia yang memintanya untuk berhenti tiba-tiba menghentikannya. Lelaki itu menoleh ke arah Olivia yang duduk di kasur dengan selimut yang membungkus tubuhnya.

“Oliv …,” lirihnya kemudian melepas jaketnya. Lelaki itu langsung memakaikannya kepada Olivia dan memeluk perempuan itu erat.

“Dito … takut,” adunya terisak keras.

“Tenang, Liv. Ada aku,” gumamnya menatap tajam Irgi yang sudah tak sadarkan diri di lantai.

“Kita pergi dari sini,” katanya kemudian membopong tubuh Olivia dan membawanya pergi dari sana.

***

“Liv, udah ya, diem! Nggak apa-apa, kamu udah aman.“

Dito mendudukkan Olivia di ranjangnya, dia sendiri langsung bersila duduk di hadapan perempuan itu. Olivia sudah berganti pakaian dengan bajunya. Irgi yang tadi tak sadarkan diri di rumahnya sudah ditangani oleh Raihan dan Ibnu.

Tangan lelaki itu mengusap pipi Olivia yang penuh air mata. Hatinya sangat sakit melihat Olivia yang sejak tadi tak berhenti menangis.

Olivia tak menanggapi Dito. Dia terus saja menunduk. Dia begitu malu untuk sekadar menatap mata Dito. Hal itu sangat menyiksa Dito.

“Liv, ka—”

“Dit! Kamu di dalem, ya?“

Ucapan Dito terhenti. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamarnya yang sudah dia kunci. Itu suara Regina. Mendesah di dalam hati, Dito merutuki kedatangan Regina yang tiba-tiba.

“Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku mau bicara sama Regina,” ucap Dito mengusap kepala Olivia.

Sebelum bangkit, dia menyempatkan diri untuk mengecup dahi Olivia singkat. Dia langsung keluar dari kamarnya dengan membuka pintu seminim mungkin agar Regina yang di luar tak melihat kehadiran Olivia di dalam kamarnya.

“Gin? Maaf banget, ya. Aku harus buru-buru pulang tadi,” ungkap Dito merangkul bahu Regina dan membawanya ke ruang tamu. Dia harus menjauhkan kekasihnya itu dari kamarnya.

“Enggak apa-apa, Dit. Aku ke sini mau ngomong sesuatu sama kamu,” akunya enggan duduk di sofa, padahal Dito sudah mempersilakannya.

“Mau ngomong apa?“ tanyanya penasaran. Dia ingin sekali segera mengakhiri obrolan ini agar Regina cepat pergi.

“Aku tahu semuanya,” ungkapnya menatap Dito lekat, disusul dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Maksud kamu apa, Gin? Tahu apa?“ Dito tak mengerti. Dia takut jika yang Regina maksud adalah tentang hubungannya dan Olivia.

“Tentang kamu sama Olivia,” terangnya lagi.

Benar dugaan Dito. Dia mendesah, lalu memegang tangan Regina. “Gin … aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nutupin semua in—”

“Dit!“ Regina menyela. Dia memegang pipi Dito. Lelaki itu tak bisa berkata-kata, dia merasa sangat bersalah ketika melihat wajah sedih Regina.

“Ayo kita putus!“ ajaknya yang semakin membuat lidah Dito keluh.

Di sisi lain, Olivia memasuki kamar mandi setelah Dito meninggalkannya di kamar seorang diri. Perempuan itu menyalakan shower, lalu duduk di lantai dengan tangis yang tak kunjung berhenti sejak tadi.

Olivia marah, dia juga merasa malu. Dia menganggap dirinya telah kotor karena perbuatan Irgi yang melecehkannya. Ucapan Irgi pun terus terngiang di kepalanya. Yang mengatakan bahwa Dito tak akan mau menerimanya lagi setelah ini.

Olivia takut. Bagaimana jika Dito benar-benar akan meninggalkannya? Dia harus apa? Dia tak memiliki tempat untuk pulang selain Dito. Apakah benar kisah cintanya dengan Dito akan berakhir seperti ini?

“Aku nggak pantes buat kamu, Dit,” gumamnya menjambaki rambutnya sendiri. Dia tak lagi peduli dengan kepalanya yang sakit, atau tubuhnya yang menggigil karena dingin.

Kemudian, tiba-tiba mata Olivia melihat sebuah botol sabun yang tak jauh darinya. Mengambilnya, Olivia kemudian menjatuhkannya sampai botol berbahan kaca itu pecah.

Dengan tangan gemetar, Olivia mengambil salah satu pecahan yang paling besar. Matanya terpejam ketika ujung kaca yang tajam itu perlahan menggores pergelangan tangannya. Rasa sakit itu tak dia indahkan. Malah, dia tersenyum di detik-detik terakhir kesadarannya. Darah segar pun mengucur keluar, yang langsung bercampur dengan air shower yang terus menghujaninya.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang