79. Ketidakjujuran

93 5 2
                                    

“Kita harus lapor polisi, ini nggak bisa dibiarin.“

Dito berkata dengan penuh emosi. Dia menatap lebih dari lima foto Olivia di atas meja. Yang mana, semuanya ditusuk dengan paku di bagian wajahnya. Olivia mengaku, satu minggu belakangan ini, kotak hitam berisi foto-foto itu terus bermunculan di depan pintu rumahnya. Baru hari ini Olivia mengatakan hal itu kepada Dito. Itu pun ketika Dito tak sengaja melihat sebuah kotak yang terlihat familier di bawah meja tamu Olivia. Kotak yang sama dengan yang digunakan untuk meneror Anggun.

“Nggak usah diperpanjang, Dito. Ini paling cuma orang iseng,” larang Olivia tak ingin masalah ini semakin rumit.

“Nggak, Liv. Ini kamu masih ditahap dikirimin foto ditusuk paku. Anggun udah sampai dikirimin bangkai tikus, dia disrempet orang juga sampai kakinya retak,” terang Dito yang membuat Olivia terkejut.

“Anggun juga? Maksud kamu, waktu itu bukan kecelakaan biasa?“ tanya Olivia tak percaya.

“Anggun juga kayak kamu. Dia diteror. Terus, waktu kita lihat rekaman CCTV yang di tempat Anggun kecelakaan, kata polisi nomor plat motornya itu nggak kedaftar. Kita curiga kalau ini emang direncanain, Liv,” jelas Dito khawatir.

“Terus kelanjutannya gimana?“

“Masih dicari. Pokoknya, kamu harus hati-hati. Kalau mau ke mana-mana harus sama aku. Oke?“

Olivia mengangguk. “Iya, Dito. Udah, kamu pulang aja sana!“

“Kok ngusir?“ Dito berkata tak terima. Dia baru saja sampai di rumah Olivia setelah mengantar kekasihnya itu pulang. Bagaimana bisa Olivia langsung mengusirnya?

“Papa mau ke sini. Mau ngadepin Papa aku?“

Dito menghela napas. Dia akhirnya memilih mengalah. Pemuda itu bangkit, lalu mengambil tasnya yang dia letakkan begitu saja di lantai.

“Salim dulu!“ pinta Dito meraih tangan Olivia, lalu mendaratkan ciuman di punggung tangan perempuan itu, bertubi-tubi.

“Hati-hati, ya!“ pesan Olivia yang langsung mendapat anggukan dari Dito. Pemuda itu lalu berjalan ke pintu keluar, bersiap untuk pulang.

Sepeninggal Dito, Olivia menaiki tangga ke kamarnya dengan langkah lunglai. Dia tak berbohong bahwa Papanya akan ke sini. Malam ini, Irfan memaksanya untuk makan malam dengan Irgi, pria yang Papanya maksud untuk dijodohkan dengannya.

Olivia tak terlalu terkejut. Hubungan bisnis mereka berjalan baik. Dengan Olivia yang menjalin hubungan dengan Irgi, atau bahkan sampai menikah, itu bisa membuat hubungan bisnis Papanya semakin lancar.

Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi, Olivia mengambil paperbag yang telah Papanya kirimkan untuknya. Mengeluarkan isi di dalamnya, Olivia mendengkus ketika melihat gaun berwarna hitam dan high heels dengan warna senada.

Pakaian itu sama sekali bukan gayanya. Olivia sangat kesal karena Papanya terus memaksa dirinya melakukan hal yang tak dia suka. Namun, perempuan itu sama sekali tak bisa menolak. Bagaimana dia bisa menolak jika kebahagiaan Mamanya dipertaruhkan?

“Liv … demi Mama! Lo harus bisa lewatin ini,” gumamnya menyemangati dirinya sendiri. Sembari menatap cermin, Olivia mengusap air matanya yang perlahan jatuh.

“Tapi Dito gimana? Hiks! Kok Papa jahat banget, sih?“ racaunya tak bisa menahan tangis.

Dengan setengah hati, Olivia akhirnya berganti pakaian. Perempuan itu juga sedikit merias wajahnya dengan make up. Di dalam hati, dia terus memberi semangat kepada dirinya sendiri. Dia juga memikirkan cara untuk bisa keluar dari masalah ini. Tanpa mengorbankan perasaan salah satu di antara Mamanya atau Dito, kekasihnya.

***

“Dito! Gue mau pulang!“

Tidur Dito terganggu oleh Raihan yang menggoyangkan bahunya keras-keras. Merasa kesal, Dito memukul kepala Raihan yang terlihat saat pertama kali dia membuka mata.

“Sakit, bege!“ sahut Raihan balas memukul kepala Dito.

“Lagian lo ngapain bangunin gue, sih? Ngapain juga pulang jam dua kayak gini?“ omel Dito memaksakan matanya untuk terbuka, melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari lebih beberapa menit.

“Sahabat lo, tuh! Anggun jam segini minta martabak,” ungkap Raihan sangat kesal. Anggun telah menelfonnya berulang kali tadi, hanya untuk memintanya membelikan martabak. Walaupun merasa kesal dan ingin memaki Anggun, nyatanya Raihan tak bisa untuk menolak keinginan sahabatnya itu.

“Cewek aneh emang dia. Udah, nurut aja, Han! Sana pergi, nggak usah balik. Besok-besok jangan nginep di sini lagi!“ usir Dito kejam.

Raihan berdecih. Dia segera keluar dari kamar Dito setelah mamakai jaketnya. Tak lama kemudian setelah Raihan pergi, pintu kamar Dito kembali terbuka. Dito yang masih setengah terjaga pun kembali terganggu dengan hal itu.

“Han! Gue bilang nggak usah balik! Kenapa ke sini lagi, sih?“ Dito berkata tanpa membuka matanya.

Setelahnya, Dito tak dapat balasan apa-apa. Namun, pelukan tiba-tiba yang dia dapatkan membuat matanya terbuka sepenuhnya. Pemuda itu terkejut ketika mendapati Olivia yang kini tengah bersantai tidur dengan berbantalkan lengannya.

“Oliv? Kok tiba-tiba di sini? Kamu sama siapa? Ini udah malem, loh?!“

Sebelumnya, Dito memang sangat ngantuk. Namun, rasa kantuk itu menguap secara tiba-tiba ketika melihat Olivia di kamarnya.

“Iler kamu bersihin dulu!“ tegur Olivia menahan tawa. Dito dengan refleks mengusap sekitar bibirnya.

“Mau aja dibohongin.“

“Oliv! Kok ngeselin?!“ Dito mencubit pipi Olivia keras, yang menyebabkan perempuan itu memekik.

“Dasar, jahat!“ seru Olivia menggembungkan pipinya.

“Ini jelasin dulu, Liv! Kenapa kamu tiba-tiba sampai di sini?“ Masih di posisi berbaring, Dito menatap Olivia penuh tuntutan.

“Tadi kebangun, Dit. Tiba-tiba kangen kamu, jadinya ke sini, deh. Aku naik taksi, kok. Nggak pakai motor,” jelas Olivia mengaku.

Olivia lagi-lagi melakukan kebohongan. Pukul sebelas tadi dia baru pulang dari makan malam bersama Papanya dan Irgi. Selama tiga jam di rumah, Olivia tak bisa tidur. Dia merasa bersalah dengan Dito karena tak bisa menceritakan tentang semuanya. Alhasil, dia nekat ke tempat Dito untuk setidaknya melihat keadaan kekasihnya itu.

“Nekat banget kamu! Kalau ada apa-apa di jalan gimana? Kalau kangen kan bisa telfon, aku yang ke sana juga bisa,” ujar Dito kembali mengomel.

Tak menanggapi omelan Dito, Olivia malah merangkul kekasihnya itu dengan erat. Dia menenggelamkan wajahnya pada dekapan Dito.

“Nggak usah cerewet! Ayo tidur!“ ajaknya memejamkan mata.

Dito meringis. Menggunakan telapak tangannya, dia mendorong dahi Olivia untuk menjauh dari tubuhnya.

“Kan udah janji nggak bakal tidur bareng lagi! Kalau kamu aku apa-apain gimana?“ Dito menatap Olivia tajam.

Bukannya takut, Olivia malah tertawa. Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke Dito. Dengan gerakan cepat, perempuan itu mengecup pipi Dito.

“Aku yang bakal apa-apain kamu!“ katanya menggoda.

“Oliv!“

Setelah itu, Olivia bangkit. Dengan senyum merekah, dia menarik selimut yang Dito pakai. Dia melangkah menuju keluar dari kamar.

“Aku tidur di kamar sebelah, ya, Dit! Mimpiin aku!“

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang