93. Konsekuensi Mencintai

181 6 0
                                    

Ucapan Olivia sore tadi ketika mereka berada di rooftop terus mengganggu Dito. Jika dipikir-pikir lagi, memang benar apa yang Olivia ucapkan. Dia tak mau menyakiti Regina, namun bisa menyakiti Olivia. Mau menampik sekeras apa, namun memang begitu kenyataannya.

Dito kembali bimbang. Dia tak tega melihat Olivia yang terlihat sangat tersakiti seperti tadi. Apa yang sudah dia lakukan? Bukankah seharusnya dia menjaga Olivia? Bukan malah menyakiti perasaannya seperti ini?

Ah, Dito bingung. Lelaki itu tampak jelas tengah gelisah. Sejak tadi, dia duduk di restoran bersama dengan Regina. Namun, pikirannya terus ke Olivia.

Bahkan, makanan yang sudah tersaji di hadapannya tak dia sentuh sedikit pun. Hal itu mengundang kebingungan pada diri Regina. Dia sudah berulang kali memanggil nama kekasihnya yang tengah melamun. Namun, Dito tak menyahutinya.

“Dito!“ Regina menyentuh punggung tangan lelaki di hadapannya, yang langsung membuat lelaki itu terkesiap. Dia memandangi Regina dengan bingung.

“Apa, Liv?“ sahutnya refleks, tak sadar bahwa dia telah salah memanggil nama kekasihnya.

“Liv?“ Regina bertanya heran.

Dito gelagapan, hal yang dapat ditangkap baik oleh Regina. “Hah? Apa, Gin?“

“Ah, enggak apa-apa, Dit. Aku mau ke toilet bentar, ya,” pamit Regina langsung bangkit. Dia tak perlu menunggu persetujuan Dito untuk pergi dari sana.

Perempuan itu memasuki toilet yang kebetulan sepi. Dia berdiri di depan cermin. Menatap pantulan wajahnya di sana, Regina mengusap air matanya yang tiba-tiba luruh. Selanjutnya, sebuah isakkan keluar dari bibirnya.

“Kenapa jahat banget, sih, Dit?“ tanyanya menatap wajahnya yang menyedihkan.

Dia sudah tahu bahwa Dito menyembunyikan sesuatu dari dirinya selama ini. Sejak perempuan bernama Olivia itu hadir, Dito berbeda. Lelaki itu tak lagi sehangat dulu. Tak lagi memperhatikannya. Dan dia juga sering kali melamun dan tak menganggapnya ada.

Regina tahu dari Monica bahwa Dito dan Olivia pernah menjalin sebuah hubungan di masa lalu. Mereka terpaksa harus putus karena sebuah alasan yang tak Monica beri tahukan. Yang Regina tahu, dulunya Dito dan Olivia sangat saling menyukai.

Regina juga tahu tentang Nadia yang bukan merupakan Mama kandung Dito. Selama ini, Dito tak pernah sejauh itu membuat keluarganya. Lelaki itu lebih tertutup.

Sebelumnya, Regina tak mempersalahkan Dito yang kembali berteman dengan Olivia. Nyatanya, kini Dito masih memilihnya. Namu, Regina tak bisa menampik fakta bahwa nyatanya rasa suka Dito lebih besar ke Olivia. Itu terbukti dengan perhatian-perhatian Dito yang dia tunjukkan ke Olivia.

Jangan kira Regina tak tahu. Selama ini, dia memperhatikan Dito. Dia juga tahu bahwa Dito sempat mengizinkan Olivia tinggal di apartemennya beberapa minggu yang lalu. Walaupun hanya satu malam, tetap saja Regina cemburu. Dia saja belum pernah.

“Aku nggak tahu harus gimana, Dit. Susah payah aku dapetin hati kamu, tapi ternyata hati kamu nggak sepenuhnya buat aku,” gumamnya pilu. Dia menangis di toilet itu sembari membayangkan masa-masa indahnya bersama Dito.

Hubungan mereka hampir satu tahun, dan itu bukanlah waktu yang singkat. Apa iya dia harus melepaskan Dito begitu saja? Bukankah jika seperti itu, perjuangannya hanya akan berakhir sia-sia?

“Aku harus gimana supaya kamu bisa ngelihat aku sepenuhnya, Dit? Gimana caranya biar kamu bisa lepas dari bayang masa lalu kamu?“ tanyanya lagi frustrasi.

Lelah menangis seorang diri, Regina akhirnya memilih untuk membasuh wajahnya. Dia tak ingin Dito tahu bahwa dia habis menangis. Baru saja hendak keluar dari toilet, ponsel di tasnya berbunyi menandakan ada pesan yang masuk.

Perempuan itu membuka pesan baru yang Dito kirimkan. Air matanya kembali menetes ketika Dito berkata bahwa dia harus pulang sendiri karena Dito ada urusan mendadak.

Bahkan mereka belum memulai makan malam mereka. Haruskah Dito pergi dengan cara seperti ini? Rasanya sangat tak adil. “Aku harap ini nggak ada hubungannya sama cewek itu, Dito.“

***

Olivia turun dari mobil Irgi dengan malas. Dia sama sekali tak dalam kondisi hati yang baik. Malam ini, Irgi benar-benar mengajaknya makan malam. Tentu saja dia terpaksa melakukan ini semua karena Papanya terus memaksa.

“Cantik banget tunangan aku,” puji Irgi mengambil tangan Olivia untuk dia genggam.

Lelah karena suaranya tak pernah di dengar, Olivia membiarkan Irgi berlaku sesukanya. Mereka beriringan masuk ke dalam restoran. Olivia merasa sangat tak nyaman dengan dress pendek yang dia pakai, juga high heels tinggi yang melingkari kakinya. Itu sama sekali bukan gayanya. Lagi-lagi, Papanya memilihkan kostum itu untuknya.

Memasuki restoran, Olivia menghentikan langkahnya ketika melihat lelaki yang sangat dia kenali. Dito, lelaki itu tengah duduk seorang diri sambil memainkan ponselnya di kursi yang tak jauh dari tempatnya.

“Kenapa, Sayang?“ Irgi bertanya ingin tahu. Dia memandangi wajah Olivia dari samping.

“Kita pindah aja, ya, Gi? Aku nggak mau makan di sini,” kata Olivia penuh harap.

Irgi mengerutkan dahinya. “Tapi kenapa, Liv? Aku udah reservasi, loh.“

“Nggak mau, aku nggak mau di sini, Irgi!“ resah Olivia. Dia menarik tangan Irgi untuk pergi dari sana. Dia tak mau Dito melihatnya. Apalagi, pakaiannya terlalu terbuka. Bisa-bisa Dito marah, mengingat betapa posesifnya dia akhir-akhir ini.

“Ada apa, sih? Aneh banget kamu!“ cibir Irgi kemudian mengedarkan pandangannya. Dia berhasil menemukan Dito, senyum miringnya terbit ketika dia tahu apa yang membuat Olivia resah.

“Kamu ngehindarin mantan kamu?“ tanyanya yang sebenarnya sudah jelas jawabannya.

“Enggak kayak gitu, Gi. Ak—”

“Ya udah, ayo kalau kamu nggak mau ketemu dia.“ Irgi langsung saja menarik tangan Olivia. Tanpa aba-aba, yang membuat perempuan itu meringis menahan sakit. Pria itu benar-benar kasar.

Olivia hanya menurut ketika Irgi membawanya kembali memasuki mobil. Setidaknya, dia bisa menghindari Dito.

“Aku mau makan seafood,” ujar Olivia ketika Irgi hanya diam tanpa membuka suara. Pria itu hanya sibuk mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, yang mana membuat Olivia sangat takut.

“Siapa bilang kita bakal makan?“

Pertanyaan Irgi membuat Olivia bingung. “Maksudnya?“

“Kamu nggak perlu tahu, Sayang,” katanya menyunggingkan senyum lebar. Tangannya mengusap paha Olivia yang terekspos, yang langsung saja Olivia tepis dengan kasar.

“Jangan sentuh-sentuh!“ hardiknya marah.

Irgi tertawa kecil, namun tak menanggapi Olivia. Dia terus melajukan mobilnya. Hingga mobil itu berhenti di sebuah pekarangan rumah, Olivia menatap Irgi, sekali lagi dengan tatapan bingung. Dia juga sedikit takut.

“Kok ke ru—rumah kamu?“ Olivia terbata.

Tak menanggapi pertanyaan tunangannya itu, Irgi langsung keluar dari mobilnya. Dia membuka pintu untuk Olivia, lalu menyeret perempuan itu untuk ikut bersamanya memasuki rumah.

“Lepas, Gi! Kita mau ngapain, sih?“ Olivia berusaha melepaskan cekalan tangan Irgi yang menyeretnya paksa menaiki tangga.

“Diem, Liv!“ bentaknya keras.

Olivia menangis. Dia masih mencoba memberontak. Dia sangat takut, apalagi ketika Irgi membanting tubuhnya ke kasur di dalam kamar pria itu. Dia tak berdaya ketika Irgi menahan kedua tangannya di atas kepalanya.

“Jangan banyak gerak, Sayang! Cuma ini yang bisa aku usahain biar kamu lupa sama mantan kamu. Atau enggak, ini satu-satunya cara biar mantan kamu nggak mau sama kamu lagi,” bisiknya di  ceruk leher Olivia.

Dia tak memedulikan jeritan Olivia yang meminta untuk dilepaskan. Malah, tangannya secara kurang ajar menggerayangi tubuh Olivia yang tak berdaya.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang