75. Ujian Cinta

109 7 0
                                    

Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Ibnu. Pelajaran olahraga di sekolah tadi mengharuskannya berlari mengelilingi lapangan sekolah. Setelah sampai di rumah, dia harus mengantarkan pesanan ayam goreng karena kurir di kedainya sakit.

Alhasil, setelah pukul tujuh tadi dia sudah terlelap di kamarnya. Ayah, Bunda bahkan Kakaknya pun tak berani mengganggu tidur pemuda itu. Namun, sangat sial. Ponsel yang sebelumnya dia gunakan untuk bermain game, berdering di tengah tidurnya yang sangat nikmat.

Sempat diabaikan oleh Ibnu beberapa kali, akhirnya pemuda itu meraih ponselnya yang sama sekali tak mau diam.

Rebecca. Nama gadis itu terpampang nyata di ponsel Ibnu. Untuk apa malam-malam seperti ini gadis itu menelfonnya? Padahal, ini sudah pukul sepuluh malam. Apakah Eca tak memiliki sopan santun?

Bisa saja rasa kesal Ibnu mendorong dirinya untuk mengabaikan panggilan dari Eca. Namun, tangan Ibnu seolah berkhianat ketika dia akhirnya menjawab panggilan gadis itu.

“KAK IBNU KOK LAMA BANGET ANGKATNYA?“

Bahkan, Ibnu belum membuka mulut untuk menanyai alasan Eca menelfonnya. Namun, gadis itu sudah lebih dahulu mengomel dengan teriakan yang membuat Ibnu sontak saja menjauhkan ponselnya dari telinga.

Pemuda itu mendengkus. “Kenapa, sih? Gila lo ya?“ omel Ibnu balik. Pemuda itu memeluk gulingnya erat seraya meletakkan ponselnya di atas telinga.

“Kak Ibnu … hiks!“

Mata Ibnu terbelalak. Pemuda itu mendadak bangkit dari posisinya tidur kemudian terduduk di atas ranjang. Isak tangis Eca sukses membuatnya terkejut sekaligus khawatir.

“Lo kenapa? Kenapa nangis?“ panik Ibnu tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia tak panik ketika malam-malam seperti ini Eca menelfonnya dengan keadaan menangis?

“Kak Ibnu di mana sekarang? Hiks … Kak Ibnu tidur, ya?“ tanya Eca di sela tarikan ingusnya.

“Enggak, Rebecca. Gue di rumah, enggak tidur. Kenapa, sih? Lo di mana?“ Ibnu bertanya lagi. Dia sangat penasaran dengan kondisi gadis itu saat ini. Entah mengapa, beberapa hari ini Eca selalu memenuhi pikirannya.

“Aku di rumah, Kak. Hiks … Ka—”

“Halo, Rebecca? Halo?“

Ibnu menjauhkan ponselnya kemudian menatap layar itu. Sambungan telefon mereka tiba-tiba diputus secara sepihak oleh Eca. Mengetahui hal itu, Ibnu semakin khawatir saja. Segala pikiran negatif memenuhi kepalanya. Jujur, dia takut terjadi sesuatu kepada Eca.

Mengesampingkan badannya yang sangat lelah dan malam yang kian larut, Ibnu akhirnya bangkit dan meraih jaket serta kunci motornya. Dia tak bisa diam saja tanpa melakukan apapun sementara pikirannya penuh tanya akan kondisi Eca. Karena terlalu khawatir dan terburu-buru, pemuda itu tak sadar bahwa ponselnya tertinggal dan masih tergeletak begitu saja di atas kasur.

Sementara itu, di rumahnya Eca sangat kesal karena Dito tiba-tiba merebut ponselnya dan memutus sambungan telefonnya dengan Ibnu. Gadis itu mendengkus, menatap marah Dito yang malah tertawa terbahak. Ketika dia mencoba lagi untuk menghubungi Ibnu, tak ada jawaban dari pemuda itu. Hal itu membuat Eca sangat frustrasi.

“Kak Dito! Kak Ibnu pasti marah, nih! Kenapa nyebelin banget, sih?“ murka gadis itu seraya mengusap air matanya kasar. Dito yang duduk di sebelahnya pun hanya menjulurkan lidahnya untuk mengejek Eca.

“Lo bikin Ibnu khawatir, Ca. Kenapa telfon Ibnu sambil nangis-nangis, sih?“ omel Dito memberi tahu adiknya itu.

“Ya enggak apa-apa, dong, Kak! Kan aku mau berbagi cerita sedih,” katanya cemberut.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang