Anggun menjadi orang terakhir yang keluar dari kelasnya. Sesampainya di depan kelas, dia melihat Ibnu yang tengah berdiri dengan senyum merekah yang ditujukan kepadanya.
“Hai,” sapa Ibnu mengawali. Anggun pun membalas senyuman Ibnu, dia berjalan mendekat ke pemuda itu.
“Tumben sendirian?“ ucap Anggun kemudian.
“Dito nggak masuk, Raihan nggak tahu pergi ke mana,” ungkapnya lalu menyodorkan sesuatu kepada Anggun.
Gadis itu menerimanya. Dia mengamati dua lembar kertas kecil yang Ibnu sodorkan kepadanya. Dua tiket untuk menonton film.
“Buat apa, Nu?“ Anggun bertanya dengan heran. Ibnu tak mengatakan apapun padanya. Apakah ini maksudnya Ibnu mengajaknya menonton?
“Nonton film, Nggun. Dikasih sama Kak Rintan tiketnya,” jelas Ibnu menjawab pertanyaan Anggun.
“Berdua, nih?“
“Menurut lo aja gimana?“ sahut Ibnu kesal, kenapa Anggun tak kunjung peka?
“Ya udah, ayo! Ngambekan banget jadi cowok!“ cibir Anggun kemudian menarik tangan Ibnu untuk segera pergi dari sana.
Mereka tak sadar bahwa ada seseorang yang sejak tadi melihat mereka dan mengawasi pergerakan mereka. Eca, gadis yang bersembunyi di balik dinding itu merasakan matanya memanas setelah melihat kedekatan Ibnu dan Anggun.
Sebelum-sebelumnya, Eca hanya merasakan kesal dan keinginan untuk menjambaki Anggun. Namun, kini berbeda. Setelah mengenal Anggun dengan dekat, Eca sadar bahwa Anggun adalah orang yang baik. Dia tak memiliki alasan untuk membencinya.
Dia tahu, Ibnu dan Anggun merupakan sahabat. Keduanya wajar sangat dekat bahkan akrab. Namun, Eca tak bisa begitu saja menerima. Ada satu ketakutan yang bersemayam di hatinya.
Eca takut jika Ibnu menyukai Anggun, begitu pun sebaliknya. Dan yang lebih membuat Eca takut adalah, dia tak bisa membuat Ibnu balas menyukainya. Dia tak bisa melakukan apa-apa lagi kecuali menunggu. Dan juga, menunjukkan kepada Ibnu bahwa rasa sukanya sangat tulus.
“Kok sakit banget, ya?“ gumamnya dalam hati dengan kaki yang melangkah pelan.
Tadi, kelasnya keluar lebih awal dari bel berbunyi. Dia berinisiatif untuk mengikuti Ibnu sejak pemuda itu keluar dari kelas. Dia tahu persis, tiket nonton yang Ibnu berikan kepada Anggun adalah tiket nonton yang Ibnu dapatkan dari teman sekelasnya. Ibnu sengaja meminta temannya untuk memesankan tiket nonton untuknya. Tiket itu bukan dari Kakaknya seperti apa yang Ibnu bilang.
Ibnu berbohong kepada Anggun, dan Eca tahu itu. Selama berjalan menuju luar sekolah, pikiran Eca penuh akan Ibnu dan Anggun. Apa yang mereka lakukan sampai perasaan Ibnu kepada Anggun sebenarnya.
Eca sadar bahwa dirinya bodoh. Sejak awal jelas-jelas Ibnu sudah menolaknya. Namun, dia terus saja mengejar Ibnu tanpa memedulikan perasaan pemuda itu. Eca pikir, jika dia terus berjuang Ibnu akan luluh kepadanya. Namun, sekarang sepertinya Eca tahu bahwa ada alasan kenapa Ibnu tak bisa menerimanya.
Ya, Anggun. Eca tahu bahwa alasan Ibnu tak menyukainya adalah karena pemuda itu menyukai Anggun. Sejak pertama kali Anggun datang, Eca bisa melihat binar kebahagiaan yang Ibnu pancarkan dari matanya. Seharusnya, sejak saat itu dia menyerah untuk Ibnu, bukan malah melarang Anggun untuk menyukai Ibnu.
Benar, Eca memposisikan dirinya sebagai orang jahat. Dia egois. Seharusnya dia tak melakukan hal seperti itu kepada orang yang dia suka.
“Ah, kenapa harus hujan, sih?“
Eca yang sudah tiba di gerbang sekolah menggerutu kesal karena hujan yang tiba-tiba turun. Tak memiliki pilihan lain, gadis itu lantas berlari untuk berteduh di halte yang berada di depan sekolah.
“Duh, basah semua lagi," dumel Eca. Dipandanginya langit yang senantiasa masih menampakkan awan hitam dengan tetes air yang terus saja mencumbu bumi. Ah, dia mulai bosan. Hanya dia seorang diri di sini, sudah tidak ada tanda-tanda teman sekolahnya yang berlalu lalang untuk dia mintai tumpangan.
Saking galaunya memikirkan Ibnu, Eca sampai tak sadar bahwa dia telah duduk di halte hampir satu jam. Sejak hujan deras baru turun, sampai sekarang hampir reda. Sialnya lagi, ponselnya mati. Dia tak bisa menghubungi Mamanya untuk menjemput. Dia yakin, Mamanya pasti mengira bahwa dia langsung menuju tempat les sepulang sekolah tadi.
"Ca.“
Panggilan seseorang membuat Eca yang tadinya menunduk, kini mendongak menatap seorang pemuda yang menggunakan seragam sama sepertinya.
"Kak Rehan? Kenapa?“ tanya gadis itu menatap seseorang yang ternyata Raihan itu.
“Ketularan Dito, ya, lo? Raihan, Ca! Rai-han!“ koreksinya tak suka dengan panggilan Eca.
“Ribet,” ujarnya yang membuat Raihan mendengkus.
"Lo ngapain di sini sendirian? Nunggu jemputan?" tanya Raihan terlihat begitu peduli. Melihat Eca yang duduk di halte sendiri di tengah rintik hujan membuat hati Raihan tergugah. Mendekati Eca, wajah gadis itu juga terlihat muram. Raihan yakin bahwa ada yang tak beres dengan gadis itu. Dia ingin menghiburnya.
"Enggak, Kak. Pengin duduk di sini sambil lihat hujan,” jawab Eca seenaknya. Pandangannya lurus menatap lapangan bola yang terletak tepat di seberang jalan.
“Lagi ada masalah apa?“ Raihan bertanya sambil membuka jaketnya. Dengan pelan, dia memakaikannya pada tubuh depan Eca. Dia sendiri kemudian duduk di sebelah gadis itu.
“Nggak ada, Kak Raihan. Kenapa jadi baik gini, sih? Kan biasanya nyebelin?!“ protes Eca melayangkan tatapan heran kepada Raihan.
Pemuda itu terkekeh, tangannya terangkat untuk mengusap kepala belakang Eca. “Aneh banget lo, Ca. Gue baik hati, makanya gue peduli ke lo.“
“Jangan, ah! Nanti aku baper gimana?“ canda Eca yang langsung Raihan sambut dengan tawa keras.
“Ya alhamdulilah. Nggak inget lo waktu pertama kali kita ketemu, gue udah naksir sama lo?“ timpalnya lagi.
“Sialan lo, Kak!“ maki Eca juga tertawa.
Melihat tawa yang Eca tunjukkan, Raihan merasa senang. Wajah Eca tak sesuram tadi. Dia terus saja melontarkan candaan yang membuat Eca terhibur. Sampai hujan yang tiba-tiba kembali turun dengan jelas membuat Raihan mengajak Eca untuk segera pulang.
“Ayo, gue anter!“ ajak Raihan berdiri.
Namun, Eca menggeleng pelan. Tatapannya kian meredup ke Raihan.
“Kenapa nggak mau? Ini tambah deres hujannya. Gue bawa mobil, kok,” ujar Raihan lagi.
Bukannya menjawab, Eca malah menangis. Air mata gadis itu menuruni pipinya dengan rengekan yang membuat Raihan kelabakan.
“Kenapa, Eca?“ panik Raihan.
“Kak Rehan … Kak Ibnu jahat! Huaaa.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Romance𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...