71. Sisi Lemah si Gadis Kuat

118 8 0
                                    

Eca mengetahui bahwa saat itu dia menonton film bersama Anggun. Namun, ketika di apartemen Dito, ketika Eca bertanya langsung kepadanya, dia berbohong harus pulang cepat karena harus membantu Bundanya.

Ibnu terus memikirkan hal itu. Mengetahui fakta bahwa Eca terlihat sok tegar di hadapannya dan tak melakukan apapun ketika tahu dia berbohong membuatnya tertampar. Tiba-tiba, pandangannya tentang Eca berubah.

Sebelumnya, Ibnu selalu menganggap Eca adalah gadis yang kekanakan, manja, menyusahkan dan selalu ingin menang sendiri. Namun, ketika Eca bertingkah seolah tak terjadi apa-apa setelah tahu kebohongannya, Ibnu berubah pikiran.

Dengan Eca bersikap seperti itu, bukankah itu menandakan bahwa Eca adalah gadis dengan pemikiran dewasa? Alih-alih marah atau merasa menuntut kejujuran dari Ibnu, Eca malah bersikap biasa. Itu berarti Eca menghormati pilihannya untuk berbohong. Dia ingin membuat Ibnu tak merasa bersalah.

Dan ketika saat ini Ibnu mengetahui kebenarannya, dia sangat merasa bersalah. Selama ini, dia menyakiti Eca. Namun, dia tak sadar dan tetap memilih menutup mata. Dia telah menjadi orang jahat demi mempertahankan egonya.

“Gue harus gimana, anjir? Jahat nggak, sih, gue?“

Ibnu bertanya di dalam hatinya. Kini, dia masih berada di kamar Raihan. Dia kembali ke posisinya sebelumnya, yang duduk di mulut jendela. Pikirannya tak bisa diam, dia terus memikirkan Eca.

Bagaimana bisa seperti ini? Di saat dia yakin bahwa Anggun adalah orang yang dia suka, Eca malah datang dan mengenalkan rasa suka baru kepada dirinya. Ah, tunggu! Benarkah dia menyukai Eca?

Tidak-tidak, itu tidak boleh terjadi. Dia tak akan mengkhianati Anggun, cinta pertamanya. Namun, dia juga tak bisa untuk menyakiti Eca. Keputusan apa yang harus dia ambil?

“Bisa gila gue lama-lama, anjir!“

“Kenapa, sih, Nu? Ribet banget dari tadi,” sahut Raihan yang kini sudah selesai mengerjakan tugas mereka. Pemuda itu kini membereskan alat tulis juga laptopnya.

“Nggak, Han. Gue mau pulang aja. Capek,” kata Ibnu selanjutnya berdiri dan memakai jaketnya. Dia mengambil paper bag yang berada di kasur. Dito masih terlelap di sana. Bahkan, saking kacau pikirannya akan Eca, dia tak sadar bahwa Ibnu masih memakai baju seragamnya.

“Gue udah gila, Dito udah gila, sebentar lagi lo yang gila, Han,” kata Ibnu sebelum dia keluar dari kamar Raihan.

Di tengah perjalanannya menuju ke rumah, Ibnu dipertemukan dengan seorang gadis yang berjalan pelan menyusuri jalanan yang sepi. Dari postur tubuhnya yang kecil, Ibnu seperti mengenalinya. Akhirnya, Ibnu mendahului gadis yang berjalan kaki itu. Dia menghentikan motornya, namun tak mematikan mesinnya karena lampu motornya dia pergunakan untuk menerangi jalanan yang gelap.

“Rebecca?“

Eca, sebelumya dia tak peduli dengan orang asing yang tiba-tiba menghentikan motornya. Namun, ketika mendengar suara Ibnu, gadis itu mendongak. Air mata yang menghiasi pipinya dia lap kasar dengan telapak tangannya.

Karena tak mau menunjukkan kesedihannya, Eca tersenyum lebar ke Ibnu. Walaupun senyumannya itu tak dapat menutupi raut wajah sedihnya karena matanya yang sembab.

“Lo ngapain malam-malam keliaran kayak anak ilang gini, dah? Di jalan yang sepi kayak gini. Bahaya, Rebecca!“ omel Ibnu dengan wajah galaknya. Bukannya takut, Eca malah mengembangkan senyuman menyebalkan sepeda biasa.

“Lagi gabut, Kak. Niatnya cari angin, eh malah kebablasan sampai jauh,” jawab Eca cengengesan.  Hal itu berhasil membuat Ibnu mendengkus.

“Pulang! Nggak baik malem-malem di luar kayak gini!“ suruh Ibnu lagi.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang