68. Khawatir = Suka

139 8 0
                                    

Fisika. Pelajaran yang paling dibenci oleh sebagian besar murid. Bayangkan saja jika kita harus berkutat dengan banyaknya angka dikombinasikan dengan huruf dan simbol asing, juga teori-teori yang jumlahnya tak bisa hitung dengan jari tangan. Apalagi, di pagi hari seperti ini, yang bahkan rasa kantuk pun belum enyah sepenuhnya.

Ketika guru wanita di depan menjelaskan, sebagian besar murid kelas sepuluh di ruangan itu tak mengacuhkannya. Mereka sibuk dengan ponsel yang dimainkan secara diam-diam di bawah meja, menggambar abstrak di buku atau bahkan di meja, mendengar musik dengan ear phone, atau membaca novel yang diselimuti dengan buku pelajaran. Yang paling parah, ada beberapa murid yang memakan bekal sarapan mereka.

Tak semua, Eca dan beberapa murid lainnya mematuhi peraturan dan memperhatikan apa yang guru mereka jelaskan, terbukti dengan tangannya yang terampil menulis beberapa poin penting di buku catatannya. Gadis itu terlihat bersemangat. Ketika teman-temannya mengeluhkan sulitnya pelajaran ini, dia malah yang paling menyukainya.

“Ca, nanti minjem catatannya, ya!“

Eca mendongak ke arah teman perempuan yang duduk di depan bangkunya. Tak banyak berkata-kata, Eca hanya mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya.

“Eca, gue nanti juga minjem, ya!“

Membalikkan badannya, Eca kini mengangguk ke arah teman yang duduk di bangku belakangnya. Gadis itu tersenyum.

“Okay!“ katanya singkat, namun tetap menujukkan sisi ramahnya.

Dia melanjutkan aktivitasnya mencatat. Namun, ketika menunduk, Eca merasakan sesuatu yang mengalir dari lubang hidungnya. Tak lama kemudian, di meja dan bukunya terdapat cairan merah yang dia yakini adalah darah. Sialan, dia mimisan lagi.

“Bu Guru! Saya izin ke UKS!“

Eca segera berjalan cepat ke luar dari kelasnya. Gadis itu tak perlu bersusah payah mendengar jawaban dari gurunya karena kondisinya sudah sangat mendesak. Kepergiannya pun diiringi dengan tatapan heran sekaligus khawatir dari teman-temannya.

“Bu! Minta tisu, dong!“

Setelah memasuki UKS, Eca langsung duduk di kursi dan berbicara kepada guru yang berjaga di sana. Guru wanita itu, yang sebelumnya tengah fokus dengan sesuatu di ponselnya mendongak. Dia segera berdiri dan mengambilkan satu kotak tisu untuk Eca.

“Kok kamu bisa mimisan, sih?“ tanya guru wanita itu seraya menyeka darah yang keluar dari hidung Eca.

“Jangan napas lewat hidung, agak condong ke depan biar nggak ketelen darahnya!“ titahnya lagi.

Eca menjalankan perintah guru wanita itu yang begitu telaten merawatnya. Gadis itu berusaha untuk tetap tenang dan menuruti apa yang guru itu katakan. Sampai beberapa menit kemudian, darah yang keluar dari hidungnya sudah tak sederas tadi.

“Bu Aini, dipanggil Bapak kepala sekolah.“

Tiba-tiba, seorang murid laki-laki berseragam olahraga memasuki ruang UKS itu. Murid itu jelas berbicara kepada guru wanita yang tengah merawat Eca.

“Iya, sebentar,” kata wanita itu masih fokus dengan Eca.

“Ibu kalau mau pergi nggak apa-apa, kok. Saya bisa sendiri,” ungkap Eca mempersilakan guru itu untuk pergi.

Akhirnya, wanita bernama Aini itu meninggalkan UKS setelah memberi tahu Eca hal-hal yang tak boleh dia lakukan setelah ini, yang memicu mimisannya datang lagi. Gadis itu masih betah duduk di kursi sambil menyeka darah yang masih keluar walaupun sedikit.

“Nyebelin banget seragamnya kena darah semua,” gerutu gadis itu ketika sadar bahwa baju seragamnya penuh dengan noda darah.

Di tengah rasa kesalnya, Eca dikejutkan dengan tirai di sebelahnya yang tiba-tiba terbuka. Matanya terbuka sangat lebar ketika kepala seseorang menyelmbul dari sana.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang