56. Manusia-manusia Aneh

137 7 0
                                    

Bel masuk sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Taman sekolah yang berada di belakang aula adalah tempat yang sepi ketika kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Ke tempat itulah Dito membawa Monica yang masih saja menangis terisak setelah apa yang Shenina lakukan tadi.

Gadis itu duduk di kursi panjang. Kepalanya tertunduk dengan bahu bergetar. Isakkannya terdengar jelas yang membuat Dito sangat merasa kasihan. Dia tak tega.

“Monica … lo jangan nangis terus! Udah, ya! Mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain lo lagi,” ujar Dito berniat menenangkan. Dia tadinya berdiri, kini duduk bersebelahan dengan Monica.

“Ma—makasih,” ungkapnya masih dengan posisi menunduk.

“Lo mau cerita sesuatu sama gue?“ Dito menawarkan. Menurut pengalamannya, di saat-saat seperti ini orang hanya butuh teman untuk mendengarkan ceritanya. Sama sepertinya dulu ketika tengah terpuruk, Ibnu dan Raihan lah yang menjadi pendengar setianya.

“Kamu bakal percaya sama aku, Dit?“

Akhirnya Monica mendongak, menatap Dito dengan matanya yang sembab.

“Cerita sama gue! Gue bakal dengerin,” balas Dito mengangguk.

“Aku nggak pernah cerita ini sama siapapun, Dito. Aku takut, aku nggak punya temen,” akunya yang semakin membuat Dito merasa kasihan. Dia mengusap bahu Monica sebagai bentuk rasa simpati yang dia berikan.

“Kedua orang tua aku udah meninggal, Dit. Waktu aku SMP karena kecelakaan. Aku tinggal sama Tante aku setelah itu. Tapi, Tante aku tega banget jual aku ke temennya. Ak—aku disuruh kerja jadi wanita malam,” terangnya semakin menunduk dalam. Dia tak berani menatap Dito lagi, terlalu malu.

“Waktu itu aku kabur, Dit. Aku cari kerja sana-sini, sekarang aku ngekos. Tapi aku nggak tahu kenapa foto-foto itu bisa sampai kesebar,” lanjutnya lagi.

“Jadi sekarang lo nggak tinggal sama Tante lo lagi?“ tanya Dito.

Monica menggeleng.

“Enggak, aku nggak pengin tinggal sama dia lagi. Aku belajar keras supaya bisa dapet beasiswa, aku nggak pengin keluar dari sekolah.“

Dito tak menyangka dengan kehidupan yang selama ini Monica jalani. Dia tak bisa membayangkan kehidupan gadis itu. Selama ini, dia pikir dia adalah orang yang paling menyedihkan di dunia. Ternyata, Monica lebih menderita dari pada dirinya.

“Lo nggak perlu khawatir, Monica. Lo nggak salah apapun. Lo nggak usah mikirin apa yang anak-anak bilang tentang lo. Cukup jalanin hidup lo seperti biasanya, gue temen lo sekarang,” ujar Dito mengulas senyum.

Monica mengusap air matanya setelah itu. Dia juga membalas senyuman Dito yang terlihat sangat tulus.

“Makasih, ya, Dito.“

“Oh, iya, lo sekelas sama Anggun, kan?“ Dito bertanya lagi. 

“Anggun yang baru pindah, kan?“

Dito mengangguk.

“Iya, aku sekelas sama dia.“

“Anggun ngeluh terus nggak bisa dapet temen yang cocok sama dia. Dia temen gue, lo bisa deketin Anggun, kalian pasti cocok,” katanya yakin.

“Aku pengin kenalan sama dia, Dit. Tapi aku takut dia nggak mau,” akunya yang mengundang tawa Dito.

“Nggak usah takut, santai aja. Nanti pulang sekolah, mau ikutan nongkrong nggak? Gue bakal kenalin lo ke temen-temen gue,” ajak Dito.

Mendengar ajakan Dito, mata Monica berbinar. Dia tak percaya Dito mengajaknya seperti ini. Benarkah?

“Emangnya boleh?“

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang