Olivia memasuki ruang musik dengan langkah santai. Setelahnya, perempuan itu duduk di sebuah kursi di depan pintu. Matanya menatap Dito yang tengah membersihkan beberapa gitar yang berdebu dengan lap basah. Dalam diamnya, Olivia menahan senyum. Entah mengapa, dia memiliki empati yang lebih kepada Dito.
"Dito," panggil Olivia setelah lama terdiam. Dito yang merasa dirinya dipanggil pun mendongak, lalu menghampiri Olivia ketika perempuan itu memintanya. Dito duduk di kursi samping Olivia, menatap perempuan itu lekat.
"Kenapa, Buk?" tanya Dito penasaran.
"Pelipis kamu luka," kata Olivia menunjuk pelipis Dito yang terlihat sedikit robek sampai mengeluarkan sedikit darah.
Dito pun merabanya dan meringis karena terasa perih di lukanya.
"Oh, ini, Buk. Tadi kayaknya nggak sengaja kena wajannya Mbak Evi," jelas Dito teringat jika tadi Mbak Evi sempat melempar wajan ke arahnya dan Fatih.
"Mbak Evi?" tanya Olivia tak mengerti.
"Penjaga kantin, tadi waktu saya berantem sempat dilempar wajan," jelas Dito.
"Kamu jangan ulangin kayak gitu lagi! Yang rugi diri kamu sendiri, kan?" nasihat Olivia. Setelahnya, perempuan itu bangkit dan berdiri di hadapan Dito. Tangannya merogoh sebuah plaster yang tadi sempat dia ambil dari ruang kesehatan.
"Saya kasih plaster biar nggak perih kena keringat," ujar Olivia lalu menempelkan plaster di pelipis Dito, tepat di atas lukanya.
Dito diam termenung. Perlakuan Olivia baru saja sama sekali tak dia pikirkan sebelumnya. Sesuatu di dalam rongga dadanya berdetak begitu kencang sekarang. Tanpa sadar pemuda itu mengembangkan senyumnya.
"Dit, kenapa senyum-senyum, sih?" tegur Olivia menatap aneh ke arah muridnya. Dito tersadar, lalu kembali menatap Olivia.
"Makasih ya, Buk. Selain cantik, Ibuk juga baik banget," puji Dito yang membuat Olivia tersipu. Padahal, dia sudah biasa mendapat pujian semacam itu, bahkan lebih. Namun, kali ini rasanya berbeda ketika Dito yang mengatakannya.
"Sama-sama! Kamu buruan selesaiin tugasnya, biar Bu Zulfa nggak marah-marah lagi!" kata Olivia memerintah.
Pemuda itu berdiri, lalu menarik kursinya mepet ke dinding, menepuknya pelan dan menatap Olivia.
"Duduk sini, Bu! Agak jauhan, banyak debu," katanya penuh pengertian. Olivia menurut, dia duduk di kursi yang sudah Dito persiapkan spesial untuknya.
Dito sendiri langsung melanjutkan tugasnya agar cepat selesai. Dengan telaten dia membersihkan gitar, bas, seruling, biola, piano, dan alat-alat lainnya. Setelah membersihkannya pun, Dito langsung menatanya dengan rapi. Dia juga menyapu ruangan itu, mengelap jendela dan membersihkan sarang laba-laba yang ada di dinding. Kegiatannya itu tak sedikit pun luput dari pandangan Olivia. Sedikit banyak perempuan itu bisa melihat sisi lain dari Dito.
Sampai Dito duduk di sampingnya lagi dengan membawa gitar pun, Olivia masih fokus menatap Dito.
"Mau saya nyanyiin enggak, Bu?" tawar Dito.
Olivia mengulas senyum dan mengangguk. "Boleh."
"Agak fals, Bu. Nggak apa-apa, ya?"
Olivia kembali mengangguk. Jujur saja, wajah tampan Dito sejak tadi membuatnya terkesima.
Dito pun mulai memetik gitarnya. Bergaya layaknya gitaris profesional, sembari memetik gitar, Dito memandangi wajah ayu Olivia.
Cantik ... ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
Oo ... cantik
Bukan kuingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu ...
Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan ... sungguh aku sayang kamu
Cantik ... bukan kuingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu ... selalu
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Roman d'amour𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...