63. Hal Sederhana yang Membuat Bahagia

133 10 0
                                    

Di tengah mimpi indah yang kini dia nikmati, Dito tiba-tiba merasakan napasnya yang sesak. Dia tak bisa bernapas dengan normal. Matanya kemudian terbuka. Hal pertama yang dia lihat adalah Olivia yang duduk di tepi kasurnya. Tangan Olivia yang masih memencet hidungnya dengan keras dia tarik, lalu pada kesempatan itu dia menghirup udara sebanyak-banyaknya.

“Puas tidur seharian? Ditelfon nggak diangkat, bolos sekolah, maksudnya apa coba?“

Belum sempat Dito memprotes tindakan Olivia sebelumnya, perempuan itu sudah mengomelinya terlebih dahulu. Bola matanya hampir keluar ketika memelototinya. Hal itu membuat Dito bangkit dari posisinya berbaring. Dengan tangan yang mengucek mata, pemuda itu tersenyum.

“Jangan marah-marah, Oliv!“ ujarnya dengan suara halus, tak merasa bersalah sedikit pun.

“Gimana aku nggak marah, Dito?! Kamu tahu udah melakukan kesalahan, kan?“ semprotnya lagi.

Dito mengangguk, dia memang salah dalam hal ini. Kemarin, pukul lima sore dia baru pulang dari puncak. Dia tertidur di rumah Ibnu sampai pukul sepuluh malam. Setelahnya, dia ditemani oleh Raihan dan Ibnu bermain game. Dia tak ingat pukul berapa dia tertidur lagi. Yang pasti, pukul enam pagi tadi dia kembali ke apartemen. Niatnya sih ingin mandi lalu berlanjut pergi ke sekolah, namun rasa kantuk mengalahkan niatnya. Sudah bisa ditebak, dia ketiduran di kamar.

“Pulang jam berapa emangnya kemarin? Kok sampai bolos sekolah?“ tanya Olivia masih dengan ekspresi marah. Bukannya takut, Dito malah merasa gemas dengan ekspresi Olivia.

“Jam lima, Liv. Terus tidur di rumah Ibnu sampai jam sepuluh. Terus main game seben—”

“Main game? Masih sempat-sempatnya main game, Dit? Serius?“ Olivia semakin tak habis pikir dengan kekasihnya itu. Tangannya terangkat untuk menggeplak bahu pemuda itu pelan.

“Ih, nggak enak nolak Rehan, Liv,” sahutnya memberi alasan.

“Kamu nggak bisa ngatur waktu kamu sendiri, Dito! Pasti semalam begadang, kan? Terus ngantuk, nggak berangkat sekolah,” sinisnya bersedekap tangan.

“Iya, aku salah, Oliv. Maafin, ya?“ pinta Dito memasang senyum manis untuk merayu Olivia. Kedua tangan perempuan itu dia genggam, berharap akan mendapatkan maaf.

“Nggak,” jawabnya cuek. Dia ingin menarik tangannya, namun genggaman Dito kelewat erat.

“Nggak boleh jutek-jutek, Sayang! Aku gemes banget lihatnya.“

“Dito! Jangan manggil kayak gitu! Geli banget, ih!“ Olivia merasakan pipinya panas, dia tersipu mendengar panggilan sayang yang Dito lontarkan.

“Lemah banget hati kamu kayak gitu aja deg-degan,” cibir Dito menahan tawa.

“Kedengaran, ya?“ tanya Olivia dengan polosnya. Tangannya meraba tepat di atas jantungnya yang berdetak dengan kecepatan di atas normal.

“Gemesin banget, sih, Liv? Emang mungkin, ya, detak jantung kamu kedengaran sampai ke luar?“ tanya Dito tertawa kecil.

Olivia menyadari kebodohannya, lantas menggeleng. “Iya juga, ya. Bodoh banget aku.“

“Hahaha. Emang gitu, ya, sejenius apapun manusia, kalau udah masalah hati bisa berantakan,” komentar Dito yang memang benar adanya.

“Udah, ah, Dit! Bangun dulu! Kamu belum sarapan, kan? Ini juga udah lewat jam makan siang! Kamu mandi, aku masakin bentar!“ titah Olivia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua siang.

“Oliv … aku masih ngantuk banget,” keluh Dito bersiap untuk kembali berbaring.

Namun, Olivia tak membiarkannya. Tangan perempuan itu menarik kerah kaus Dito, membuatnya masih bertahan di posisinya duduk.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang