Jam enam pagi, masih terlalu pagi bagi sebagian murid untuk berangkat ke sekolah. Tak terkecuali Eca. Gadis berkuncir kuda itu sudah berdiri tepat di depan gerbang sekolahnya. Hari ini dia diantar oleh Papanya seperti biasa. Dengan senyum ceria yang selalu dia tunjukkan, Eca menyalami tangan Papanya yang berdiri di samping mobil, di hadapan Eca.
“Masih sepi, Sayang. Nggak apa-apa?“ tanya pria itu sedikit khawatir meninggalkan putrinya seorang diri di sekolah yang masih terlihat sepi. Hanya ada satu dua murid yang terlihat.
Melihat raut wajah khawatir yang Papanya tunjukkan, Eca mengembangkan senyum semakin lebar. Merasa sangat disayangi oleh Papanya.
“Temen-temen Eca udah pada dateng jam segini, Pa. Papa nggak usah khawatir!“ katanya menenangkan. Tentu saja dia berbohong. Mana ada teman-temannya pagi-pagi seperti ini sudah berangkat ke sekolah?
“Ya udah, kalau gitu Papa tinggal, ya. Harus belajar yang rajin. Bekalnya jangan lupa dimakan, oke?“ Pria itu memberikan nasihat, juga menunjuk kotak bekal yang sejak tadi Eca pegang. Bekal itu pagi-pagi tadi sudah disiapkan oleh Mamanya.
“Siap, Bos! Aku masuk, ya, Pa! Dahh!“
Eca berlari memasuki pekarangan sekolah setelah berpamitan dengan Papanya. Gadis itu berjalan dengan sedikit berlari dan melompat. Senyumnya pun terus mengembang kendati tak ada orang yang dia temui saat ini. Sangat wajar, suasana hati gadis itu tengah baik.
Tujuannya saat ini adalah menuju kelas Ibnu. Tak ada hal lagi di dunia ini yang membuatnya semangat di pagi hari seperti ini selain Ibnu. Dia sengaja meminta Papanya untuk mengantarnya pagi-pagi seperti ini hanya untuk memberikan sarapan untuk Ibnu secara diam-diam.
Benar, bekal yang Mamanya siapkan untuknya akan dia berikan kepada Ibnu. Dia tak ingin memberikannya langsung, maka dari itu dia ingin berangkat pagi. Ini adalah langkah awal yang tepat untuk mendekati pemuda itu.
“Ah, Kak Ibnu pasti suka banget sama nasi goreng buatan Mama,” gumamnya menatap kotak bekal yang kini dia bawa.
Sejak pertama kali melihat Ibnu, Eca sudah menyukainya. Pun sampai kini, rasa suka yang gadis itu miliki semakin menggebu-gebu. Apalagi, kemarin dia baru saja diberi tahu oleh Dito mengenai nama panjang Ibnu. Dito juga memberi tahu Eca bahwa Ibnu sangat suka makanan pedas. Untuk itu, pagi tadi dia meminta Mamanya untuk memasak nasi goreng ekstra pedas. Eca berpikir bahwa Ibnu akan menyukainya.
“Semoga aja Kak Ibnu belum dateng,” harap Eca ketika sudah berdiri di depan kelas Ibnu. Pintu kelas yang masih tertutup rapat membuat Eca yakin bahwa belum ada murid yang datang.
“Kak Ibnu, pacarmu datang, nih!“ teriak Eca sambil membuka pintu.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum. Dia langsung memasuki ruang kelas yang kosong itu. Kakinya berjalan ke meja belakang, tempat Ibnu biasa duduk. Tak sulit bagi Eca untuk mengetahui tempat duduk Ibnu. Dia punya Dito yang merupakan orang dalam.
“Lah, gila banget gue. Kapan coba bisa teriak kayak tadi waktu banyak orang? Ah, nggak sabar banget jadi couple goals di sekolah ini!“ heboh Eca dengan kepala yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan masa depan bersama Ibnu.
“Kak Ibnu, semoga kamu suka, Oke? Rebecca … makasih nasi gorengnya, ya!“ ocehnya lagi. Dia membayangkan Ibnu akan berterima kasih atas nasi goreng yang dia berikan pagi ini.
“Dari sekian banyak orang, cuma kamu yang manggil aku Rebecca, Kak! Ah, kiyowo sekali!“
“Eca, sadar Eca! Jangan gila, Kak Ibnu bakal malu kalau pacarnya gila! Oke, deh, aku taruh di sini, ya, Kak!“
Eca meletakkan kotak bekalnya ke atas salah satu meja. Di atas meja itu banyak sekali coretan nama Ibnu dan Raihan. Eca yakin, mereka sering bertukar tempat.
Setelahnya, Eca membuka tasnya. Gadis itu mengeluarkan secarik kertas dan pena. Lalu, stiker yang berbentuk karakter salah satu kartun. Setelah menulis sesuatu di kertas itu, Eca menempelkannya di atas kotak bekal itu dengan stiker yang dia persiapkan sebelumnya.
***
“Han, tumben nggak telat!“
Raihan, pemuda yang berjalan dari arah parkiran itu membalikkan badannya untuk melihat Ibnu yang baru saja menyapanya.
“Senin, Nu. Males dihukum gue kalau nggak ikut upacara,” katanya membalas.
“Gue pikir mau ngerjain PR.“
Ucapan Ibnu yang sejatinya biasa saja membuat langkah Raihan terhenti. Pemuda itu menatap sahabatnya dengan terkejut.
“Ada PR? PR apa, Nu? Bu Oliv, ya?“ tebaknya.
“Lupa gue, di jam terakhir pokoknya ada PR. Nggak sengaja tadi pagi sekilas lihat chat grup kelas,” sahut Ibnu tak peduli.
“Susah banget berteman sama orang yang sama-sama goblok gini,” gerutu Raihan mempercepat langkahnya meninggalkan Ibnu.
“Han, tungguin gue!“ teriak Ibnu menyusul Raihan.
Keduanya telah sampai di dalam kelas. Belum banyak murid yang datang, hanya ada sekitar tujuh murid di kelas. Raihan adalah orang pertama yang menyadari adanya hal yang tak biasa di atas meja yang Ibnu tempati.
Pemuda itu berjalan cepat menuju meja Ibnu dan melihat kotak bekal yang berada di sana.
“Itu apa, Han?“ tanya Ibnu ingin tahu.
Jika biasanya dia tak terlalu suka mencampuri urusan orang, kini beda cerita ketika Ibnu menemukan sesuatu di atas mejanya. Itu bisa jadi berhubungan dengannya.
“Buat Kak Muhammad Ibnu Sirin, dari Rebecca yang cantik jelita tiada tara melintasi cakrawala sepanjang masa. Anjir, Nu! Ini apa? Bhuakhakaha—nama lo sejak kapan jadi Ibnu Sirin gini?“
Raihan tak bisa menahan tawanya ketika membaca tulisan di atas kotak bekal itu. Bisa-bisanya makanan itu ditujukan untuk seorang tokoh dalam sejarah.
“Apaan, sih?“
Ibnu merebut kertas yang Raihan pegang. Matanya pun turut membulat setelah membaca tulisan Eca di sana.
“Hah? Ibnu Sirin? Cantik jelita tiada ta—wah, gila banget tuh cewek!“ ujar Ibnu tak habis pikir.
“Nggak kuat gue, Nu!“ sahut Raihan duduk di kursinya dengan memegangi perutnya.
“Gue yang lebih nggak kuat, Han,” celetuk Ibnu.
“Nggak kuat kenapa?“ heran Ibnu.
“Gue punya salah apa sampai anak kecil yang ngerepotin kayak dia suka sama gue sampai segininya?“ Ibnu berkata dengan frustrasi.
“Lah, Eca cantik gitu. Lo aja yang bodoh,” maki Raihan.
“Lo dibawain apa? Gue buka, ya?“ lanjutnya lagi meminta izin. Tangannya bersiap untuk membuka kotak bekal itu, namun dengan cepat Ibnu merebutnya.
“Nggak. Lo nggak ada hak buat buka ini!“ larang Ibnu.
“Lah, modelan kayak lo nggak mungkin nerima gitu aja pemberian Eca. Daripada lo buang, biar gue makan.“
“Nggak bakal gue buang,” balasnya.
“Lah, terus?“ Raihan menatap Ibnu heran.
“Mau gue kasih balik ke Rebecca.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Romance𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...