"Pelan-pelan, Nu!"
Dito memukul bahu Ibnu ketika sahabatnya itu menekan keras luka di pelipisnya dengan menggunakan handuk yang berisi batu es. Saat ini, mereka sudah kembali ke apartemen Dito setelah beberapa saat tadi ketiganya bertengkar dengan geng Bastian dan berakhir dengan adu jotos yang membuat wajah mereka babak belur.
"Lo harusnya mandiri kayak gue gini, biar nggak nyusahin temen," cibir Raihan yang saat ini memegang cermin seraya berupaya mengobati lebam-lebam di wajahnya sendiri. Sementara Ibnu tak memiliki luka sebanyak Dito dan Raihan.
"Bacot banget lo," sarkas Dito.
"Eh, tadi Beni parah loh lo pukulin, Han," timpal Ibnu mengingat salah satu teman Bastian yang turut bergabung dengan pertengkaran mereka. Yang mana dia memiliki luka paling parah karena Raihan memukulinya membabi buta.
"Nggak peduli gue. Siapa suruh macem-macem sama gue." Raihan berucap tak acuh.
"Kalau nggak salah Bastian ketua Bad Liar nggak, sih?" tanya Dito kemudian. Seperti yang diketahui, Bad Liar adalah nama sebuah geng yang beranggotakan empat orang dari keluarga kelas atas. Anggotanya meliputi Bastian, Beni, Revan dan Elio. Dulu, mereka sangat terkenal ketika SMP.
"Bad Liar udah bubar. Elio ke luar negeri, terus Revan musuhan sama Bastian sama Beni," jelas Ibnu yang memiliki info lebih mengenai geng itu.
"Kok lo tahu, sih?" tanya Raihan menimpali.
"Nicho, sepupu gue yang di Bima Sakti kan deket sama Bastian, dia suka cerita," papar Ibnu menjelaskan apa yang dia tahu.
"Keren juga sepupu lo punya orang dalem," kelakar Dito mengambil alih handuk berisi batu es dari tangan Ibnu. Kini dia beralih duduk di atas sofa, bergabung bersama Raihan dan meninggalkan Ibnu sendiri di tepi ranjang.
"Saran gue, ini terakhir kalinya kita berurusan sama Bastian, sih. Papanya mafia," saran Ibnu menatap kedua sahabatnya sungguh-sungguh. Dia tak ingin menempatkan kedua sahabatnya di posisi sulit jika mereka harus berurusan dengan Bastian.
"Yang mafia kan Papanya, Nu. Kenapa jadi kita yang ribet?" Raihan kembali menyahut, yang membuat durinya mendapat pukulan di bahunya oleh Dito.
"Ya dia punya kuasa, bodoh! Kita bisa nggak aman kalau berurusan sama dia!" semprot Dito tak tahu lagi dengan jalan pikiran Raihan yang terlalu dangkal.
"Udah lah! Nggak usah dibahas! Gue kesel banget lihat wajah songongnya, apalagi dia sok berkuasa banget," ungkap Raihan menunjukkan raut wajah tak suka.
"Lebih baik lo buruan ke rumah sakit, Nu!" titah Dito.
"Gue anterin."
Tanpa menunggu persetujuan Ibnu, Raihan sudah bangkit dari duduknya. Pemuda itu mengambil jaketnya dan segera melapisi kausnya. Hal itu juga dilakukan oleh Ibnu, mereka bersiap-siap untuk ke rumah sakit.
"Hati-hati, ya! Besok gue ke rumah sakit nengokin bokap lo!" pesan Dito setelah melepas pelukan Ibnu.
"Makasih ya, Dit," ungkap Ibnu tulus. Dito mengangguk, lalu membiarkan Ibnu dan Raihan keluar dari kamarnya.
Dan kini, selepas kedua sahabatnya pergi, Dito seorang diri di kamar. Pemuda itu duduk di sofa hanya untuk menatap layar televisi yang sepenuhnya menampilkan warna hitam.
"Kangen banget sama Bu Oliv," gumamnya lalu tersenyum sendiri selayaknya orang gila.
***
Dito tahu bahwa Olivia pagi tadi diantar oleh Papanya. Untuk itu, siang ini dia berdiri di gerbang bagian depan, menunggu Olivia untuk dia tawari tumpangan. Hal ini sudah dia rencanakan sejak pagi. Siang ini dia ingin kembali mencoba mendekati Olivia dengan cara mengantarnya pulang.
Sudah sekitar sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi, namun Olivia belum kunjung terlihat. Dan Dito tak menyerah begitu saja, dia yakin Olivia masih berada di area sekolah. Menunggu Olivia di tengah terik matahari seperti ini dia anggap sebagai perjuangan.
Dan akhirnya, waktu yang dia habiskan untuk menunggu Olivia tak sia-sia. Penantiannya membuahkan hasil ketika Dito melihat sesosok perempuan dengan setelan jas formalnya berjalan ke arahnya, tepatnya menuju ke luar sekolah.
"Bu Oliv!" panggil Dito menampilkan senyuman lebar. Olivia yang merasa dipanggil pun mendekat ke arah Dito. Kini, keduanya sudah saling berhadapan di depan gerbang sekolah.
"Kenapa, Dit?" tanya Olivia menanyakan tujuan Dito memanggilnya.
"Pulang bareng saya, ya?"
Tanpa basa-basi busuk sedikit pun, Dito langsung mengatakan tujuannya kepada Olivia. Tentu saja, senyum merekah tak luntur begitu saja dari wajahnya. Berbeda dengan Olivia yang memasang wajah bingung mendapat tawaran mendadak seperti itu oleh Dito.
"Saya bisa pesen taksi, Dit. Kamu nggak perlu repot-repot nganterin saya," ungkap Olivia menolak halus tawaran Dito.
"Belum pesen, kan?" tebak Dito langsung.
Olivia menggeleng sebagai jawaban. "Belum."
"Ya udah, pokoknya Bu Oliv saya anterin. Saya ambil motor dulu, Bu Oliv tunggu sini, ya! Sebentar aja." Dito berucap tanpa bantahan, pemuda itu akhirnya pergi dari hadapan Olivia menuju parkiran meninggalkan Olivia yang mau tak mau harus menunggu kedatangan Dito kembali.
"Ada-ada aja sih bocah itu," gumam Olivia tanpa sadar tersenyum.
Sembari menunggu Dito, Olivia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia jarang sekali melihat situasi sekolah setelah pulang sekolah seperti ini. Dia lebih sering langsung pulang ketimbang berada di sekolah lebih lama.
Tak sengaja, pandangan Olivia tertuju pada tiga siswa berseragam berbeda dari seragam SMA Virgo, sedang berjalan menuju ke arahnya. Ketiga siswa itu tampak tak menghiraukan tatapan bingung dari murid-murid lain yang berpapasan dengan mereka. Sampai ketiganya lewat di depam Olivia, perempuan itu menghentikan mereka.
"Kalian nggak sekolah di sini, kan?" tanya Olivia tanpa berbasa-basi sedikit pun.
Siswa yang sejak tadi berjalan paling depan, menatap Olivia dengan pandangan menelisik. Lalu mengangguk patuh. "Kita dari SMA Glory, Buk," balasnya yang dapat menebak Olivia adalah guru di sekolah itu.
"Ada keperluan apa?" Olivia kembali bertanya. Setahunya, sangat jarang ada murid sekolah lain berkunjung ke SMA tempat dia mengajar. Olivia sangat penasaran.
"Saya mau nemuin sepupu saya. Dia ada ekskul di lapangan basket," katanya menjelaskan. Olivia terlihat sedikit berpikir, lalu mengangguk kemudian, mempercayai apa yang pemuda itu katakan.
"Ya sudah, silakan!"
"Permisi, Buk!" pamit salah satu di antara mereka. Olivia kembali mengangguk.
Tak lama, ketiga pemuda tadi kembali keluar, kali ini bersama dengan murid SMA Virgo yang sangat dia kenali. Ibnu, pemuda itu berjalan bersama tiga siswa asing itu.
"Mari, Buk!" sapa murid yang sejak tadi memimpin langkah. Olivia tersenyum menanggapi, seraya memperhatikan Ibnu yang sejak tadi menunduk seiring dengan langkah mereka yang kian cepat.
"Kok Ibnu diem aja, sih? Nggak kayak biasanya ramah," gumam Olivia menemukan keganjilan dengan anak didiknya. Matanya terus mengikuti pergerakan mereka yang kian mencurigakan. Pasalnya, ketiga siswa asing itu kini terlihat memaksa Ibnu untuk mengikuti langkah mereka.
Olivia mendadak cemas, menemukan ada yang tak beres dengan hal itu. Sampai tubuh tegap Dito yang berdiri di hadapannya membuat perhatiannya teralih.
"Bu Oliv ngapain?" Suara Dito terdengar menyapa.
"Itu ... saya lihatin Ibnu sama sepupunya," balas Olivia menjelaskan.
"Nicho? Ngapain dia ke sini?"
"Nggak tahu namanya. Tapi tadi katanya dari SMA Glory," papar Olivia lagi, yang membuat otak Dito berhenti bekerja. Yang dia tahu, Nicho, sepupu Ibnu bersekolah di SMA Bima Sakti, bukan SMA Glory.
"Bu Oliv tungguin sini, ya! Saya bakal ke sini lagi!"
Dito berjalan menjauh, ke arah pandang Olivia tadi untuk mencari Ibnu. Raut wajahnya tampak khawatir membuat Olivia semakin cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Romance𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...