Tetesan air hujan yang kian lama semakin membasahi pakaiannya tak membuat Dito beranjak dari posisinya bersimpuh di depan sebuah pusara. Tanah pekuburan dan taburan bunga di hadapannya membuat perasaanya kian sakit. Apalagi ketika membaca sebuah nama yang tertera di nisan. Mengingat fakta bahwa di hadapannya, wanita yang paling dia cintai telah tiada. Cinta pertamanya, kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Lelaki itu tak bisa menghentikan tangisnya. Dia menunduk sembari mengingat kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lewati bersama. Di kanan dan kirinya, Ibnu dan Raihan tetap setia mendampingi sahabatnya itu.
Bagaimana mereka bisa pergi jika Dito tengah terpuruk seperti ini? Bisa dikatakan bahwa ini adalah saat terberat di hidup Dito. Mereka pun tak peduli lagi dengan hujan yang semakin turun dengan derasnya.
“Dit … ayo pulang!“
Ibnu kembali bersuara, membujuk Dito untuk pulang setelah membiarkannya beberapa saat. Langit semakin menghitam, angin juga berhembus kencang. Dia takut Dito akan jatuh sakit nantinya.
“Nanti, Nu. Gue masih pengin di sini,” balas Dito tanpa mau menatap Ibnu sedikit pun.
Ibnu menghela napas berat, kemudian menatap Raihan yang juga terlihat putus asa. Mereka tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk Dito. Sementara itu, di tempat yang berbeda, di bawah sebuah pendopo yang tak jauh dari sana, Eca dan Anggun tengah memperhatikan tiga lelaki itu dengan khawatir.
“Lo berdua pulang dulu aja, gue nanti,” kata Dito setelahnya.
“Tap—”
“Nggak usah khawatirin gue.“
“Ya udah, gue tungguin lo di sana sama Eca sama Anggun. Jangan lama-lama, ya,” pesan Ibnu menepuk bahu Dito pelan. Setelahnya, dia menyeret Raihan yang enggan meninggalkan Dito seorang diri di sana.
“Kak Dito tetep nggak mau, ya, Kak?“ Eca menjadi yang pertama menanyai ketika Raihan dan Dito sampai.
Gelengan yang kedua lelaki itu berikan membuat Eca dan Anggun mendesah kecewa. Kemudian, Eca merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Dia memberikannya kepada Ibnu.
“Kalau pakai ini, bisa enggak?“ tanya Eca lagi.
Ibnu meraihnya, membaca pesan yang setengah jam yang lalu dikirim oleh Papa Dito, Lukman. Tanpa berkata apapun, Ibnu langsung kembali menghampiri Dito. Dia menerobos hujan dengan berlari.
***
Keluar dari mobil Ibnu, Dito langsung berlari masuk ke dalam rumah sang Papa. Bahkan, Papanya yang berada di ruang tamu bersama Alana dan beberapa kerabatnya yang datang melayat tak dia hiraukan. Kakinya menjajaki anak tangga satu per satu untuk sampai ke sebuah kamar di lantai dua.
Ketika membuka pintu kamar tersebut, Dito bisa melihat seorang perawat wanita yang mungkin seusia Mamanya, juga Nadia dan Olivia yang terbaring di ranjang.
“Ma … katanya Oliv udah sadar?“ Dito bertanya ke Nadia dengan tatapan heran.
Ketika Papanya mengirimkan pesan mengenai Olivia yang sudah siuman, dia langsung bersedia pulang meninggalkan makam Mama kandungnya, Anjani. Namun, dia bingung ketika melihat Olivia masih memejamkan matanya seperti saat ini.
“Udah, Sayang. Oliv baru aja tidur lagi, habis minum obat,” jelas Nadia yang pada akhirnya membuat Dito bernapas lega.
“Kamu ganti baju dulu, gih! Mama yang jagain Oliv di sini,” titah Nadia setelahnya. Dia mengusap kepala belakang Dito penuh kasih sayang.
Lelaki itu tak mengatakan apapun. Dia langsung keluar dan masuk ke kamarnya untuk mandi. Setelah beberapa saat, Dito kembali masuk ke kamar itu. Dengan baju hangat yang kini dia pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Romance𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...