54. Terbongkar?

156 14 0
                                    

Ibnu terduduk di lantai kamarnya. Sudut bibirnya sedikit robek karena serangan tiba-tiba yang dia terima. Di atas ranjang, Eca duduk bersandar dengan tatapan kesal yang dia layangkan ke pelaku utama penyerangan Ibnu, Dito.

Dito sendiri kini berdiri dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tangannya bersedekap. Tatapan tajam dia layangkan ke Ibnu yang kini malah asyik bermain ponsel tanpa mengindahkan keberadaannya.

Setelah Rintan memberi tahu Dito bahwa yang tengah tidur di kamar Ibnu adalah Eca, Dito kesal. Dia langsung membangunkan Ibnu dan memukulnya. Beruntung Eca dengan sigap melerai mereka. Ketiganya kini hanya terdiam. Eca dan Ibnu dengan perasaan kesalnya kepada Dito. Sementara Dito, dia menunggu penjelasan dari Ibnu dan Eca yang sama-sama tak kunjung membuka suara.

“Ini bener-bener nggak ada yang mau jelasin?“

Dito menghela napas kesal. Dia lelah menunggu. Ingin sekali dia menghajar Ibnu sekali lagi.

“Mau jelasin apa, sih, Kak? Kak Di—”

“Lo diem, Ca! Biar dia yang ngomong!“ potong Dito menatap tajam Eca. Gadis itu pun membalas tatapan Dito tak kalah tajamnya.

Ibnu meletakkan ponselnya di atas ranjang. Kepalanya mendongak untuk melihat Dito yang menampilkan wajah kusut. Ketika hendak berbicara, bibirnya terasa perih. Tangannya pun menyeka sedikit darah yang tiba-tiba keluar.

“Kak Ibnu, berdarah!“ panik Eca hendak turun dari ranjang. Namun, gelengan Ibnu membuat niatnya urung. Dia memilih kembali terdiam seraya memperhatikan Ibnu.

“Lo mau penjelasan gimana?“ tanya Ibnu. Dia mengakui bahwa dia salah karena telah tidur di satu ranjang dengan Eca. Walaupun tak sengaja, dia tak memiliki pembelaan apa-apa.

“Ya kenapa Eca bisa di sini, terus kenapa lo peluk-peluk dia juga waktu tidur!“ tuntut Dito yang membuat Eca terkejut.

“Kak Ibnu peluk aku? Serius?“

Bukannya kesal, Eca malah terlihat sangat gembira. Hal itu semakin membuat Dito ingin memaki adiknya itu.

“Ca! Yang bener aja, deh!“ keluh Dito.

“Oke, Dit. Gini … tadi Eca ke sini habis hujan-hujan. Terus pingsan. Ya udah, gue tudurin di kamar gue. Te—”

“Kan lo bisa telfon gue. Gue bisa jemput Eca. Emang cari kesempatan lo ya!“

Dito memotong penjelasan Ibnu. Ibnu hanya diam, namun tangannya kembali mengambil ponselnya kemudian berdiri. Pemuda itu menunjukkan layar ponselnya ke arah Ibnu.

“Buta mata lo, Dit? Gue kirim pesan dari dua jam yang lalu, anjing!“ makinya masih mencoba bersabar.

Melihat itu, Dito mengecek ponselnya. Benar, Ibnu memang menghubunginya dua jam yang lalu. Ibnu memintanya untuk menjemput Eca dan meminta untuk mengabari orang tua Eca agar tak khawatir. Ya, Dito memang salah karena tak mengecek ponselnya. Namun, itu bukan berarti Ibnu bisa bebas memeluk-meluk Eca ketika gadis itu tertidur, kan?

“Ya sori. Tapi kenapa lo meluk-meluk adik gue, Nu? Modus banget!“ cibirnya.

“Gue ketiduran, Dit. Gue nggak sadar. Gue pikir guling,” sahutnya.

“Alasan!“

Eca tak bisa tinggal diam. Gadis itu akhirnya berdiri di antara kedua pemuda yang saling berhadapan itu. Dia mendongak, menatap Dito.

“Kak Dito … plis, ya! Nggak usah lebay! Kak Ibnu nggak ngapa-ngapain aku, kok. Lagian kalau diapa-apain aku juga nggak apa-apa, malahan seneng!“ ucap Eca yang membuat Dito membulatkan matanya. Benar, Eca sudah sinting.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang